Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 6
...-Tegakkan kepala, jaga mahkotamu jangan sampai jatuh. Masalah nangis ... itu urusan belakangan-...
...***...
"Saya menuntut pertanggungjawaban anda."
Dia bukan dokter, tapi mendadak mendapat pasien. Insiden kemarin membuat Yara harus merawat luka Arum sampai sembuh.
Pesan singkat dari nomor tak dikenal, membuat senyum seorang Yara gagal diunggah. Meski tak memiliki nama, ia dapat memastikan bahwa Barra sang pengirim pesan.
"Baiklah, Pak Barra," jawab Yara membalas pesan.
Malam itu setelah makan malam seadanya, ia duduk di beranda kecil kediamannya. Bulan yang bersinar terang di atas sana begitu indah. Malam tak begitu tinggi tapi suasana terasa sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang disekitar rumah.
Semilir angin mengayunkan kerudung panjang Yara, sejenak ia merasakan pedihnya kehidupan ini.
"Neng Yara ..."
Spontan gadis ini menoleh ke arah suara. "Bu Deti, ada apa, ya?"
"Itu ... si Latif, bikin onar di depan minimarket Kong Komar."
Yara hanya bisa menghela napas kemudian segera mengunci pintu.
"Terima kasih sudah ngasih tau, Bu."
"Sama-sama. Neng ..." panggil Deti.
Yara berbalik badan, menghampiri tetangganya itu. "Iya, ada apa lagi, Bu?"
"Aku kasihan sama kamu, lebih baik segera menikah, Nak. Terus tinggal sama suami kamu. Masalah Latif, biarin aja orang gila itu. Toh, dia cuman bisa jadi beban buat kamu."
Ucapan Deti dibenarkan Yara dalam hati, sebab memang tak jarang dirinya merasa terbebani atas kelakuan Latif yang kerap menimbulkan masalah. Tapi ... sekali lagi, hanya Latif sanak saudara terdekat yang dia punya saat ini, jika tidak bersama Latif maka dia akan bersama siapa?
Senyuman pahit tergambar jelas di wajah Yara, Deti jadi merasa bersalah telah berkata seperti itu.
"Terima kasih sarannya, Bu. Saya pamit jemput Latif dulu."
Deti semakin merasa bersalah ketika memandangi punggung Yara yang kian menjauh. Tapi sungguh, ia hanya ingin menyarankan kehidupan yang lebih baik untuk gadis sebaik Yara.
"Latif ..."
Pria yang digoyang Yara pundaknya itu tak merespon. Ia seperti tikus terkena racun, teronggok tak berdaya di sudut luar minimarket.
"Maaf, Yara. Aku terpaksa menyiramnya dengan air. Dia mabuk dan mengganggu pelanggan kami," ujar Emran penuh rasa penyesalan.
"Nggak pa-pa. Dia masih beruntung kamu siram air, kalau sama aku bakal lebih parah." Yara meraih lengan Latif, mencoba membopong manusia besar sumber masalahnya ini.
Emran melangkah maju, ingin membantu Yara.
"Nggak usah. Kamu lagi kerja. Gampang kok bawa dia pulang. Kalau banyak tingkah aku tinggal di got juga bisa." Ucapan gadis ini membuat Emran urung membantu, ia justru tertawa hingga pundaknya bergetar.
"Ayo pulang! Paman sudah besar kenapa selalu membuatku malu!"
"Ayaraa~~~"
Berbalik dan menatap Latif yang jalan sempoyongan. "Apa!"
"Kamu marrraaahh~~~?"
"Iya!" sahut Yara kesal.
"Jangan marah!" ujar Latif meninggikan suara. Saat itu sebuah mobil hendak singgah ke minimarket, mendengar suara Latif atensinya tersita pada pasangan paman dan keponakan ini.
"Kamu! Berani marah sama aku? Sudah untung dikasih makan! Dibayarin utang! Malah uang aku kamu gondol!"
Lekas Latif menggelengkan kepala "Enggaakkk."
"Ya sudah! Buruan pulang! Aku malu, tau!"
"Yara!" Hardik Latif lagi masih dengan tubuh sempoyongan.
"Ck!" Tatapan setajam silet membuat paman durjana ini melangkah mundur.
"Jangan galak ...." Latif berbisik.
"Nanti kamu nggak laku. Nggak ada cowok yang mau nikahin kamu. Aku sedih lho kalau kamu nggak punya teman di masa tua. Masa kita harus hidup bersama sampai tuaaaaa."
Paman dan keponakan ini sudah meninggalkan minimarket, tapi Emran masih betah menonton kelakuan mereka sembari memeluk gagang pintu kaca minimarket. Ia tersenyum lebar, ocehan Latif masih dapat ia dengar.
"Aku galak karena kamu banyak tingkah. Coba jadi orang tu yang bener. Cari kerja, berhenti mabuk-mabukan, berhenti jadi copet! Jaman semakin maju tapi kamu gitu-gitu aja. Memangnya kamu mau jadi manusia yang kayak gimana?" Celoteh Yara panjang dan lebar, Latif menatap kosong padanya.
"Jawab! Kamu mau jadi apa?" hardik Yara.
"Jadi penjudi!" Dengan bodohnya Latif menjawab, membuat orang-orang yang melihatnya menggelengkan kepala.
Sungguh, Yara sangat malu saat ini. Andai dia bertubuh besar, sudah sejak tadi Latif digendongnya untuk cepat sampai ke rumah.
"Ah! Aku baru ingat, Yara ..."
Menarik lengan Latif agar lekas meninggalkan tempat itu. "Apa ..." Terdengar lelah sekali, Yara hanya bisa menebalkan muka setiap kali hal memalukan ini terjadi.
"Aku utang rokok sama Emran. Buruan bayar!"
"Ya Allah," geram gadis ini menatap langit malam.
"Yara ..."
"Iya! Ini aku bayar!"
Semula, orang yang sejak tadi menonton dari dalam mobil akan keluar dari mobilnya, tapi melihat Yara berbalik, dia mengurungkan niat itu. Setelah Yara masuk ke dalam minimarket barulah orang itu turun dari mobil dengan menggunakan masker.
"Lho, balik lagi. Kenapa?" tanya Emran. Dia juga baru masuk ke dalam setelah merasa puas menonton drama paman dan ponakan.
"Berapa utang Latif?" tanya Yara.
"Utang yang mana?"
"Memangnya dia punya berapa utang?" Akh! Rasanya lelah sekali mengurusi Latif, selalu membebani kehidupannya seperti ini.
"Kemarin dia pinjam 300 ribu, katanya yang bayar kamu pas gajian."
"Gajian dari mana? Uang gajiku aja dia curi!" Kembali berkacak pinggang, Yara rasanya ingin lari saja ke ujung dunia.
Sambil berbelanja, sang pemilik mobil yang memakai masker itu memasang telinga mendengarkan obrolan Yara dan Emran.
"Emran, maaf. Aku belum bisa bayar utang itu sekarang," ujar Yara akhirnya.
Emran mengangguk. "Santai aja. Jadi utang yang mana nih? Oh, dia utang rokok juga. 70 ribu."
"Emran! Rokok apa sebungkus harganya 70 ribu!"
"Dua, Neng! Latif utang dua bungkus rokok."
Duhai Allah yang maha pengasih dan maha penyayang, sungguh kesabaran Yara dibuat melonjak naik kalau berurusan dengan Latif.
Yara melangkah gontai saat keluar dari minimarket, kini uang di sakunya hanya tinggal beberapa puluh ribu saja.
Latif berjongkok, bersandar pada dinding gang. Amarah Yara menggebu melihat manusia tak tahu malu ini.
Plak!
"Awh! Sakit!"
Sebelah sandalnya berada di tangan kanan, Yara memukul kepala Latif dengan sandal itu.
"Yara ... kamu nggak sopan sama orang tua!"
"Orang tua apa? Kita cuman beda dua tahun. Ash! Latif ... kenapa kamu utang duit sama Emran?! Gaji aku juga sudah kamu curi. Kamu kok kurang uang terus!"
Memegangi kepalanya yang terasa perih, melihat Yara nampak lesu ada rasa bersalah muncul dalam hatinya. "Maaf ... aku kehabisan uang waktu itu," ucap Latif. Sepertinya pukulan sendal jepit di kepala mampu menarik kesadarannya dari rasa mabuk.
Menyandarkan diri pada dinding gang. "Latif ... coba cari kerjaan. Kamu nggak mau dapetin uang halal?" tanya Yara.
"Aku dapat uang dari kamu, memangnya uang kamu haram?"
Plak!
Lagi, Yara memukul Latif dengan sandal jepitnya.
"Caramu mendapatkannya dengan cara mencuri uangku. Itu haram hukumnya, Latif gila!"
Menghempaskan sandalnya ke tanah kemudian memakainya, Yara berjalan dengan kesal meninggalkan Latif.
"Yara ... aku masih pusing. Papah aku dong."
Berbalik lagi dengan kedua tangan mengepal. "Tolong ya Latif, jangan buat aku jadi pembunuh bersenjata sendal jepit!"
Oke! Ancaman Yara cukup menakutkan bagi Latif. Dia lekas berlari melewati Yara dan lekas masuk ke dalam rumah. Sebelum ponakan manisnya itu sampai, dia membuka lemari es, ada cemilan pemberian Valery di dalam sana . Dia mengambilnya dengan sebotol air minum kemudian mengurung diri di dalam kamar.
Lagi dan lagi, Yara dibuat kesal setengah mati. Malam itu dia berteriak memaki Latif
"Latif!!! Dasar pencuri!!!!"
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum