Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.
Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat buruk tentang Megan
Mobil yang membawa Megan pulang mulai bergerak. Roda melibas genangan air, memecahnya jadi percikan dingin di sepanjang jalan basah. Arkana berdiri kaku di tempat, matanya terpaku pada kursi belakang. Bayangan pucat itu… senyum tipis yang tidak seharusnya dimiliki manusia… lalu lambaian tangan yang begitu lambat, seperti melambai dari dasar mimpi buruk. Ziudith. Untuk apa dia memperlihatkan itu semua?
Tanpa pikir panjang, Arkana meraih ponselnya. Jemarinya gemetar saat menekan nomor Megan. Sambungan tersambung di dering kedua.
"Ya, Ar? Ada apa?" suara Megan terdengar lemah, tapi tenang.
"Megan… dengarkan aku. Jangan matikan telepon ini sampai kau tiba di rumah. Oke?"
"Ada apa? Kau terdengar ketakutan."
"Janji!" potong Arkana, terlalu cepat. "Jangan tutup teleponnya."
Megan terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Baiklah. Aku janji.”
Sepanjang perjalanan, Arkana berusaha membuat percakapan normal. Ia bertanya soal cuaca, keadaan jalan, bahkan hal-hal konyol hanya untuk menjaga Megan tetap berbicara. Megan sesekali terkekeh, heran mendengar betapa cerewetnya Arkana sekarang.
Namun di sela obrolan itu, Arkana mendengar sesuatu yang lain, suara perempuan bernyanyi lirih. Bukan lagu biasa, tapi lagu kehilangan yang begitu sendu hingga membuat mata Arkana panas. Dia tidak tahu kenapa, tapi air mata menetes tanpa peringatan. Suara siapa itu? Pikir Arkana yang konsentrasi terpecah sekarang ini.
Arkana meraup wajahnya, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya saja. Sampai Megan memanggilnya beberapa kali, menghancurkan lamunannya.
"Apa? Kau bilang sesuatu?" Tanya Arkana gugup belum bisa mengendalikan perasaan asing dalam dirinya.
Padahal Megan hanya memanggil namanya. Tapi telinga Arkana menangkap suara lain, lebih dekat, berbisik di antara jeda napasnya.
"Dia milikku. Akan ikut denganku."
Bulu kuduk Arkana berdiri.
"Tidak, Ar. Aku tidak mengatakan apa-apa," jawab Megan.
"Hm… Megan, kau bersama orang lain di mobil?" tanyanya ragu.
Megan menatap jalanan. "Tentu saja. Ada supir yang dari tadi diam saja karena aku lebih sibuk dengan mu. Ada apa, Ar?"
"Ah, kau benar.. tidak apa-apa." Arkana menelan ludah.
"Ar, aku sudah sampai rumah. Kau harus istirahat. Besok kau harus sekolah, kan? Jangan begadang. Tidur lah, Ar."
Arkana ingin sekali menolak. Tapi suara Megan terdengar terlalu lelah, dan dia tak ingin menambah beban gadis itu.
"Baiklah, tapi kirim pesan setelah kau masuk kamar. Ya?" Pinta Arkana sebelum mengakhiri perbincangan lewat telepon di antara mereka.
"Astaga… ada apa denganmu? Mendadak kau jadi tuan super posesif." Megan terkekeh.
"Kalau bisa… aku ingin ikut denganmu, Megan. Ingin memastikan kau sampai rumah dengan senyum yang disambut pelukan hangat orang tuamu."
Hati Megan hangat sesaat, lalu dingin kembali ketika sambungan telepon terputus. Dia mengira Arkana yang memutuskan sambungan telepon. Arkana pun berpikir hal yang sama. Padahal, tidak satu pun dari mereka yang menyentuh tombol apa pun.
.
.
.
Pagi pun tiba, tapi asal tahu saja… semalaman Arkana tidak dapat tidur. Dia terus menatap layar ponselnya, menunggu seseorang menghubunginya. Namun hingga matahari muncul dengan sinarnya yang gagah, orang yang dia tunggu tidak sekali pun mengirim pesan atau menelepon dirinya.
"Dia pasti baik-baik saja," gumam Arkana, seolah ingin menenangkan dirinya sendiri.
Namun rasa khawatir itu tetap ada, udara di kamarnya terlalu dingin, seolah ada lapisan tipis es yang menempel di kulit. Detak jam terasa lambat, meski jarum tetap bergerak normal. Dia mencoba mengabaikannya, menyalakan musik, membaca buku, tapi pikirannya selalu kembali ke satu nama. Megan.
Akhirnya dia memutuskan mandi, berharap air hangat bisa menghapus kegelisahan. Dia memaksa pikirannya percaya bahwa Megan sedang bersenang-senang di rumah, dikelilingi keluarganya. Namun, di dalam dada, ada tarikan halus... seperti tali tipis yang menariknya ke arah seseorang.
Di sekolah, Arkana berjalan lurus menuju kelas, melewati tatapan dan sindiran dari beberapa siswa tentang 'pelukan kemarin' antara dirinya dan Megan. Arkana tidak peduli. Baginya mereka semua tidak penting sama sekali.
Namun belum sampai ke kelas Jerman, kelas Arkana... Tiba-tiba lelaki itu teringat jerseynya tertinggal di loker. Hari ini ada jadwal latihan tim basket inti Lavente. Untuk itu Arkana berbelok menuju ruang loker, mengambil kunci, dan membuka laci. Tapi, bukan jersey yang pertama ia temukan.
Melainkan sebuah buku.
The Book.
Buku coklat usang yang tidak pernah ada di sana sebelumnya. Tidak pernah ada!
Nafas Arkana tercekat. Ketika dia ingin meraih buku itu, tiba-tiba saja buku terbuka sendiri, halaman- halamannya bergetar pelan. Seperti tertiup angin, atau ada yang sengaja membaliknya!
Dan di sana, di tengah halaman yang terbuka, ada huruf besar "M" bukan tinta biasa, tapi lebih seperti goresan gelap seperti darah yang mengering, baunya samar menusuk hidung.
Halaman itu bergetar sekali lagi, lalu sebuah bisikan menyusup langsung ke telinganya.
"Aku di dekatnya, aku bersamanya, dia akan ikut denganku… kau terlambat."
Arkana mundur satu langkah, punggungnya membentur tembok di belakangnya. Tangannya berkeringat dingin, rasa takut kehilangan membuat tulang di kaki Arkana seperti tidak berfungsi. Dadanya berdenyut, seperti ada yang meremas jantungnya.
Buku itu jatuh, tepat di hadapan Arkana. Dan yang membuat Arkana makin terkejut adalah... di bawah huruf M, muncul kalimat yang merayap keluar seakan ditulis oleh tangan tak terlihat, samar tapi bisa Arkana baca dengan baik.
'Dia menutup mata dan telinga, dia adalah penghianat yang tampak tidak bersalah. Yang kau cintai... Menyimpan racun dalam dirinya.'
Apa Arkana akan diam saja ketika melihat semua itu? Semua seperti teror tanpa akhir! Semua terlihat menakutkan. Arkana berlari, sangat cepat. Makin banyak saja netra yang mengamati pergerakan seorang Arkana.
Tujuan Arkana satu! Ke rumah Megan. Tapi sial! Dia tidak punya data apapun yang memudahkannya untuk bisa mewujudkan keinginannya agar bertemu dengan Megan.
"Data siswa ada di mana? Aku harus tanya alamatnya ke siapa? Oh Tuhan, tolong bantu aku. Satu kali ini saja!" Langkah kaki Arkana menuju kelas Swiss, kelasnya Megan.
Dia berharap salah satu di antara teman sekelas Megan ada yang tahu di mana si gadis pucat itu tinggal.
Nafasnya memburu, hampir habis rasanya tenaga dan udara di paru-parunya. Tapi dia tidak berhenti, Arkana harus cepat menuju kelas Swiss. Dan ketika kakinya menginjak di kelas yang sudah berkurang banyak muridnya karena telah melakukan perpindahan alam secara besar-besaran, Arkana menatap ke sekeliling.
"Ada yang tahu alamat Megan? Megan Alexa!" Tegas Arkana memandang seluruh isi kelas.
Dia Queenza, gadis itu mendekati Arkana. "Ada apa, Ar? Kau terlihat kacau." Ujar Queenza.
"Apa kamu punya alamat rumah Megan? Aku butuh sekarang juga." Alih-alih menjawab pertanyaan Queenza, Arkana lebih memilih bertanya tentang apa yang ingin dia ketahui.
Tahu jika Arkana mungkin sedang terburu-buru dan tidak ada waktu untuk berbasa-basi, Queenza mengangguk. Dia mengambil ponselnya, mengetikkan rentetan huruf di sana lalu menyodorkan pada Arkana.
"Bisa kirim saja ke nomer ku? Aku tidak bisa mengingatnya!"
Queenza mengangguk. Dia cari nomer Arkana di grup sekolah, nama Arkana langsung ketemu karena dia termasuk admin di grup sekolah elite itu.
"Hati-hati, Ar." Ucap Queenza dibarengi anggukan kepala Arkana.
Kembali berlari. Dia menatap alamat yang diberikan Queenza. Jika menunggu taksi, ini akan sangat lama. Arkana mengacak rambutnya frustasi! Apalagi jam pelajaran sekolah akan berlangsung sebentar lagi. Dia harus bagaimana?
Bukan, Arkana bukan takut namanya jadi buruk karena bolos sekolah. Tapi frustasi karena memikirkan bagaimana caranya agar cepat sampai ke rumah Megan! Mata elang Arkana menemukan solusi, motor milik penjaga sekolah ada di dekat parkiran. Dia menuju ke sana.
'Berusahalah sekuat yang kau bisa, ayo... Waktumu tak banyak...'
"Sialan!" Arkana memaki udara yang baru saja memperdengarkan suara tanpa wujud di telinganya.
Setelah negosiasi alot, Arkana bisa meyakinkan penjaga sekolah untuk meminjamkan motornya pada Arkana. Tentu saja dengan sogokan uang yang tidak sedikit!
Dua puluh menit mengendarai motor, tanpa helm, tanpa jaket, tanpa gaya modis, berbekal seragam sekolah dan motor hasil pinjaman paksa, Arkana sampai di rumah Megan.
Pintu pagar besi menjulang tinggi menyambutnya. Ada yang aneh, pintu pagar sebesar ini kenapa mudah sekali dia buka hanya dengan sekali dorong saja? Seperti memang disetting sedemikian rupa agar Arkana mudah masuk ke dalam sana. Atau memang sudah ada yang menunggunya? Tapi tidak, Arkana tidak ingin langsung masuk ke dalam sana.
Arkana meneliti kembali pesan chat Queenza di ponselnya yang menuliskan alamat rumah Megan tadi. Benar! Memang ini alamat yang Queenza catatkan. Tapi kenapa sepi seperti ini? Seperti tidak ada kehidupan saja di dalam bangunan mewah di hadapannya.
Langkah Arkana terasa berat saat menapaki halaman luas rumah Megan. Matahari pagi seharusnya hangat, tapi sinarnya hari itu seperti tumpul.. tidak mampu mengusir dingin yang menggigit tulang.
Pagar rumah itu terbuka setengah, bergoyang pelan tertiup angin. Arkana tidak selancang itu untuk memasuki rumah orang tanpa izin. mencoba memanggil pemilik rumah pelan, tapi suara sendiri terasa aneh, pecah, seperti terserap udara.
Dan di sanalah ia melihatnya.
Seorang gadis berdiri tepat di depan pintu rumah Megan. Namun dia bukan Megan.
Rambutnya basah, meneteskan air yang entah dari mana asalnya, mengotori lantai teras berubin putih. Pakaian seragam yang sama seperti yang Arkana pakai tapi, miliknya lebih lusuh, sobek di beberapa bagian, dan kulitnya pucat kehijauan, seperti baru diangkat dari dasar kolam yang gelap dan kotor. Kepala gadis itu miring ke satu sisi, terlalu miring untuk leher manusia biasa. Lalu mata itu… terbuka lebar, tak berkelopak, memantulkan cahaya pagi dengan kilau mati.
Arkana merasakan dadanya mengencang. Dunia di sekelilingnya terasa menjauh, menyempit, hanya menyisakan dirinya dan makhluk itu. Jemarinya gemetar.
Ziudith. Dia adalah Ziudith!
Dia tidak bergerak, tapi udara di sekitar terasa semakin berat. Angin pagi yang tadi berhembus kini lenyap, diganti oleh bau besi dan tanah basah. Arkana ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Tidak ada suara yang keluar, hanya desakan napas yang menyakitkan.
Ziudith perlahan mengangkat tangannya, jari-jarinya kurus dan pucat seperti ranting mati. Ia menunjuk Arkana.
"Masuklah... Ada kejutan untukmu di dalam sana." Ucap Ziudith dengan bibir tertutup namun suaranya bisa didengar jelas di dalam kepala Arkana.
Kan Megan pemeran utamanya
tadinya kami menyanjung dan mengasihaninya Krn nasib tragis yg menimpanya
tapi sekarang kami membencinya karena dendam yg membabi-buta
dikira jadi saksi kejahatan itu mudah apa?
dipikir kalo kita mengadukan ke pihak berwajib juga akan bisa 'menolong' sang korban sebagaimana mestinya?
disangka kalo kita jadi saksi gak akan kena beban moral dari sonosini?
huhhhh dasar iblissss, emang udh tabiatnya berbuat sesaddddd lagi menyesadkannn😤😤😤
karna kmn pun kamu pergi, dia selalu mengikutimu
bae² kena royalti ntar🚴🏻♀️🚴🏻♀️🚴🏻♀️
Megan tidak pernah jahat kepada ziudith,tapi kenapa Megan selalu di buru oleh Ziudith???!
Apakah Megan bakal kecelakaan,smoga enggak ah.. Jangan sampe
mau diem, diteror terus.. mau nolong, ehh malah lebih horor lagi juga🤦🏻♀️