Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Di ruang strategi rahasia bawah tanah, Wei Lian, Mo Yichen, Yan’er, Zhao Jin, dan dua panglima dari Hanbei duduk melingkar di sekitar peta besar Luoyang dan wilayah sekitarnya.
Mo Yichen menatap garis merah yang menunjukkan rute pasukan Ren Yao, lalu menepuk meja ringan.
“Jika kita menghadapi mereka langsung di gerbang kota, kita akan kehilangan ribuan nyawa. Terutama dari warga yang tak bersenjata.”
Wei Lian mengangguk. “Dan jika kita membiarkan mereka masuk, kehancuran akan terjadi dalam bentuk lain. Maka… kita tidak akan memilih di antara dua bencana.”
Zhao Jin mencondongkan badan. “Apa maksudnya?”
Wei Lian berdiri dan menarik secarik kain dari peta. Di bawahnya, sketsa sistem terowongan tua di bawah tanah Luoyang tersingkap yang dibangun generasi awal Kaisar sebagai jalur evakuasi rahasia.
“Selama sebulan ini, tim Ah Rui dan para pekerja senyap Hanbei sudah membersihkan dan memperkuat semua jalur ini,” jelasnya. “Mereka tersebar di bawah gudang senjata, dapur utama, rumah sakit istana, dan beberapa gerbang kota.”
Mo Yichen melanjutkan, “Kita akan memancing pasukan Ren Yao masuk ke area tertentu yang tampak lemah. Tapi saat mereka menyerang, kita tarik pasukan kita mundur ke dalam kota dan mengurung mereka dari belakang.”
Yan’er menambahkan, “Pasukan utama kita tidak akan berada di garis depan. Tapi menyebar di titik-titik tersembunyi untuk menjebak, bukan membunuh.”
Wei Lian menyipitkan mata ke peta.
“Kita kurung mereka dengan ketenangan, bukan darah.”
—
Pagi hari, saat Ren Yao tiba di luar gerbang barat Luoyang
Pasukan besar mengepung kota. Ribuan panah diarahkan, genderang dipukul nyaring, dan bendera merah dengan lambang naga emas milik Ren Yao berkibar tinggi.
Ren Yao menunggang kuda hitam pekat, matanya menyapu kota yang tampak… sunyi.
“Terlalu tenang…” gumamnya. “Jangan-jangan mereka sudah melarikan diri.”
Salah satu panglimanya, Jenderal Bian, tertawa keras. “Atau mereka menyerah sebelum melawan. Mereka tahu siapa yang benar-benar pantas duduk di singgasana.”
Ren Yao mengangkat tangan. “Siapkan formasi pecah gerbang.”
—
Tapi begitu pasukan pertama maju dan menabrak gerbang utama…
Gerbang terbuka.
Tak ada ledakan. Tak ada panah api. Hanya satu suara perempuan dari balik kabut.
Wei Lian berdiri di atas tembok, mengenakan baju perang biru tua, rambutnya terikat tinggi.
“Kau bisa masuk, Ren Yao. Tapi Luoyang bukan kota tanpa nyali.”
Ren Yao tersenyum licik. “Aku tak butuh nyali. Aku hanya butuh takhta.”
Namun begitu pasukannya mulai masuk perlahan… gerbang tertutup kembali secara otomatis.
Suara gemuruh logam bergaung. Sisi kanan dan kiri pasukan Ren Yao kini dikepung oleh tembok tambahan yang telah disiapkan—tertutup rapat seperti perangkap besi.
Dan dari balik lorong bawah tanah, pasukan elite Hanbei muncul tanpa suara.
Mereka mengangkat senjata tapi tidak menyerang.
Wei Lian muncul dari sisi barat, sementara Mo Yichen dari sisi timur. Mereka menutup barisan pasukan Ren Yao dari empat sisi. Semua lubang panah mengarah, tapi belum dilepaskan.
Ren Yao terperangah. “Apa ini…?”
Mo Yichen angkat suara lantang.
“Kau dikelilingi, Ren Yao. Tapi tak satu pun dari anak buahmu yang perlu mati. Serahkan dirimu, dan biarkan mereka pulang.”
Wei Lian menatapnya tegas. “Atau… kami akan menutup jalur bawah tanah. Dan pasukanmu akan kehabisan oksigen sebelum sempat menembus tembok.”
Ren Yao menggertakkan gigi.
Beberapa panglimanya mulai gelisah.“Kita… tak bisa keluar, Pangeran.”
“Kita dijebak.” seru yang lain
Suara dari dalam pasukan mulai berubah. Beberapa bahkan mulai meletakkan senjata.
Ren Yao berteriak, “PENGECUT! AKU PUTRA MAHKOTA LUOYANG! AKU ADALAH PENYELAMAT NEGERI INI!”
Mo Yichen maju satu langkah. “Tidak. Kau hanyalah pemimpi yang mengira bisa membangun tahta dari tulang rakyat sendiri.”
Dan dalam keheningan berikutnya…
Ren Yao mengangkat pedangnya bukan untuk menyerah, tapi untuk menusuk dirinya sendiri.
Tapi sebelum sempat, satu anak panah kecil menembus pergelangan tangannya. Ia menjatuhkan senjata, mengerang kesakitan.
Wei Lian menoleh. Ah Rui berdiri di atas tembok dengan busur kecil, sambil berteriak, “HEI! Bunuh diri itu pengecut! Kalau mau dihukum, biar hukum kita yang bicara!”
—
Hari itu, pasukan Ren Yao ditahan tanpa pertumpahan darah.
Ratusan dari mereka menyerahkan diri. Sisanya diantar pulang dengan pengawasan ketat.
Ren Yao diborgol dan diarak ke istana untuk diadili.
Wei Lian berdiri di atas gerbang, memandang ke arah matahari yang mulai naik.
Mo Yichen berdiri di sampingnya.
“Kita memenangkan perang tanpa pertumpahan darah,” gumamnya.
Wei Lian menatap ke langit, pelan menjawab:
“Karena kita pernah hidup di dunia yang dipenuhi darah. Sekali saja... cukup.”
—
Tiga hari setelah penangkapan Ren Yao
Istana Luoyang dipenuhi suasana baru. Tidak lagi penuh ketegangan, tapi bukan juga perayaan. Rakyat mulai merasa aman, namun seluruh kota masih dipenuhi penjagaan.
Di ruang sidang utama, Ren Yao diadili secara terbuka. Ia duduk bersimpuh, tangan terbelenggu, wajahnya penuh amarah tapi tidak lagi berani menatap lurus siapa pun.
Wei Lian duduk di kursi pengawas, mewakili Dewan Kehormatan Kekaisaran yang saat ini belum dibentuk kembali. Mo Yichen berada di samping Permaisuri, keduanya diam tapi waspada.
Seorang tetua berdiri, membaca hasil penyelidikan:
“...dengan ini Ren Yao dinyatakan bersalah atas pengkhianatan, konspirasi kudeta, pemalsuan dekrit kekaisaran, dan rencana pembunuhan pejabat negara…”
Ren Yao tertawa kecil. “Kalian pikir semua ini akan bertahan lama? Kaisar kalian lemah. Tanpa aku, negeri ini akan tetap jatuh!”
Wei Lian berdiri, tatapannya tajam menusuk:
“Kau bukan penyelamat. Kau hanya perampas yang tak punya cukup hati untuk melihat penderitaan rakyat. Kau mengira takhta adalah hadiah—padahal itu tanggung jawab yang menuntut jiwa dan pengorbanan.”
Ren Yao terdiam. Suara rakyat dari luar aula mulai bersorak kecil.
Putra Mahkota telah dijatuhkan.
Dan untuk pertama kalinya, Luoyang tidak hanya selamat… tapi mulai bersih.
—
Sore harinya, taman istana
Wei Lian duduk sendirian di bawah pohon plum yang mulai gugur. Suasana tenang—terlalu tenang setelah hari-hari penuh bahaya.
Mo Yichen mendekat tanpa suara. Di tangannya, surat bersegel.
“Dari utara,” ucapnya pendek.
Wei Lian membuka segel, membaca cepat… lalu menegang.
“Pasukan bayangan dari klan Liao yang dulu pernah bertempur dengan Hanbei mulai bergerak kembali. Mereka tidak bergerak menuju Hanbei… tapi ke arah selatan. Ke Luoyang.”
Ia menatap Mo Yichen dengan pandangan serius.
“Ini bukan hanya sisa-sisa pemberontak. Ini… rencana yang sudah disusun sejak kita sibuk dengan urusan dalam.”
Mo Yichen menarik napas dalam.
“Ren Yao… mungkin hanya pembuka jalan. Bayangan sejati belum muncul.”
—
Malam harinya, markas militer Hanbei yang sementara dibangun di luar Luoyang
Zhao Jin dan Yan’er duduk bersama di ruang strategi. Keduanya mulai menyusun laporan pergerakan logistik, penempatan pasukan, dan penyamaran jalur evakuasi.
Ah Rui datang sambil menyeret dua peti besar.
“Apa ini?” tanya Yan’er curiga.
“Bingkisan cinta untuk musuh kita,” jawab Ah Rui penuh semangat. “Peti pertama berisi umpan informasi palsu. Peti kedua… jebakan minyak menyala. Mereka bakal menyesal buka ini.”
Zhao Jin bergumam, “Aku mulai kasihan pada musuh.”
Yan’er menjawab lirih, “Aku mulai takut pada dia…”
—
Keesokan harinya, ruang rahasia bawah istana
Mo Yichen dan Wei Lian kembali menghadap peta.
“Kita tidak bisa berperang lagi di tanah ini,” ujar Wei Lian.
Mo Yichen menatapnya tajam. “Kau ingin membawa perang ke utara?”
Wei Lian menatap tanda panah merah di peta, lalu menjawab tegas:
“Tidak untuk perang. Tapi untuk mencegah perang.
Kita harus memukul mereka sebelum mereka menyentuh rakyat.”
Mo Yichen tersenyum samar. “Kau mulai terdengar seperti jenderal besar.”
Wei Lian menatapnya lurus. “Mungkin karena aku putri dari Jenderal Wei.”
Dan untuk pertama kalinya… Mo Yichen menggenggam tangan Wei Lian bukan karena tugas, bukan karena strategi tapi karena ia melihat cahaya yang ingin ia bawa bersama ke masa depan.
bersambung