Rui Haru tidak sengaja jatuh cinta pada 'teman seangkatannya' setelah insiden tabrakan yang penuh kesalahpahaman.
Masalahnya, yang ia tabrak itu bukan cowok biasa. Itu adalah Zara Ai Kalandra yang sedang menyamar sebagai saudara laki-lakinya, Rayyanza Ai Kalandra.
Rui mengira hatinya sedang goyah pada seorang pria... ia terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak ia pahami. Antara rasa penasaran, kekaguman, dan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya.
Dapatkah cinta berkembang saat semuanya berakar pada kebohongan? Atau… justru itulah awal dari lingkaran cinta yang tak bisa diputuskan?
Ikutin kisah serunya ya...
Novel ini gabungan dari Sekuel 'Puzzle Teen Love,' 'Aku akan mencintamu suamiku,' dan 'Ellisa Mentari Salsabila' 🤗
subcribe dulu, supaya tidak ketinggalan kisah baru ini. Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Metafora Cinta Haru
Ruang Konsultasi Psikologi Rumah Sakit Dr. Langit Diantoro, Lantai 5.
Cahaya redup menyusup dari tirai, memantulkan siluet Haru yang tengah duduk di seberang meja Dr. Dilan Diantoro. Aroma antiseptik samar menyelinap bersama kecemasan yang tak bisa ia namai. Dr. Dilan, dengan jas putihnya yang bersih dan senyum tenangnya, hanya menatap sabar seperti biasa.
“Aku merasa… seperti sedang berada di dalam percobaan fisika kuantum, Paman.” buka Haru, suaranya tenang tapi terselubung gamang.
“Oh?” Pria paruh baya yang sudah menjadi sahabat lama ayahnya itu menaikkan sebelah alisnya, tak buru-buru menanggapi.
“Partikel dan gelombang. Superposisi. Di mana satu partikel bisa berada di dua tempat sekaligus, sampai akhirnya diamati. Dan aku, mungkin, partikel itu.”
Paman Dilan tak menyela.
Biarkan Haru menjelajah metafora miliknya.
“Biasanya aku bisa memetakan semuanya. Dari sudut lengkung ruang hingga kecepatan cahaya. Dari statistik sederhana hingga dinamika kompleks dalam persamaan Navier-Stokes. Tapi ini… hal ini…,” Haru terdiam sejenak, tangan menggenggam dadanya, “…seperti variabel asing yang menyusup masuk ke dalam algoritma hidupku.”
“Kamu bicara tentang seseorang?” tanya pria yang sudah terbiasa mengenal banyak wanita itu. Suaranya tak menginterupsi, hanya mengarahkan.
“Entah. Mungkin.” Haru menghela napas. “Dia seperti paradoks. Eksistensinya membuat logikaku rusak. Jantungku berdetak tak beraturan. Padahal… jantung ini, sudah diperbaiki, kan? Katamu sudah berfungsi normal setelah operasi.”
“Benar. Secara medis, kamu stabil.”
“Tapi kenapa rasanya… seperti sedang overload?” Haru memijit pelipisnya. “Setiap kali melihat dia, detak itu… bukan tak biasa, tapi tak bisa dijelaskan. Bukan gejala medis. Lebih… abstrak.”
“Dan kamu merasa… kesakitan?”
“Ya. Tapi bukan seperti nyeri pasca operasi. Ini seperti—” Haru menatap lurus ke jendela, “—sebuah integral tak tentu. Rasa yang tidak bisa aku turunkan atau naikkan ke bentuk yang bisa aku pahami. Aku coba uraikan. Aku coba pecah dengan logika. Tapi tetap… hasilnya nol.”
“Kamu sedang jatuh cinta, Haru.”
“Aku tahu. Secara teori. Tapi tubuhku, khususnya bagian dada ini tak menerjemahkannya sebagai teori. Dia memberontak. Detaknya kacau. Rasanya seperti algoritma yang masuk ke dalam infinite loop tanpa jalan keluar.”
“Lalu apa yang kamu takutkan?”
Haru menunduk.
Jemarinya gemetar ringan, “Kalau cinta… adalah sebuah variabel tak pasti, dan jantungku adalah konstanta yang rapuh… maka gimana jika satu saja salah rumusnya… aku runtuh. Aku gagal. Bukan cuma dalam cinta… tapi hidupku.”
Keheningan menelusup.
“Haru, cinta bukan logika yang perlu kamu pecahkan. Ia seperti seni dalam sains. Seperti simetri dalam kekacauan. Ia hadir bukan untuk dimengerti… tapi untuk dirasakan.”
“Kalau begitu… gimana cara menerima bahwa aku mungkin… lemah?”
“Kamu tidak lemah. Kamu hanya hidup.”
“Lalu… bisakah Paman memeriksanya?” Suara itu nyaris lirih, seperti embusan angin yang tak yakin ingin bertiup. “Aku khawatir… ada yang salah dengan jantungku.”
Matanya perlahan menengadah, memantulkan cemas yang tak bisa diredam oleh pengetahuan sains yang dia miliki.
“Bukan… bukan untukku saja, Paman. Tapi untuk Ayah dan Bunda…” Ia menarik napas pendek, seolah paru-parunya pun takut ikut terasa penuh.
“Aku takut tingkahku nanti… terlihat aneh di rumah. Aku nggak bisa menjelaskan. Aku nggak bisa memformulasikan apa yang terjadi padaku.”
Senyap beberapa detik.
“Apa aku jatuh cinta… atau aku benar-benar sakit?”
Dilan, sosok yang sudah berdamai dengan masa lalu itu menatap pemuda yang dia anggap seperti anak sendiri dengan penuh simpati. Sosok jenius yang tak pernah tertunduk dalam perlombaan akademik, kini terlihat seperti bocah kecil yang tersesat di belantara rasa yang belum pernah ia jamah.
“Rasanya sesak, Paman…”
“Kadang, aku sampai harus menahan napas… hanya untuk memastikan jantungku masih berdetak. Tapi bukan karena nyeri, lebih karena… terlalu banyak yang berdesakan di dada ini. Kekaguman, takut, bahagia, dan malu... campur jadi satu. Dan aku, aku khawatir aku nggak bisa mengendalikannya.”
Tangannya perlahan bergerak ke dadanya, menyentuh bekas luka samar dari operasi dahulu. “Aku tahu aku harus kuat. Tapi jika ternyata ini cinta, dan cinta bisa merusak ritme hatiku… apa aku masih boleh merasakannya?”
Dilan berdiri, menghampiri, lalu meletakkan stetoskop di pundaknya. Tapi bukan untuk mendengarkan jantungnya, melainkan sebagai gerakan simbolik, empatik.
“Haru,” ujar beliau lembut, “Kadang, yang kamu butuhkan bukan diagnosis. Tapi keberanian untuk menerima bahwa tubuhmu sedang belajar hal baru. Rasa takutmu itu bukan gejala medis. Itu artinya kamu masih hidup dan sedang jatuh cinta.”
Haru diam.
“Tapi jika kamu masih ragu... kita akan periksa. Bukan karena kamu lemah. Tapi karena kamu manusia.”
Dan Haru akhirnya mengangguk.
Sebab mungkin untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia ingin tahu… apakah degup jantungnya memang pertanda sakit atau memang... suara paling jujur dari cinta yang diam-diam tumbuh.
Dan...
Lembaran baru terbuka.
Keramaian halaman kampus dipenuhi canda tawa, kilatan kamera, dan bunga-bunga warna-warni yang saling berlomba menandingi cerahnya hari. Wisuda ini seharusnya menjadi penanda awal dari lembaran baru dalam hidup Haru. Tapi jiwanya tak ikut melambung seperti toga yang diterbangkan.
Langkahnya perlahan menuruni tangga, berdampingan dengan Asaki. Suara hiruk pikuk menyebar namun hanya separuhnya yang Haru dengar. Pikirannya jauh, seperti tertinggal di ruang lain.
Lalu…
Suara itu memanggil.
"Abang Raaayyyy!!" Suara itu begitu khas. Lantang namun ringan. Ceria namun penuh kasih.
Langkah Haru terhenti.
Kepalanya menoleh.
Dan di antara riuh dan kerumunan toga, ada dia. Zara berlarian kecil, pelukan buket bunga hampir menutupi wajah mungilnya. Tapi senyum itu tetap terlihat. Terang. Senyum yang seketika membuat waktu terasa beku.
Zara menghampiri Ray. Menyodorkan bunga, tertawa, mengucap selamat. "Congratulation, Rayyanza Ai Kalandra."
Dan Ray, menyambut dengan tenang dan hangat. "Happy graduation, maksudnya, Zaraaa... Itu terlalu formal."
"Hihiiii..." Zara nyengir kuda.
Haru menatap.
Bukan karena cemburu.
Bukan karena patah hati.
Tapi karena hatinya, lagi-lagi, tak sanggup menanggung cinta sebesar itu dalam diam.
Zara tampak bersinar. Tak ada satu pun riasan mencolok di wajahnya. Hanya dirinya. Dan itu sudah cukup untuk membuat Haru sulit bernapas.
"Bagaimana bisa perasaan ini sebesar itu? Padahal aku belum pernah benar-benar memeluknya… Belum pernah menyentuh jemarinya… Tapi hatiku terasa penuh hanya dengan memandangnya."
Dadanya bergetar, seolah jantungnya sedang menimbang kemungkinan. Tapi kemudian pikirannya melangkah lebih dulu.
"Jika aku menyatakannya, apa yang akan berubah? Akankah semuanya rusak? Akankah Zara menjauh? Akankah aku menghancurkan impian dan rencana yang kubangun hanya karena sebuah rasa yang bahkan belum bisa kupahami sepenuhnya?"
Ia menarik napas pelan.
Menunduk.
Zara tertawa kecil di kejauhan, kini mengobrol dengan Ray, Mama Papa dan Danish. Momen keluarga yang hangat. Haru tak ingin merusaknya. Tak ingin mendadak menjadi awan gelap di tengah musim semi yang baru saja mekar.
“Biarkan dulu. Biarkan aku mencintainya dari jauh. Sampai aku siap. Sampai dia juga siap.”
Di antara tawa dan peluk bahagia para wisudawan, Haru memilih berdiri dalam diam. Tapi di balik matanya, perasaannya menjerit…
…dengan lembut.
../Facepalm/