Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taman yang tenang
Jam udah nunjukin angka satu siang waktu mereka bertiga balik ke kos. Matahari lagi galak-galaknya, panasnya nusuk sampai ubun-ubun. Sasmita buka pintu depan sambil ngibas-ngibasin jaketnya, langsung ngeloyor ke kamar.
“Sekian reportase gue tentang dunia luar,” gumamnya sambil nyender di tembok.
Tri dan Ningsih ngikik kecil. Mereka udah hafal banget pola gurunya. Setiap habis berinteraksi dengan 'umat manusia biasa', Sasmita kayak butuh istirahat panjang buat nge-reset sistem ke mode normal.
“Gue tidur dulu,” kata Sasmita, lalu hilang ke balik pintu kamar.
Begitu suara pintu ‘klik’, Tri dan Ningsih langsung sigap kayak agen rahasia.
“Fase dua, bro. Hari ini kita harus sukses lagi,” kata Tri sambil buka ponsel.
Ningsih nyoret-nyoret agenda kecil, “Target: Taman Kota Mahapena. Lokasi aman, minim potensi siluman, banyak pepohonan, ada penjual es goyobod. Perfect.”
Tri angguk. “Kita enggak ngajak dia ngelupain trauma, kita cuma ngajak dia ngerasain... normal.”
“Dan adem,” tambah Ningsih. “Dia butuh itu, bahkan kalau dia gak mau ngakuin.”
---
Sementara itu, di kamar, Sasmita udah selonjoran sambil ngebuka novel Pemburu Monster jilid dua. Kopi bekas pagi masih ada setengah gelas. Rokok tinggal puntung. Tapi matanya tenang. Hatinya... agak longgar. Gak nyangka juga dua muridnya bisa bikin dia ngelipet bahu buat keluar makan bubur pagi-pagi.
Dia enggak bilang, tapi perasaan itu masih nempel. Rasa... jadi bagian dari sesuatu yang hangat. Bukan sekadar pemburu. Bukan sekadar pemilik keris kutukan dan daftar musuh ghaib sepanjang Jalan Dago.
---
Sore mulai turun pelan-pelan. Langit berubah jadi gradasi jingga, dan hawa panas berubah jadi angin lembut. Tri dan Ningsih udah berdandan rapi. Bukan yang heboh—kaus adem, celana jeans, sandal, dan tas kecil. Tri bawa satu bantal duduk, Ningsih bawa termos kecil berisi es kopi susu buat Sasmita.
“Guru!” Tri ngetuk pintu kamar.
Dari dalam, suara serak dan pelan, “Apa lagi... Lo mau ngajak perang siluman di taman kanak-kanak?”
“Enggak lah. Tapi hampir.”
Ningsih nyelipin kalimat, “Kita mau ngajak guru... duduk. Di taman. Di bawah pohon rindang. Tanpa suara peluru atau jampi-jampi.”
Pintu kebuka setengah. Muncul mata curiga, dan asap rokok. “Kenapa hari ini kalian kayak... agak normal?”
Tri cengengesan. “Karena kami ingin lihat Guru jadi abnormal. Dalam artian... manusia biasa.”
Sasmita ngedengus, “Gue ini udah abnormal dari lahir.”
“Justru itu,” kata Ningsih. “Makanya sekarang kami ajak Guru jadi biasa. Satu sore aja.”
Sasmita ngelirik langit. “Oke. Tapi kalo ada yang nyamperin nawarin MLM atau tanya zodiak gue, gue tinggal.”
“Setuju!” seru mereka berdua.
---
Taman Kota Mahapena sore itu cukup ramai, tapi gak sesak. Anak-anak kecil lari-larian, pasangan muda duduk di kursi panjang, dan beberapa ibu-ibu olahraga ringan sambil ngobrolin sinetron.
Mereka bertiga milih spot di bawah pohon Trembesi besar. Anginnya sejuk, baunya tanah basah yang belum lama disiram air hujan kemarin. Tri gelar bantal duduk, Ningsih nyodorin es kopi ke Sasmita, dan sang guru cuma duduk diem sambil ngeliat sekeliling.
“Lo tau enggak,” kata Sasmita pelan, “Tiap tempat adem kayak gini, gue otomatis mikir: ‘Di mana spot sembunyi yang bagus kalo siluman menyerang?’.”
Tri nyengir. “Tenang, sekarang spot sembunyi lo itu bangku taman dan es kopi.”
Sasmita ngambil novel dari tas kecilnya. Duduk selonjor. Ngebuka halaman baru.
Mereka bertiga duduk tanpa kata. Tapi enggak canggung. Justru... hangat.
Orang-orang yang lewat ngeliat mereka kayak keluarga kecil. Tiga manusia duduk tenang, menikmati sore.
---
Beberapa menit berlalu.
Tri main ponsel, sambil curi-curi liat wajah gurunya.
Wajah yang biasanya tegang, hari ini... datar. Tapi datar damai. Bukan datar siap tempur. Sasmita ngebaca novel dengan pelan. Kadang senyum kecil waktu nemu adegan lucu. Kadang alisnya naik karena tulisan terlalu lebay.
“Guru...” kata Ningsih tiba-tiba.
“Hm?”
“Pernah kepikiran buat tinggal di desa? Yang... beneran gak ada siluman, gak ada kutukan. Cuma ada kebun tomat, ayam, dan langit luas.”
Sasmita mikir. Lalu jawab pelan.
“Gue pernah mimpi kayak gitu. Dulu. Tapi... waktu gue tanya sama diri sendiri: ‘Apa lo bisa hidup tanpa nyelametin orang?’, gue gak bisa jawab.”
Tri nunduk. “Tapi kalo kami yang nyelametin Guru? Dari hidup yang terlalu berat?”
Sasmita nengok.
Matanya keliatan capek. Tapi juga... lega.
“Kalau lo berdua bisa,” katanya sambil ngebuang asap rokok ke angin, “ya mungkin dunia emang masih punya harapan.”
---
Senja mulai jatuh.
Suara azan terdengar dari masjid taman. Anak-anak kecil mulai diajak pulang. Sasmita berdiri, ngelipet novelnya, terus berdiri sambil meringis dikit—pegal duduk lama.
Tri dan Ningsih berdiri juga.
“Besok kita healing lagi?” tanya Ningsih.
Sasmita senyum tipis. “Healing lo, kerjaan gue nambah. Tapi... boleh lah. Satu hari lagi. Tapi harus ada gorengan.”
Tri nyorakin pelan, “Yeeahhh! Guru setuju healing!”
Sasmita ngelirik. “Healing gue itu... makan tempe mendoan sambil liat langit. Lo bisa wujudin itu?”
Tri dan Ningsih saling pandang. “Deal!”
---
Waktu mereka jalan pulang, bayangan tiga orang jatuh panjang di trotoar. Sore udah masuk ke malam. Tapi di hati mereka bertiga, sesuatu jadi terang.
Mungkin bukan terang dari lampu.
Tapi terang dari rasa cukup.
Dari jeda yang jarang.
Dari hidup yang, setidaknya untuk hari ini, terasa... manusiawi.
Bersambung.....