Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Kehebohan di Kos
Malam itu, setelah makan malam dan shalat Isya, Arjuna memutuskan untuk tidak bergabung dengan teman-temannya di teras. Ia merasa perlu waktu untuk menyendiri, untuk memproses semua yang terjadi dan mempersiapkan mental untuk hari esok—kembali bekerja di proyek. Di dalam kamarnya, ia membaca kembali pesan dari Aulia, lalu tersenyum dan mulai menata buku catatan baru pemberian gadis itu di atas meja kayunya yang reyot. Ia merasa lelah, namun hatinya penuh dengan kedamaian yang baru.
Sementara itu, di teras, Budi, Ucup, Gofar, dan Toni sedang berkumpul seperti biasa. Gofar, yang baru pulang lembur, sedang mendengarkan cerita heboh dari Budi tentang bagaimana Arjuna ternyata ikut tes di UNG dan berhasil membuat sang "bidadari kos" turun gunung untuk memberinya selamat.
"Seriusan lo? Si Aulia nyamperin si Arjuna?" tanya Gofar tak percaya, matanya membulat.
"Beneran! Gue saksinya!" seru Budi. "Makanya gue bilang, temen kita yang satu itu bukan orang biasa."
Di tengah obrolan mereka, Ucup tampak paling diam. Ia tidak ikut menimpali, matanya terpaku pada layar ponselnya, jarinya menggulir dengan cepat. Sebagai anak yang paling mengikuti perkembangan berita, ia punya kebiasaan membaca portal berita harian sebelum tidur.
Tiba-tiba, Ucup menegakkan tubuhnya. "Eh, tunggu sebentar," gumamnya, matanya menyipit di balik kacamata.
"Kenapa, Cup? Liat berita cewek cantik lagi?" ledek Budi.
"Bukan... ini..." Ucup tidak menggubris ledekan itu. Ia membaca sebuah judul artikel dengan suara pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Fenomenal! Siswa dari Desa Kecil Raih Peringkat Pertama Beasiswa Paling Bergengsi UNG dengan Skor Nyaris Sempurna."
"Wih, keren juga tuh anak," komentar Toni. "Saingan si Arjuna berarti."
"Masalahnya..." Ucup menelan ludah, jarinya memperbesar tulisan di artikel itu. "...di artikel ini disebutin namanya."
Gofar, Budi, dan Toni langsung mencondongkan tubuh mereka, penasaran. "Siapa namanya?" tanya Gofar.
Ucup menatap ketiga temannya dengan ekspresi yang sulit digambarkan, campuran antara syok, takjub, dan merinding.
"Namanya..." katanya dengan suara bergetar. "...Arjuna Wicaksono."
Hening.
Suara jangkrik yang biasanya ramai terdengar pun seolah ikut terdiam.
"APA?!" Budi berteriak, merebut ponsel dari tangan Ucup. Matanya membelalak membaca nama itu, lalu membaca isi artikelnya dengan suara keras dan terbata-bata.
"Universitas Nusantara Global hari ini merilis hasil seleksi beasiswa prestasi... menempatkan nama Arjuna Wicaksono dari SMA Negeri 1 Sumbing Jaya, Temanggung, di peringkat teratas... Pihak dekanat, yang diwakili oleh Profesor Budiarto, menyebut hasil ini sebagai sebuah fenomena langka... seorang jenius tersembunyi dengan latar belakang sederhana yang berhasil mengalahkan ribuan pesaing dari sekolah-sekolah unggulan..."
Budi terus membaca, suaranya semakin heboh. Artikel itu bahkan sedikit menyinggung kisah Arjuna sebagai anak yatim piatu yang berjuang seorang diri, menjadikannya sebuah cerita inspiratif yang sempurna.
Setelah Budi selesai membaca, mereka berempat terdiam. Mereka saling pandang, mencoba memproses informasi yang baru saja meledak di hadapan mereka.
Teman mereka. Arjuna. Anak pendiam, sopan, dan kurus yang tidur di kamar nomor 13. Yang beberapa jam lalu mereka traktir sate. Yang besok pagi akan kembali menjadi kuli angkut semen. Ternyata adalah seorang jenius fenomenal yang sedang menjadi buah bibir di kalangan akademisi.
"Pantesan," desis Gofar, memecah keheningan. "Pantesan si Aulia sampai turun tangan langsung. Dia tahu lawannya bukan orang sembarangan."
"Gila," timpal Toni, menggelengkan kepalanya tak percaya. "Kita... kita satu kos sama orang yang masuk berita nasional."
Budi, yang paling pertama pulih dari keterkejutannya, langsung berdiri dengan semangat membara. Wajahnya memerah karena bangga dan antusias.
"Ngapain kita diem aja di sini?!" serunya. "Temen kita jadi orang hebat! Kita harus samperin dia! Sekarang juga!"
Tanpa menunggu persetujuan, Budi memimpin rombongan. Mereka bertiga bangkit dan berjalan cepat, nyaris berlari, menyusuri lorong menuju satu pintu di ujung. Pintu kamar nomor 13. Pintu kamar sang jenius tersembunyi yang sama sekali tidak sadar bahwa di luar sana, namanya sedang menggema.
Arjuna baru saja meletakkan buku catatan dari Aulia di atas meja. Ia duduk di tepi kasur, menghela napas panjang, mencoba menyerap semua kejadian luar biasa hari itu. Keheningan kamarnya terasa menenangkan, menjadi benteng dari dunia luar yang rumit.
Namun, keheningan itu tidak bertahan lama.
GEDEBUK! GEDEBUK! GEDEBUK!
Pintu kamarnya yang tipis digedor dengan brutal, seolah akan copot dari engselnya. Diikuti oleh suara-suara teriakan yang riuh.
"JUN! ARJUNAAA! KELUAR LO, JENIUS SIALAN!" Suara Budi terdengar paling keras, bercampur dengan tawa dan teriakan yang lain.
"WOI, ARTIS! BUKA PINTUNYA!" sahut Toni. "JANGAN PURA-PURA TIDUR!"
Arjuna tersentak kaget. Jantungnya berdebar kencang. Ada apa ini? Apa ia melakukan kesalahan? Kenapa mereka terdengar begitu marah sekaligus... aneh? Suara gedoran dan teriakan yang terus-menerus membuat kepalanya terasa pusing. Ia bingung dan sedikit takut.
Dengan ragu, ia bangkit dan berjalan ke arah pintu. "Iya, Mas, sebentar!" serunya, berharap bisa menenangkan mereka.
Saat ia membuka daun pintu, ia bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. "Ada apa, Mas-ma—"
Wajahnya langsung disambut oleh pemandangan empat temannya yang memasang tampang "sangar" yang dibuat-buat, mata mereka melotot, dan senyum mereka ditahan-tahan.
Sebelum ia bisa bereaksi, serangan dimulai.
"Dasar anak ini!" Budi menjadi yang pertama. Telunjuknya dengan gemas mendorong kening Arjuna. "Punya otak pinter disimpen sendiri, nggak bilang-bilang!"
Pletak! Toni ikut menoyor pelan kepala bagian belakang Arjuna. "Gila lo, Jun! Bikin kita semua sport jantung semaleman! Kirain temen, taunya calon menteri!"
"Sini lo!" Gofar, yang biasanya paling kalem, kini ikut-ikutan merangkul Arjuna dengan kasar dan mengacak-acak rambutnya hingga berantakan.
Arjuna terhuyung-huyung, pusing diserang dari berbagai arah. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Aduh... aduh... ada apa sih ini sebenernya? Saya salah apa?" tanyanya di tengah "serangan" itu.
Ucup, yang paling waras di antara mereka, tidak ikut mendorong. Ia hanya berdiri sambil menyodorkan ponsel Budi tepat di depan wajah Arjuna, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit di balik kacamata. "Salah lo?" katanya. "Ini salah lo!"
Mata Arjuna fokus pada layar ponsel itu. Sebuah portal berita harian. Dan sebuah judul besar yang terpampang di sana dengan fotonya yang diambil dari ijazah SMA.
"FENOMENAL! SISWA DARI DESA KECIL RAIH PERINGKAT PERTAMA BEASISWA PALING BERGENGSI UNG..."
Arjuna terpaku. Ia membaca judul itu, lalu beberapa baris pertama artikelnya. Ia akhirnya mengerti. Ia mengerti sumber dari semua kekacauan ini. Rahasianya, setidaknya sebagian, telah terbongkar dengan cara yang paling tidak ia duga.
"Nah! Kaget kan lo?!" seru Budi, melihat ekspresi terkejut di wajah Arjuna. "Kita semua di sini bangga setengah mati sama lo, eh dianya malah santai-santai aja di kamar!"
"Gimana rasanya jadi terkenal, Jun?" ledek Gofar, masih sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Arjuna tidak bisa berkata-kata. Ia menatap wajah teman-temannya satu per satu. Tidak ada kemarahan di sana. Yang ada hanyalah luapan kebanggaan, kebahagiaan yang tulus, dan cara mereka yang aneh untuk menunjukkan rasa sayang sebagai seorang sahabat.
Ia akhirnya tidak bisa menahan senyumnya. Di tengah lorong kos yang remang, dikelilingi teman-temannya yang masih terus menggodanya, Arjuna tertawa. Tawa yang lepas dan bahagia. Beban rahasianya terasa sedikit lebih ringan, karena ia tahu, ia tidak lagi sepenuhnya sendirian dalam menghadapi takdirnya yang luar biasa.
biar nulisny makin lancar...💪