Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lagi-lagi Geng Rubah
Hanin teringat untuk mengembalikan jaket milik Awan. Jaket itu sudah wangi sekarang karena dia sudah mencucinya, tepatnya Bi Indung yang dia minta untuk mencuci jaket itu.
Setelah memastikan jaket itu aman di dalam tasnya, Hanin kembali lagi ke ruang makan hanya untuk menemui Miranda dan Elvan untuk berpamitan.
Hanin masuk mobil yang sudah disiapkan Pak Joko, di mana pria itu sudah menunggunya di belakang setir. Begitu Hanin memberikan perintah, pria itu langsung menyalakan mesin. Mobil melesat, melaju pelan meninggalkan garasi.
Ponsel Hanin berdering panggil masuk. Setelah mengeceknya ternyata dari Satya. Melihat nama itu, Hanin teringat dengan kejadian semalam yang masih membuatnya kesal. Semalam dia sudah menunggu lama ingin berbicara dan mengobrol, tapi Satya mematikan ponselnya. Dan saat itu, Hanin sedang malas untuk berbicara dengan Satya, maka dia mengabaikan panggilan itu.
“Non, teleponnya tidak diangkat?” tanya Pak Joko yang mendengar suara panggilan tak kunjung berhenti. Bahkan berbunyi lagi sampai beberapa kali.
“Biar saja, Pak, tidak penting,” jawab Hanin dengan nada ketus.
“Siapa tahu penting, Non,” kata Pak Joko, tapi Hanin tetap mengabaikannya.
Hingga tiba di gerbang sekolah panggilan itu sudah berhenti. Sepertinya Satya tahu di jam itu Hanin sudah berada di sekolah dan sebentar lagi ponsel disita guru yang mengajar pertama kali.
Sambil berjalan Hanin menebarkan pandangannya. Biasanya ketika dirinya sampai di sekolah, Awan pun juga tiba dan menyapanya. Padahal dia ingin mengembalikan jaket itu secepatnya.
Karena orang yang ditunggu tak kunjung datang, Hanin memutuskan langsung pergi ke kelas.
Di depan pintu kelas, Hanin sudah ditunggu Rio dan Zaki. Dua remaja itu terlihat gelisah menunggunya dan tersenyum lega begitu melihat Hanin muncul.
“Silakan masuk, Nona,” ucap Rio.
Hanin hanya tersenyum masam, dan melalui mereka berdua tanpa mengatakan apa pun. Rio dan Zaki saling berpandangan heran kemudian menyusul Hanin masuk ke ruangan.
Semenjak datang Hanin benar-benar tak banyak bicara, apalagi meladeni Rio dan Zaki yang terus mengikuti dan mencari perhatiannya. Dua remaja itu ingin bertanya, tapi tak berani, melihat sikap Hanin yang pendiam saat itu. Karena mereka tahu, diamnya Hanin pasti sedang menahan marah.
Sampai jam istirahat pun Hanin masih mengacuhkan mereka berdua, tapi Rio dan Zaki tetap mendampinginya saat menuju kantin. Lepas dari pengawasan, Satya bisa marah besar dengan mereka.
Hanin sedang ingin sendirian, dia mengatakan mau pergi ke toilet, padahal dia hanya ingin menghindari Rio dan Zaki. Diam-diam Hanin menyelinap keluar dari toilet tanpa dua temannya itu sadari.
Di bawa tangga dia dihadang dua dari anggota Girl Rubah. Mereka berdiri di tengah jalan sengaja menghalangi Hanin untuk lewat.
“Bisa tolong minggir, aku mau lewat,” ucap Hanin dengan sikap yang sopan.
Dua gadis itu pura-pura tak mendengar perkataan Hanin, mengacuhkannya dengan sibuk mengobrol. Hanin jelas saja merasa dua remaja itu sengaja sedang mencari masalah dengan dirinya. Hanin bertambah kesal dan semakin kesal dengan sikap mereka. Jika sebelumnya dia diam saja, hari itu Hanin sedang kesal hatinya dan sensitif.
“Kalian mau minggir tidak?” Hanin masih berusaha bersikap tenang dan berbicara dengan baik. Sayangnya dua remaja itu tidak bisa diajak baik-baik, menambah kesal hati Hanin yang tengah marah. Hanin akhirnya memaksa melintas dengan memberikan sedikit dorongan dan membuat dua remaja itu terhuyung ke samping, tapi salah satu remaja itu tidak membiarkan Hanin pergi begitu saja. Dia mengangkat salah satu kakinya membuat Hanin tersandung. Tubuh Hanin terhuyung dan jatuh di tangga. Keningnya membentur pegangan tangga.
Dua remaja Geng Rubah bangun, dan menertawakannya. Rio dan Zaki datang meskipun sedikit terlambat. Melihat Hanin duduk di lantai mereka pun langsung menebak bahwa itu adalah ulah dua gadis itu. Rio maju mendekati Iren dan Lisa yang sama sekali tidak terlihat takut.
“Jadi kalian yang melakukan semua ini? Apa karena tidak ada Satya jadi kalian berani berbuat kasar dengan Hanin?” tanya Rio.
“Dia yang memulai, berani membuat kami terjatuh,” jawab Iren.
“Tapi, jika bukan karena kalian yang memulai masalah, Hanin tidak akan melakukan itu. Kalian ini bisanya cuma cari gara-gara,” balas Rio.
“Jadi kamu mau apa?” Iren melangkah maju. “Mau membalasku?” Iren membusungkan dadanya.
Melihat sikap Iren yang berani dan tak tahu malu itu, Rio malah dibuat gagal fokus melihat gundukan besar di balik seragam Iren, Rio tak berani melakukan apa pun. Dia dibuat seperti orang bodoh.
Tapi, tidak dengan Zaki. Dia maju dan menyingkirkan Rio. Sesuatu yang membuat Rio tampak seperti orang bodoh itu tidak berlaku untuk Zaki.
“Kau pikir dengan caramu ini kami tidak berani menghadapimu. Minta maaf dengan Hani, atau aku buat milikmu ini kempis,” ancam Zaki.
Iren langsung dibuat mengkeret dan menutupi dadanya dengan tangannya. Ucapan Zaki sangat tidak mengenakkan, membayangkan bagaimana cara Zaki melakukan itu Iren menjadikan ketakutan.
“Jangan mau, Iren, gara-gara dia Niken dihukum.” Kini Lisa yang maju menghadapi Zaki.
Melihat pertengkaran tidak perlu itu Hanin melerai. Dia meminta Zaki dan Rio segera pergi meninggalkan tempat itu. Jika ada guru yang melihat mereka bertengkar pasti yang disalahkan adalah anak laki-laki.
Niken dan Iren menatap kepergian ketiganya dengan tatapan sinis. Meskipun salah satu teman mereka telah dikeluarkan dari sekolah karena penyekapan yang dilakukan pada Hanin, tetap saja mereka tak merasa jera. Selalu saja ada perasaan iri dan dendam di hati mereka terhadap Hanin.
••
Pulang sekolah Hanin berdiri di tempat parkir seorang diri. Seharusnya ada Zaki dan Rio yang menemani mereka seperti permintaan Satya. Menjaga Hanin sampai dia pulang.
Tapi, Hanin berpikir tidak ingin merepotkan mereka. Saat pulang, Hanin kembali menyelinap diam-diam dari keduanya saat Rio dan Zaki tengah menyelesaikan tulisannya.
Saat ini Hanin sedang kebingungan karena Pak Joko belum datang menjemputnya. Jika dirinya menghubungi rumah, hal itu akan membuat Miranda menjadi lebih khawatir.
Hanin ingin menghubungi Satya, tapi saat ini mungkin Satya sedang sibuk jadi, dia mengurungkan niatnya.
“Sepertinya princessnya Satya belum ada yang jemput nih.” Lagi-lagi Iren datang dan mengganggu Hanin.
Hanin sangat malas jika harus menghadapi mereka yang selalu saja membuat gara-gara.
“Bagaimana kalau ikut dengan kami saja, Hanin. Mobilku masih kosong tuh.” Iren menawarkan bantuannya.
“Tidak, terima kasih,” jawab Hanin singkat.
“Ayolah, Hanin, kalau kau terus berada di sini nanti ada cowok-cowok jalanan yang mengganggumu. Sementara sang penjagamu itu sedang tidak berada di sini, Ikut kami saja.”
Iren kemudian menarik tangan Hanin meninggalkan tempat itu, tapi Hanin menolaknya menyingkirkan tangan Iren. Karena terus dipaksa maka terjadilah tarik menarik di antara mereka yang berujung Hanin terjatuh karena dilepaskan begitu saja.
Pada saat itu datang Juan, satpam sekolah yang bergegas menghampiri mereka dan mengecek apa yang terjadi.
“Ada apa ini?” tanya Juan. Melihat dua gadis yang selalu membuat masalah itu, Juan bisa menebak mereka tengah melakukan sesuatu pada Hanin.
“Kalian berdua apa yang kalian lakukan pada Hanin? Belum cukup dengan kejadian yang menimpa teman kalian itu?” Juan mengingatkan.
“Tidak apa-apa kok, Pak. Kami hanya ingin mengajaknya pulang bersama, tapi dia menolak,” jawab Iren.
“Dan kalian memaksanya, kan? Sebaiknya kalian pulang dan jangan cari gara-gara!”
“Iya, iya Pak.”
Iren dan Lisa berlalu meninggalkan tempat itu setelah mendapat gertakan dari satpam sekolah. Juan kemudian menghampiri Hanin.
“Kau tidak apa-apa, Hanin?” tanya Juan.
“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Hanin, yang terus memandang ke arah pintu gerbang.
“Kamu belum dijemput?” tanya Juan.
Hanin hanya mengulas senyum.
“Dia akan pulang bersamaku, Pak.” Awan muncul dengan motornya dan berhenti di depan mereka. Setelah itu turun menghampiri Hanin. “Aku akan mengantarmu pulang,” lanjutnya.
“Tidak usah, Kak. Sebentar lagi Pak Joko juga datang,” tolak Hanin.
“Ini sudah siang, semua sudah pada pulang, Hanin. Mungkin Pak Joko ada halangan atau ada masalah dengan mobilnya.”
“Kalau ada masalah Pak Joko pasti memberitahuku. Biar aku tunggu sebentar lagi.”
“Kau takut ikut denganku? Kau takut aku akan berbuat macam-macam. Kebetulan ada Pak Juan di sini, dia tahu kau pergi denganku. Jika ada yang tanya dia bisa memberitahunya.”
“Tapi ...,”
“Sudah, ikut saja,” ucap Awan sembari menyodorkan helm kepada Hanin.
“Ikut saja, kalau dia macam-macam bilang saja pada Pak Juan,” kata pria itu sembari menepuk dadanya sendiri.
Akhirnya karena hari sudah siang dan sekolah sudah sepi, Hanin tak punya pilihan lain. Dia terpaksa menerima tawaran Awan dan ikut pulang bersamanya.