Julia (20) adalah definisi dari pengorbanan. Di usianya yang masih belia, ia memikul beban sebagai mahasiswi sekaligus merawat adik laki-lakinya yang baru berusia tujuh tahun, yang tengah berjuang melawan kanker paru-paru. Waktu terus berdetak, dan harapan sang adik untuk sembuh bergantung pada sebuah operasi mahal—biaya yang tak mampu ia bayar.
Terdesak keadaan dan hanya memiliki satu pilihan, Julia mengambil keputusan paling drastis dalam hidupnya: menjadi ibu pengganti bagi Ryan (24).
Ryan, si miliarder muda yang tampan, terkenal akan sikapnya yang dingin dan tak tersentuh. Hatinya mungkin beku, tetapi ia terpaksa mencari jalan pintas untuk memiliki keturunan. Ini semua demi memenuhi permintaan terakhir kakek-neneknya yang amat mendesak, yang ingin melihat cicit sebelum ajal menjemput.
Di bawah tekanan keluarga, Ryan hanya melihat Julia sebagai sebuah transaksi bisnis. Namun, takdir punya rencana lain. Perjalanan Julia sebagai ibu pengganti perlahan mulai meluluhkan dinding es di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larass Ciki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Anakku adalah yang terbaik, dan ibu sangat mencintaimu.” Aku mencium keningnya dengan lembut. Bibirku yang hangat menyentuh kulitnya yang lembut, dan aroma bayi yang khas langsung memenuhi hatiku dengan kehangatan. Dia tertawa kecil saat aku memandikannya, mencipratkan air dengan tangannya yang mungil.
“Noel, jangan ciprat-ciprat air ke wajah ibu,” tegurku dengan nada bercanda sambil tersenyum. Tangannya langsung berhenti bergerak, tetapi senyumnya justru semakin lebar, membuat matanya yang bulat bersinar penuh keceriaan.
“Aku tidak sengaja, Ibu. Air ini ingin bermain sendiri,” jawabnya dengan polos sambil menunjuk ke air di bak mandi. Aku tertawa kecil mendengar jawabannya.
Aku mengambil gayung kecil, menuangkan air hangat perlahan di atas kepalanya. Ia menutup matanya erat-erat sambil memegang bahuku dengan tangan kecilnya. Setelah memastikan seluruh tubuhnya bersih, aku mengambil handuk besar untuk membungkus tubuh mungilnya.
“Ayo sini, Sayang.” Aku mengangkatnya dari bak mandi dan memeluk tubuhnya yang hangat. Ia memeluk leherku dengan erat, menggosokkan pipinya ke bahuku. “Ibu, rambutmu basah karena aku,” katanya, memandang rambutku yang basah dan berantakan.
Aku tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, Sayang. Ibu akan mandi setelah ini.”
Setelah mengeringkan tubuhnya dengan hati-hati, aku membantu Noel mengenakan baju tidurnya. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, memudahkan aku memasukkan bajunya. "Sekarang aku tampan, kan, Bu?" tanyanya dengan nada penuh percaya diri.
“Tampan sekali!” Aku mencubit pipinya pelan, membuatnya terkikik geli. Aku memeluknya sekali lagi sebelum membawanya keluar dari kamar mandi.
Saat masuk ke kamar, aku melihat Ryan sedang duduk di tepi tempat tidur. Dengan sikunya di lutut, ia menopang dagunya di telapak tangannya, memandang kami dengan mata yang berbinar. Ada senyum kecil di wajahnya, seolah-olah ia menikmati momen kebahagiaan ini.
“Ayah, lihat! Ibu memandikanku. Apakah aku tampan?” Noel memamerkan senyum lebarnya dan menunjuk dirinya sendiri dengan penuh semangat.
Ryan tersenyum lebih lebar, mengulurkan tangan untuk menggendong Noel. “Ya, ganteng sekali. Siapa yang lebih tampan, Ayah atau kamu?” tanya Ryan sambil mencubit hidung kecil Noel dengan gemas.
“Aku! Tapi Ayah hampir sama tampannya dengan aku,” jawab Noel sambil tertawa kecil. Aku terkikik mendengar jawabannya.
Ketika aku menyerahkan Noel ke pelukan Ryan, anakku tiba-tiba memeluk leher ayahnya dengan erat dan berteriak di dekat telinganya, “Aku mencintaimu, Ayah!”
“Jangan, Noel! Kamu bikin telinga Ayah jadi mati rasa!” Ryan berseru sambil pura-pura memegang telinganya dengan ekspresi kaget. Noel tertawa keras, merasa berhasil menggoda ayahnya.
Namun, saat nama "Noel" keluar dari mulut mereka, hatiku mendadak terasa berat. Nama itu mengingatkanku pada Noah, adikku yang sudah tiada. Luka lama yang berusaha kusimpan rapat-rapat kembali terbuka. Aku menunduk, menutupi perasaan yang tiba-tiba menyeruak. Aku tidak ingin mereka melihat air mataku.
“Aku akan mandi sekarang,” ujarku, mencoba terdengar biasa saja. Aku bergegas masuk ke kamar mandi sebelum mereka sempat bertanya lebih jauh.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, aku bersandar pada dinding. Aku mencoba bernapas dalam-dalam, tetapi air mata tetap mengalir tanpa bisa kuhentikan. Noah, adikku yang dulu begitu ceria, kini hanya menjadi kenangan. Aku masih bisa mendengar suaranya, tawanya, bahkan tangisannya. Rasa bersalah kembali menghantamku, menyadarkanku bahwa aku tidak bisa melindunginya ketika ia membutuhkanku.
Aku menggigit bibirku kuat-kuat, berusaha menahan tangis yang semakin deras. Setelah beberapa saat, aku mengambil handuk kecil untuk menyeka air mataku. “Kamu harus kuat,” bisikku pada diriku sendiri. Aku menyalakan pancuran air hangat dan membiarkan air mengalir, mencoba menenangkan pikiranku.
Setelah selesai mandi, aku mengenakan pakaian dan keluar dari kamar mandi. Ryan berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tangan bersedekap. Ia menoleh ketika mendengar langkahku. Aku menghindari tatapannya, menyeka rambutku dengan handuk agar terlihat sibuk.
“Kenapa kamu menangis?” tanyanya tiba-tiba, suaranya penuh perhatian.
“Aku tidak menangis,” jawabku singkat, tetapi nada suaraku tidak meyakinkan.
“Kamu menangis,” ujarnya lagi, kali ini sambil mendekat. Ia meraih bahuku, memaksaku untuk menatapnya. “Katakan padaku, apa yang membuatmu sedih?”
Aku mengalihkan pandangan, mencoba mencari alasan untuk tidak menjawab. Namun, tatapan lembut Ryan membuat hatiku melunak. “Aku hanya teringat adikku,” ujarku akhirnya, suaraku bergetar.
Ryan mengangguk pelan, lalu menarikku ke dalam pelukannya. “Aku di sini,” bisiknya. Meski aku tidak mengatakan apa pun lagi, pelukannya cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih baik.
Setelah Ryan memelukku, aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menguasai diriku kembali. "Aku akan menyiapkan sarapan," kataku, mencoba mengalihkan perhatian. Ryan mengangguk, meski tatapannya tetap penuh tanda tanya. Aku tahu dia ingin bertanya lebih jauh, tetapi aku tidak memberinya kesempatan.
Ketika aku keluar dari kamar, langkahku terhenti sejenak melihat seorang pria yang sedang memeluk Noel di ruang tamu. Noel tertawa keras sambil memainkan rambut pria itu. Wajahnya terlihat akrab dan hangat, meski aku tidak mengenalnya. Naluriku mendorongku untuk mundur beberapa langkah dengan hati-hati, tak ingin pria itu menyadari kehadiranku.
"Tenang saja, dia ayahku," ujar Ryan dari belakangku, membuatku sedikit terkejut. Aku berbalik dan mendapati Ryan tersenyum tipis.
“Ah,” hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku menarik napas dan dengan cepat meraih tangan Ryan, menyeretnya kembali ke kamar. Aku tidak ingin membuat kesalahan atau mengatakan sesuatu yang akan menarik perhatian lebih dari orang-orang di rumah ini.
“Apakah nenekmu tahu?” tanyaku setengah berbisik begitu kami kembali masuk ke kamar.
Ryan menatapku dengan alis terangkat. “Tahu apa?”
Aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Jangan bilang padanya kalau aku tinggal di sini bersama Noel,” pintaku sambil menatapnya penuh harap. Aku tahu, jika nenek Ryan tahu keberadaanku di sini, dia tidak akan segan-segan memisahkanku dari Noel. Wanita itu tidak memiliki belas kasihan. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi lagi.
Ryan terdiam sejenak, tatapannya menjadi serius. “Apa yang dia lakukan padamu?” tanyanya sambil meraih bahuku dengan kedua tangannya. “Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?”
Aku mengalihkan pandangan, tak ingin menjawab. Bagaimana mungkin dia tidak tahu? Dia ada di sana ketika semua itu terjadi, tetapi sekarang dia bertanya seolah-olah tidak tahu apa-apa.
“Dia…” Aku hendak menjelaskan, tetapi suara Noel tiba-tiba memotong pembicaraan kami. “Ibu!” panggilnya dengan suara ceria dari luar kamar.
Aku segera melangkah keluar, menemukan Noel sedang menunggu di meja makan dengan ekspresi lapar yang lucu. Ia cemberut sambil menunjuk perut kecilnya. “Aku lapar, Bu,” ujarnya dengan suara manja.
“Kakek, dia ibu. Seperti peri. Benar kan?” Tiba-tiba Noel berteriak. Lalu aku menatap ayah Ryan dan melihat dia tersenyum padaku.
“Ya, seperti peri,” katanya sambil menghampiri Noel dan menggendongnya. Aku merasa malu karena apa yang dikatakannya. Aku menatap anakku yang sedang cekikikan di tubuh ayah Ryan. Aku tertawa kecil, rasa sesak di dadaku sedikit mereda melihat wajah polosnya. “Ibu akan siapkan makanan, tunggu sebentar ya, Sayang.” Aku mengusap rambutnya dengan lembut sebelum menuju dapur.
Saat sarapan berlangsung, Noel terus bicara dengan semangat. Namun, tiba-tiba ia memandang leherku dengan tatapan penasaran. “Ibu, apa yang terjadi dengan lehermu?” tanyanya dengan suara polos.
Aku tersentak. Oh, tidak! Aku lupa menutupi bekas ciuman Ryan dari tadi malam. Aku memakai jubah mandi yang jelas-jelas tidak cukup tinggi untuk menyembunyikannya. Merasa malu, aku mencoba tertawa gugup. “Tidak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu hanya terkena sesuatu tadi malam.”
Ryan yang duduk di seberang meja hanya menyeringai tanpa mengatakan apa pun, tetapi matanya penuh arti. Aku ingin melemparkan sesuatu padanya, tetapi ayahnya juga ada di sana, menatap kami dengan tatapan heran.
“Noel, kamu menggigit ibu saat tidur ya?” Ryan tiba-tiba berkata, nada suaranya pura-pura serius.
Mata Noel membelalak. “Benarkah? Aku menggigit ibu? Aku minta maaf, Bu. Aku tidak akan melakukannya lagi,” ujarnya dengan nada bersalah, membuat hatiku terenyuh sekaligus geli.
Aku melirik Ryan tajam, tetapi dia hanya tersenyum puas. “Tidak apa-apa, Sayang. Ibu tahu kamu tidak sengaja,” ujarku sambil mengelus kepala Noel. Aku mendudukkannya di pangkuanku dan mulai menyuapi sarapannya. Ia tampak begitu menikmati setiap gigitan, hingga mulutnya penuh dengan cokelat dari pancake yang kubuat.
“Ibu… makanan ibu enak sekali,” katanya dengan mulut penuh. “Seperti peri,” tambahnya dengan suara kecil, membuatku tertawa.
“Terima kasih, Sayang. Tapi jangan bicara saat makan, ya?” Aku menyeka cokelat di bibirnya sambil tersenyum. Ia mengangguk patuh, tetapi terus menyeringai, memperlihatkan gigi kecilnya yang belepotan cokelat.
Ryan memperhatikan kami dari kejauhan, terlihat puas dengan pemandangan di depannya. Ayahnya juga tersenyum sambil sesekali mencuri pandang ke arah kami.
Setelah sarapan, Ryan mendekatiku. “Hari ini aku harus menjemput Noel ke sekolah. Kau tinggal di sini saja, oke? Jangan pergi ke mana pun,” katanya sambil menggenggam tanganku.
Aku mengangguk. “Baiklah,” jawabku lembut.
Ia mencium keningku, lalu menatapku dalam-dalam. “Aku akan meminta seseorang untuk membawa barang-barangmu ke sini. Jaga dirimu.”
Saat Ryan dan Noel akhirnya pergi, aku berdiri di depan pintu, memandangi lift yang perlahan tertutup. Noel sempat melambaikan tangan kecilnya padaku sebelum pintu benar-benar menutup. “Ibu, aku akan kembali. Tunggu aku, ya!” serunya dengan semangat.
Begitu mereka pergi, aku merasa seluruh dunia di sekitarku menjadi sepi. Aku berjalan kembali ke kamar, merapikan tempat tidur yang tadi digunakan Noel. Di sela-sela kesendirian ini, aku hanya bisa berharap waktu segera berlalu dan mereka kembali dengan selamat.
julian demi adiknya, kadang athor bilang demi kakaknya🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
y illahi
dialog sma provnya
dn cerita, susah di mengerti jdi bingung bacanya
ga mau kasih duit, boro" bantuan
duit bayaran aja, aja g mau ngasih
,mati aja kalian keluarga nenek bejad
dn semoga anaknya yg baru lair ,hilang dn di temukan ibunya sendiri
sungguh sangat sakit dn jengkel.dn kepergian noa hanya karna uang, tk bisa di tangani😭😭😭