Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Ucapan Kotor Devana
Nala membuka tokonya dari dalam, ia harus mencari sarapan karena perutnya terasa lapar. Tubuhnya kini mulai terasa enak. Demamnya juga sudah hilang. Hanya rasa mual saja yang masih dia rasakan.
Untungnya di sebrang jalan, ada penjual nasi uduk setiap pagi. Nala segera menyebrang dan membeli nasi uduk serta gorengan. Setelah itu ia kembali menyebrang dan memasuki toko.
Nala segera menyantap sarapannya dengan lahap, mumpung penjaga toko belum pada datang. Jujur, ia sangat lapar karena semalam ia tidak makan apa-apa lagi, setelah muntah-muntah.
"Wahhh, yang tidak pulang ke rumah semalam? Sedang apa di toko ini, pasti menyembunyikan laki-laki, ya?" Suara seseorang berhasil mengejutkan Nala, disaat Nala baru saja selesai sarapan.
"Mbak Devana," kejutnya seraya menatap Devana heran. Nala celingukan mencari orang lain. Siapa tahu ada orang lain selain Devana, dan ternyata tidak ada siapa-siapa hanya Devana.
"Nyari siapa? Nyari suamimu? Suamimu tidak akan mencari kamu karena ia sibuk dengan anak kami. Kamu sebaiknya menyerah saja Nala, kami berdua sudah punya keturunan, sedangkan kamu masih belum."
"Padahal kamu masih muda, tapi anehnya belum hamil-hamil, atau jangan-jangan kamu mandul sebenarnya," tuding Devana membuat Nala dilanda emosi. Nala bangkit dan berdiri menghadap Devana yang hanya terhalang meja staling toko.
"Jaga mulutnya kalau bicara, Mbak. Tidak pantas seorang Pengajar bicaranya kotor seperti itu, seperti bukan Pengajar. Pengajar itu harusnya perkataannya baik dan harus bisa menjadi contoh, tapi Mbak kok begitu, sangat tidak tahu sopan santun dan seperti bukan seorang Guru," lawan Nala meradang.
Nala tidak suka ketika Devana mengejeknya mandul.
"Kenapa, kamu tidak suka dibilang mandul? Harusnya kamu jangan marah, memang terbukti bukan, sudah menikah setahun tapi kamu belum hamil juga? Giliran suaminya menyayangi anak semata wayangnya, cemburu dan iri. Makanya punya anak dong biar disayang suamimu."
Kembali Devana mengejek dengan muka tanpa dosa.
"Maaf, ya, Mbak, saya tekankan saya tidak mandul, buktinya saya masih datang bulan dengan lancar. Kalau masalah belum hamil setelah setahun menikah, itu artinya saya belum diberi kepercayaan oleh Allah."
"Terus kalau ngomong hati-hati, jangan menuduh. Saya tidak pernah cemburu atau iri melihat Mas Dana menyayangi Raina, karena itu kewajiban Mas Dana sebagai seorang papa," lanjut Nala dengan nafas turun naik.
"Dan...perlu Mbak perhatikan, ya. Kalau aku pikir-pikir sikap dan tingkah lakunya Raina mirip sekali dengan Mbak, mentang-mentang anaknya. Apa Mbak tidak takut Raina kelak jadi anak perempuan yang tengil dan suka ngadu domba?"
"Soalnya Raina bilang sama neneknya kalau saya ini judes. Saya sampai terkejut, kok bisa Raina yang baru beranjak remaja pikiran julidnya sudah mulai kelihatan. Saya rasa semua itu asalnya dari Mbak. Jangan-jangan Mbak juga mengajarkan Raina untuk menjadi pelakor, karena selama ini Raina seakan ingin mendekatkan Mbak dengan papanya," cerocos Nala hampir tanpa jeda
Devana mendengus marah dengan ocehan dan tuduhan Nala terhadapnya, ia tidak terima dengan semua perkataan Nala barusan yang menyudutkannya.
"Jangan sembarangan bacot Nala, kamu hanyalah perempuan kemarin sore yang beruntung dinikahi mantan suamiku. Sebetulnya kamu tidak ada pantas-pantasnya bersanding dengan Mas Dana. Udah kekanak-kanakan, ngambekan, cemburuan. Kalau kamu tidak dinikahi Mas Dana, aku yakin kamu akan jadi gembel di depan diskotik lalu menjaja tubuh di sana," tandas Devana lantang.
Nala tersinggung dengan hinaan Devana, ia menahan gejolak tangis sekaligus emosi. Disaat yang sama, dengan cepat ia meraih Hp nya dan merekam sisa pembicaraan dirinya dengan Devana.
"Kotor banget bicaramu, Mbak. Tidak sepantasnya seorang Pengajar berkata kotor seperti itu di depan sesama perempuan."
"Percuma titel Guru disandangmu Mbak, kalau kelakuannya minus seperti ini. Harusnya seorang Pengajar akan berbicara dengan baik dan benar serta menjaga dari lisan yang kotor. Sayangnya Mbak Devana tidak memiliki kemampuan itu. Sungguh sangat disayangkan," tukas Nala menatap tajam ke arah Devana, matanya memerah menahan tangis.
Sejenak Devana berdecih, ia tidak peduli dengan ocehan sampah yang diucapkan Nala.
"Makanya jangan pancing-pancing kemarahanku, Nala. Tahu rasa kalau aku rebut suaminya, dijamin kamu gila dan kejang-kejang, bahkan mungkin sampai kamu mati sekalian. Ingat, ya, jangan berani mengusik anakku. Kalau kamu tidak ingin menyesal," ancam Devana sembari berlalu dari depan toko Nala, tanpa dosa. Menyisakan luka di hati Nala.
Nala menatap pilu kepergian Devana. Devana sungguh terlalu menghina dan menyakiti hatinya. Setelah Devana benar-benar pergi, Nala segera menyeka air matanya dan meraih Hp yang tadi sudah berhasil merekam perdebatan terakhir dirinya dengan Devana.
Rasa mual tiba-tiba kembali dirasakan Nala, ia berlari dengan cepat menuju kamar mandi dan membuangnya.
"Keterlaluan kamu, Mbak," tangisnya pecah, tapi Nala segera menyeka.
Sore pun tiba, Nala memutuskan untuk pulang ke rumah suaminya meskipun hatinya masih sakit dengan sikap suaminya juga Devana yang tadi habis-habis menghinanya.
Motornya melaju diantara jalan-jalan yang sudah dipenuhi pedagang kaki lima sisi kiri dan kanan.
Nala tiba-tiba saja ingin makan rujak, apalagi kini dirinya masih merasakan mual yang tiba-tiba muncul.
"Sepertinya makan rujak enak," gumamnya seraya melajukan lebih cepat motornya mke arah simpang empat. Di sana penjual rujak buah mangkal.
Motor Nala tiba di kedai rujak Bu Yuli. Tidak hanya rujak yang dijual di kedai itu, lotek, asinan dan manisan buah juga ada.
Setelah membeli rujak, Nala kembali menuju motornya. Namun, sebelum kakinya melangkah menuju motor, secara tidak sengaja Nala justru melihat pemandangan yang membuat matanya merah dan memanas.
Dana dan Devana duduk berhadap-hadapan di meja lesehan. Entah apa yang sedang mereka obrolkan, yang jelas Nala saat ini dilanda cemburu dan amarah.
Dengan kebaranian yang full, Nala menghampiri Dana dan Devana, emosinya sudah memuncak.
"Jadi, ini yang Mas Dana lakukan disaat Nala tidak pulang? Bukan khawatir atau mencari, tapi Mas ketemuan duduk berdua dengan hangat bersama mantan istri. Kalian tengah menjalani CLBK? Ok, lanjutkan," ucapnya datar dengan suara bergetar.
Nala langsung pergi setelah ia mengatakan itu dengan mata yang berlinang.
Dana tersentak dan melongo melihat Nala yang tiba-tiba datang lalu menuduhnya CLBK dengan Devana.
"Nala, Sayanggg, tunggu," ujar Dana sembari bangkit dan meninggalkan Devana.
"Mas, Mas Dana, tunggu Mas! Lalu bagaimana pembicaraan kita tadi?"
"Nanti kita bicara lagi, aku harus segera susul istriku." Dana mengejar Nala yang kini sudah menjalankan motornya dengan cepat menuju rumah.
Tiba di rumah, Nala segera menaiki tangga. Mobil Dana pun kini sudah tiba di depan halaman rumah. Dana segera menyusul menuju kamar.
"Sayang, tunggu sebentar," tahannya dengan kaki menghalangi pintu kamar, lalu Dana berhasil masuk ke dalam.
"Sayang, tolong dengarkan aku." Dana meraih tubuh Nala. Namun, Nala menepis sehingga tanpa sadar kantong kresek yang berisi rujak yang dibelinya tadi berhamburan di lantai kamar.
"Akhhhhh. Lihat, rujak yang aku beli tumpah," pekiknya marah sambil menangis.
Dana terkejut, dia tidak sengaja membuat kantong kresek yang dibawa Nala jatuh dan isinya terburai. Ternyata isinya rujak.
"Ya ampun, Sayang. Aku minta maaf, biarkan aku ambil dan aku bersihkan." Dana membungkuk lalu meraih rujak yang ditatap Nala dengan perasaan sedih.
"Pergi, jangan pedulikan aku," usirnya seraya menghempas tubuh Dana dan hampir terjungkal.
"Tahu begini, aku menyesal pulang," ucapnya lagi sembari terisak.
kuncinya dana harus tegas dan mertua g ikut campur
bener2 mertua jahat bisa2nya GK bisa bedain mana wanita terhormat dan wanita bar2.