Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 16~ Tipu muslihat
Sepertinya Imas memang calon sales marketing yang handal, bujuk rayunya itu mampu membuat orang-orang percaya, termasuk mak.
Disinilah mereka berada, saat langit menggantungkan sisa cahaya oranye nya, saat sinar di penghujung hari bersiap surup berubah gelap.
Sekar, dengan alas kaki tipisnya itu naik ke dalam angkot bersama Imas, "kamu yakin ngga mau ikut pasang juga, Kar? Biar sekalian?"
Sempat terpikirkan oleh Sekar, bahkan ia membawa semua sisa uangnya di dalam tas selempang, namun hatinya itu ragu....sungguh tidak mendorong.
"Yakin ngga akan nyesel?" bujuk Imas lagi, kini Sekar diam, "ngga tau lah gimana nanti aja. Kalau lihat kamu berhasil baru aku nyusul." Jawab Sekar sekenanya, tak tau saja Imas ... Sebenarnya Sekar sedang berusaha mengontrol antara setan dan malaikat di otaknya sekarang.
Angkot membawa kedua gadis remaja ini ke sebuah daerah yang cukup dekat dengan kampung. Hawanya saja sudah tak enak menurut Sekar.
Angin mendadak kencang saat Sekar menjejakan kakinya, seperti ada penolakan dalam dirinya. Entahlah, sebab ia mendadak suhu tubuhnya panas.
"Kar, kenapa?" tanya Imas.
"Mas, kok aku ngga yakin ya? Ini kampung apa namanya, aku ngerasa ada yang ngga beres."
Imas mengernyit, "apanya?"
Sekar menggeleng menatap takut-takut namun ayunan kakinya mengikuti Imas untuk melangkah lebih masuk ke dalam.
"Kamu ngerasa hawa panas ngga sih? Gerah?" tanya Sekar mengeratkan pelukannya di lengan Imas.
Keduanya sampai tepat di waktu magrib. Kumandang adzan bahkan kencang mengga mengisi seluruh kekosongan kampung. Sepi? Tak begitu....mereka kadang berpapasan dengan beberapa warga yang hendak berjamaah di surau, dan melihat mereka sedikit lama, mungkin asing atau karena anak gadis keluyuran magrib-magrib, anak setan bukan?
Imas tentu menggeleng, "yang ada dingin, Kar." Imas mengambil jeda waktu melirik Sekar yang berkeringat dengan wajah sedikit memerah, "eh iya. Kamu panas? Sakit ngga Kar? Kok sakitnya dadakan begini, barusan ngga apa-apa kok..."
Sekar menggeleng, meski sejak tadi seperti ada bagian tubuhnya yang menolak untuk ia berjalan lebih jauh lagi.
Sekar tak tau tempatnya dimana, tapi langkah Imas begitu yakin menggiring mereka lebih dalam melewati perkebunan singkong, sawah dan aliran sungai kecil.
"Itu dia rumahnya Kar, yang kudengar itu rumahnya nomor 13, tidak pakai cat, rumah bilik kaya rumah kamu. Di depannya ada pohon asem Jawa."
Kini bukan hanya badannya saja, tapi Sekar mendadak sesak dibuatnya. Ada apa dengan tubuhnya ini sebenarnya?
"Kar, kamu ngga apa-apa kan?" tanya Imas. Sekar menggeleng meski hatinya kini yakin ada yang tak beres.
"Aku pusing." cicit Sekar membuat Imas khawatir, "mau pulang saja atau gimana?" Sekar menatap nyalang Imas, tak enak juga ia harus mengubur angan angan Imas.
Wajahnya sudah merengut, tapi ..."apa kamu tunggu di luar saja lalu aku ke dalam sendirian?" Sekar sedikit mencebik, ia kira Imas akan mengajaknya pulang bersama.
"Aku temani." Jawab Sekar.
Kini mereka sudah di depan rumah gubuk yang cukup jauh dari jangkauan tetangga. Berpagar bambu dengan atap rumbia dan...
Ceklek...
Seorang wanita tua yang sedikit bungkuk dengan jarik coklat dan kebaya modelan kutu baru bermotif bunga membuka pintunya. Melihat kedua gadis yang mematung di depan rumah ia mengernyit namun langsung bertanya....
"Mau pasang susuk?"
Imas mengangguk tapi Sekar terkejut. Ayunan langkah Imas tak senada dengan Sekar yang masih mematung.
"Punten *geulis* (cantik) bukan mak yang mau pasang. Tapi Abah yang di dalam. Di dalam juga ada pasien jadi tunggu saja. Permisi..."
Imas dan Sekar saling lirik, nyatanya bukan perempuan itu dukunnya, ternyata ia hanya tetangga jauh. Sekar dan Imas tertawa sepeninggalnya.
"Punten!" Imas mengucap permisi. Lalu, seorang pria keluar dengan pakaian pangsi hitam-hitam, lebih muda sekarang ia menatap Sekar dan Imas, "ya?"
Sekar menelan salivanya sulit namun Imas, memang terlihat tekadnya kuat, "akang, apa benar disini bisa kasih mahar buat pasang susuk?"
Senyumnya itu, Sekar tak suka. Lebih terlihat jahat dari senyum Bahureksa.
"Bisa, silahkan masuk dulu...sudah bawa apa yang mau dipasang?" Imas mengangguk menggiring Sekar masuk. Namun pandangan lelaki tadi itu menatapnya seperti menatap mangsa buruan.
"Duduk," pintanya di ruangan sepetak berupa ruang tamu. Suasananya muram, baik Sekar maupun Imas, menatap beberapa perintilan kedukunan, beberapa pamflet cetakan, seperti pamflet iklan rumah susuk ini yang menawarkan pasang susuk, pengasihan dan segala macam berbau aura.
"Tuh kan bener, saking lakunya. Kar...ada pasien selain kita..." ujar Imas yakin.
Dua orang wanita muda keluar dengan wajah yang entahlah...harus Sekar gambarkan seperti apa mereka sekarang? Senang, namun getir. Berkali-kali refleks mereka melihat cermin kecil yang dibawa. Sepertinya mereka baru mandi, sebab terlihat dari rambut yang masih basah.
Sekar tak henti menatap keduanya lekat, dan kemudian saat posisinya hampir melintasi Sekar, salah satunya terlihat sedikit limbung, sehingga Sekar refleks memegang tangannya, "eh, teh."
Ia mengangguk, tak tau---aku oke. Atau---makasih---ngga apa-apa. Yang jelas setelah itu ia segera keluar dari gawang pintu.
Seorang lelaki tua dengan kumis dan rambut sedikit gondrongnya keluar dari tempat para gadis tadi keluar, lalu duduk tepat di depan Imas dan Sekar. Bahkan Sekar bisa melihat jika garis wajah yang berlipat-lipat itu adalah jumlah usianya, dimana sebagian rambutnya sudah beruban. Ia menyulut tembakau sejenak dengan nafas yang agak sedikit menggebu tak tenang.
"Abah, saya mau pasang susuk." Ucap Imas to the point yang diangguki pria itu, lantas tatapannya jatuh pada Sekar, "disini bisa melakukan yang lain juga, membuka aura, pengasihan, jampian semar mesem?" jelas ia sedang menawari Sekar.
Imas melirik Sekar, "kamu mau buka aura, ngga Kar? Biar aura kamu makin luber-luber? Coba aja..." bujuk Imas.
Sekar melirik Imas dengan tatapan penuh harap, mungkin pikirnya---setidaknya sama-sama memiliki hasil, sudah jauh-jauh sampai bela-belain berbohong sama mak, begitu.
"Kalau buka aura, berapa?" tanya Sekar. Si Abah itu tersenyum, "disini murah neng, cuma 5 ribu sudah bisa buka aura." bukan si Abah, melainkan lelaki satunya.
Imas mengangguk, "murah, Kar."
Apa salahnya dicoba? Sekar mengangguk.
"Mari neng..." giring lelaki tadi semangat, sementara Imas...digiring ke ruangan lain.
Ditatapnya Imas yang melambai excited penuh perasaan senang ke arahnya, dimana mereka masuk ruangan berbeda.
*Deg*!
Sekar mematung di tempat, tepatnya masih di gawang pintu. Tangannya gemetar melihat kamar dengan satu ranjang ber-sprei jarik, kelambu yang melingkupi meja panjang berisi nampan kembang tujuh rupa, kemenyan dibakar diantara temaramnya lampu bohlam oranye.
Dan ia lebih terkejut, ketika kedua pundaknya disentuh--*sen sual* oleh seseorang yang pastinya lelaki.
"Mari neng, dibuka bajunya ganti dengan ini."
Lelaki tua tadi menyodorkan kain jarik ke arah Sekar.
"Semuanya?" tanya Sekar.
"Telan jank." Angguk si Abah.
Oke...Sekar berpikir jika ini mulai tak beres, terlebih ketika si Abah me sum ini tersenyum melihat Sekar dari atas sampai bawah, lebih jahat dari pandangan Bahureksa.
Sekar hampir membuka kancing dress bagian atas ketika si Abah terlihat melakukan gelagat menyalakan kemenyan, menaburnya dengan kembang dan sesuatu beraroma kamper.
"Jika terjadi sesuatu, kamu ngga boleh teriak. Diterima saja....apapun yang saya lakukan itu syaratnya."
Sekar menoleh ke belakang dimana pintu belum tertutup sempurna, otak dan hatinya sudah sinkron...terlebih saat si Abah mulai menoleh dan membuka bagian atas pakaiannya sembari menghampiri Sekar.
Sekar melotot sempurna. Tak berpikir panjang....ia mendorong keras tubuh lelaki itu, dan berlari keluar kamar...Membuat lelaki yang tadi ikut membantu si Abah cukup terkejut, bersiap menangkap Sekar, dan Bugh! Sekar menendang bagian kema luannya, kemudian kabur.
Bukan hanya keluar ruangan saja, melainkan keluar dari rumah dan menjauh.
"NENG! AH SIAL!!"
Sekar berlari sekencang yang ia mampu dengan perasaan takut setengah mati, melupakan Imas yang masih di dalam sana.
Ia sudah jauh. Kini langkahnya gontai selanjutnya terdiam, "Imas?" Sekar membalikan badannya ragu untuk kembali. Seketika amarah berkumpul di dalam hati, "ngapain sih, mas! Udah kubilang ini tuh ngga bener!" merasa frustasi dengan apa yang terjadi, bahkan Sekar tak tau harus apa sekarang...
"Sekarang saya harus apa?!" oceh Sekar benar-benar frustasi, air matanya lolos begitu saja, bingung. Imas disana tapi ia tak bisa dan tak mau kembali kesana.
Sekar berjongkok di pinggiran jalan dan menunduk sambil menangis, mengapa begitu sulit untuk *mereka-mereka* (kalangan bawah) untuk hidup atau sekedar meraih yang diinginkan. Diantara kesulitan itu, orang-orang juga malah memanfaatkan kebodohan *mereka*. Isakannya begitu pilu, ia tak bisa pulang meninggalkan Imas sendirian, terlebih mereka di kampung orang.
Sebuah motor 2 tak melintas tanpa Sekar sadari karena sejak tadi ia malah sibuk menangis.
Motor itu tak hanya melintas, namun kemudian berhenti di dekat Sekar.
"Sekar?"
"Kamu, menangis di pinggir jalan?" tanya nya membuat Sekar mendongak dengan wajah basahnya.
.
.
.
q juga kalau jari sekar ogah hidup enak banyak duwit tapi tekanan batin, yang ada mati muda dih sayang amat🙈
Bukk jangan hina tikus ya, tikus di Ratatouille visa masak Lo.
ibuk liat Sekar itu tikus ya.. kasian aku sama ibuk ini , matanya sakit kah?? jangan² katarak ya makanya gk bisa bedain manusia sama tikus🤪