Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20. BERSIAP
Lift berhenti, pintu terbuka, dan Victoria masih menatap layar CCTV dengan mata yang melebar.
Sean Headly, nama yang selalu membawa gelombang ketegangan untuk Victoria, bergerak lincah di koridor lantai atas, tanpa ragu, tanpa menunjukkan sedikit pun rasa takut.
Hati Victoria berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangan yang tadi mengepal meja kini menempel di dada, menahan napasnya yang tak beraturan. Tubuhnya sedikit gemetar, bukan karena takut pada Julius, tapi karena kehadiran Sean di DeLuca benar-benar di luar dugaan.
"Victoria ...," suara Julius lembut tapi tegas di belakangnya. "Kau harus tarik napas dulu. Jangan panik."
Victoria menoleh perlahan. Matanya masih menatap layar, namun Julius sudah berdiri di sampingnya, tangan kirinya melingkar di pinggang Victoria dengan lembut, seakan menamengi sang gadis hal buruk yang akan terjadi.
"Aku tahu kau kaget. Tapi kau tahu Sean, kan?"
"Tentu, Victoria menjawab pelan, suaranya masih bergetar. "Aku tahu dia bisa muncul kapan saja ... tapi aku tidak menyangka dia akan berada di sini, sekarang. Di DeLuca."
Julius mengangguk, menatap Victoria dengan mata yang seakan ingin membacanya sampai ke inti pikirannya.
"Kalau kau ingin, aku bisa mengawasi dari sini. Membantumu tetap tenang. Kau tidak perlu menghadapi Sean seorang diri," kata Julius.
Victoria menghela napas panjang, menenangkan diri sejenak. Ia menunduk, mencoba menarik kesadaran diri, dan perlahan wajahnya kembali ke ekspresi dingin khasnya.
"Baik, aku hanya ingin tahu alasannya datang. Tidak lebih," kata Victoria.
"Tapi kau takut, kan?" Julius tersenyum kecil, menatap Victoria dengan sorot mata hangat dan lembut. "Aku bisa merasakan itu. Jangan khawatir, aku di sini, Baby."
Victoria menoleh, hampir tersenyum, tapi ia menahannya. Tidak ada senyum yang akan diberikan untuk Julius saat ini. Tidak dalam situasi ini.
"Aku hanya tidak suka ketidakpastian. Apalagi kalau menyangkut Sean," ucap Victoria.
Julius mengelus pipi Victoria ringan. "Kau selalu ingin mengendalikan situasi. Tapi kau tidak bisa mengendalikan semua orang, terutama Sean. Kau harus tahu itu."
Victoria menelan ludah, menatap layar lagi. Sean kini sudah berjalan ke dekat ruang rapat divisi DeLuca. Ia bergerak seperti pemilik kantor, dengan keyakinan yang sama saat bersama Victoria dulu. Tak ada seorang pun yang berani menatapnya terlalu lama.
"Dia sangat berbeda sekarang," Victoria bergumam. "Kau tahu Julius, dulu Sean itu hampir selalu berada di belakang layar. Sekarang, dia seolah muncul di mana-mana dengan otoritas penuh. Dan tidak ada yang bisa menahannya."
"Itulah alasan mengapa dia cucu angkat keluarga Lemington," jawab Julius. "Bukan hanya karena hubungan keluarga, tapi juga karena pengaruhnya di perusahaan. Kau harus ingat itu, Victoria."
Victoria menatap Julius, sorot matanya tajam. "Aku tahu dia cucu angkat. Aku juga tahu dia bisa datang kapan saja, meski aku tidak ingin dia muncul di sini sekarang."
"Tapi dia muncul," Julius mengingatkan dengan lembut. "Dan kau harus tetap fokus, Victoria. Jangan biarkan ketegangan menguasaimu."
Victoria mengangguk perlahan, mencoba mengatur napasnya. Ia menarik kursi, duduk di tepi meja Julius, dan menatap layar CCTV.
Sean kini memasuki ruang kerja DeLuca, berjalan langsung ke bagian HR dan mulai berbicara dengan seorang staf. Tatapannya tenang, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya jelas menunjukkan otoritas dan pengaruh.
Victoria bersandar di kursi, tangannya mengepal lengan kursi. Hatinya berdengung dengan rasa penasaran.
"Kenapa dia datang ke sini sekarang ... apa yang dia cari? Apa dia tahu tentang drama kemarin di kantin?" gumam Victoria berpikir.
Julius tersenyum tipis. "Mungkin dia datang karena urusan perusahaan, mungkin juga karena hal pribadi. Kau tahu Sean, dia selalu punya alasan sendiri, dan itu biasanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu."
Victoria menarik napas panjang, menenangkan diri. Ia sadar bahwa paniknya sebentar tadi, ketika melihat Sean muncul secara tak terduga adalah kelemahan.
"Aku harus tetap tenang. Aku tidak boleh panik. Aku harus tahu alasan kedatangannya tanpa terlihat ketakutan," ucap Victoria seperti mantra.
Julius menggenggam tangan Victoria ringan.
"Itu baru Victoria yang aku kenal. Sekarang mari kita analisis gerakannya. Kita perlu tahu jalur mana yang dia ambil, siapa yang dia temui, dan apa yang ingin dia capai. Kau siap?"
Victoria mengangguk, matanya menyalak. "Siap."
Mereka menatap layar bersama-sama, Julius memberi arahan lembut dan Victoria mengikuti setiap instruksi, mencatat setiap gerakan Sean.
Sean berjalan ke arah ruang dokumen, menatap beberapa folder, dan berbicara sebentar dengan kepala staf. Gesturnya dingin tapi percaya diri. Tidak ada senyum, tidak ada tawa. Hanya ketenangan yang menakutkan bagi siapa pun yang tidak siap menghadapinya.
Victoria menelan ludah.
"Dia datang bukan untuk basa-basi. Ini urusan serius. Tapi ... apa urusannya dengan DeLuca? Apakah dia hanya mengecek laporan, atau ada sesuatu yang lebih?" kata Victoria.
Julius menatap sang gadis.
"Victoria, kau tahu Sean bisa mengakses apa saja di Lemington dan semua anak perusahaan. Jadi kedatangannya di sini bukan kebetulan. Dia selalu tahu apa yang terjadi di kantor. Dan dia datang bukan hanya untuk urusan pekerjaan," Julius mengingatkan.
Victoria menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Ia sadar bahwa Sean selalu menjadi bayangan yang menuntut rasa hormat, atau ketakutan.
"Dia bisa datang kapan saja, masuk ke mana saja ... tapi aku tidak bisa membiarkan dia melihat aku panik. Aku harus tetap tenang," ucap Victoria.
Julius menepuk bahu Victoria. "Dan kau melakukannya dengan baik. Hanya sedikit gemetar tadi, itu wajar. Sekarang fokus pada apa yang dia lakukan."
Victoria membuka mata, menatap layar lagi. Sean kini menatap ke arah lift dan tersenyum samar, seolah mengetahui seseorang mengawasinya dari jauh. Mata Victoria melebar.
"Dia tahu dia diperhatikan," gumam Victoria pelan. "Dia selalu tahu."
"Itulah Sean," Julius mengingatkan. "Kau bisa memprediksi langkahnya, tapi tidak bisa menghentikannya. Ingat itu."
Victoria menatap Julius, sorot matanya berubah. Ia menyadari satu hal: jika Sean memiliki pengaruh sebesar ini, maka kedatangannya ke DeLuca bukan hanya urusan pekerjaan, tapi ada pesan yang ingin disampaikannya, mungkin kepada Leon, mungkin kepada Kelly, atau mungkin kepada Victoria sendiri.
Victoria berdiri, menatap Julius.
"Kita harus mencari tahu apa tujuan kedatangannya. Apakah kau yakin kita bisa mendapatkan informasi lebih tanpa menarik perhatiannya?"
Julius tersenyum tipis, matanya menyala.
"Tentu saja. Kau cukup cerdas untuk itu. Kau tidak hanya bisa bertindak di depan, tapi juga di belakang layar. Kita akan melihat langkah Sean, mengantisipasi setiap gerakan, dan kau akan tetap tenang. Kau siap untuk itu?" tanya Julius.
Victoria menarik napas panjang, menatap layar lagi.
"Aku siap. Tapi ... Julius, kau harus tetap di sampingku. Aku tidak mau menghadapi Sean seorang diri. Sekarang aku tahu, dia bukan hanya ancaman untuk DeLuca atau Leon, tapi untukku juga," pinta Victoria.
Julius melingkarkan tangannya kembali ke pinggang Victoria dan mengecup kepala gadis itu.
"Kau tidak sendirian. Aku di sini. Kita akan melalui ini bersama," kata Julius.
Victoria menatap Julius, menatap ketenangan di wajahnya, dan perlahan tersenyum tipis.
"Baiklah, mari kita lihat apa yang dia inginkan."
Mereka berdua tetap di ruang Julius, memantau layar CCTV dengan cermat. Sean bergerak dengan mantap di seluruh lantai, memeriksa dokumen, berbicara dengan staf, menandatangani beberapa berkas, tapi tetap tidak tersenyum. Setiap gerakannya menunjukkan pengaruh, kontrol, dan tujuan yang jelas.
Victoria bersandar pada kursi, tangannya mengepal lembut. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tapi karena rasa penasaran yang membara.
"Apa yang dia rencanakan?" bisik Victoria, matanya tak lepas dari layar.
Julius menatapnya, senyum samar.
Mereka berdua tetap diam, menatap layar, sementara Sean terus bergerak di lantai atas DeLuca. Dan untuk Victoria, ini baru permulaan dari permainan yang lebih besar.
"Sean, dia menuju ruangan yang ... aku tidak pernah membayangkan dia akan ke sini sekarang," ujar Victoria kaget.
Napas Victoria tercekat. Matanya menatap layar dengan ketegangan murni, tubuhnya menegang. Sean berdiri di depan meja Violetta.
Julius menepuk bahu Victoria lembut, menenangkan.
"Tenang. Dengan ini artinya kita tahu kalau Sean memang kenal Violetta," kata Julius.
Victoria mengangguk, tetapi hatinya berdetak lebih kencang. Ia tahu: kedatangan Sean Headly ke DeLuca bukan kebetulan. Dan berdiri terang-terangan di depan meja Violetta, jelas itu memiliki arti lain.
Victoria melihat Sean menaruh selembar kertas di bawah keyboard di meja Violetta, lalu menatap ke arah CCTV dan tersenyum sebelum akhirnya melangkah pergi.
Dia ... tahu, batin Victoria yang sedikit gentar.
makin seru Victoria luar biasa mendalami peran nya hehe
semoga rencana Julius dan Victoria berhasil
semangat juga thor 💪
Sean obsesi bgt ke Victoria
boleh nggak sih ku gempur itu retina si sean thooorr ??😡😡😡😡
badai pasti berlalu
semangat Vivi, pelan-pelan pasti kamu bisa .
Julius selalu bantu Vivi biar dia kuat dan bisa menghadapi semuanya