NovelToon NovelToon
Akad Yang Tak Kuinginkan

Akad Yang Tak Kuinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Nikah Kontrak
Popularitas:15.4k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.

Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.

Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gosip Miring…

Pagi itu suasana kantor tidak seperti biasanya. Biasanya ramai dengan canda tawa, kali ini justru ramai dengan bisik-bisik yang terasa menusuk. Beberapa karyawan berkumpul di pantry, sebagian di meja kerja, dan semuanya membicarakan hal yang sama: Jingga.

“Eh, kamu udah dengar belum soal Jingga?” bisik Maya pada temannya, dengan mata sesekali melirik ke arah meja kosong milik Jingga.

“Belum, emang kenapa?”

“Itu lho, Runa yang cerita. Katanya dulu pas SMA, Jingga itu tukang bully. Jahat banget sama temen sekelasnya.”

“Ah masa sih? Jingga kan keliatannya baik, ceria banget malah.”

“Justru itu, katanya semua keceriaannya cuma pura-pura. Buat nutupin kelakuan aslinya.” Maya berusaha mengecilkan suara, tapi antusiasmenya membuat nada suaranya terdengar jelas.

Runa yang sejak tadi jadi pusat perhatian, dengan wajah penuh percaya diri, menambahkan, “Aku kan kenal sama salah satu temen SMA-nya Jingga. Dia yang cerita langsung. Jingga itu suka ngerebut pacar orang, bahkan pacarnya Lidya dulu, si Kevin, direbut.”

Serempak beberapa orang di sekitarnya kaget.

“Serius, Run?” tanya Andre, karyawan bagian IT.

“Iya,” Runa mengangguk mantap, lalu mengeluarkan ponselnya. “Nih, buktinya.”

Semua langsung mendekat. Di layar terlihat foto lama: Kevin menggandeng Lidya, sementara Jingga berjalan di belakang mereka dengan wajah tertawa.

“Ya ampun… jadi Kevin itu beneran pacarnya Lidya?” tanya Rika, setengah tak percaya.

“Bener. Terus katanya, nggak lama dari itu, Kevin malah sering jalan sama Jingga. Coba liat ini.” Runa geser fotonya, memperlihatkan Kevin duduk di kafe, dan Jingga ada di sampingnya.

“Wah… kalau lihat fotonya sih, bisa aja…” suara seseorang menggantung, tapi jelas nada percaya mulai muncul.

“Pantes aja, Lidya keliatan dingin kalau ketemu Jingga. Mungkin masih sakit hati.”

Bisik-bisik itu makin menyebar. Dari meja ke meja, gosip berputar lebih cepat daripada laporan yang menumpuk di meja kerja.

Saat itu Jingga baru masuk. Seperti biasa, ia menyapa semua dengan ceria.

“Pagi semua!” katanya sambil tersenyum, menaruh tasnya di kursi.

Namun, tak ada yang menyambut. Beberapa hanya melirik, sebagian lagi berpura-pura sibuk dengan layar monitor. Suasana kaku terasa menusuk.

Jingga sempat terhenti. Senyum yang biasanya menyambut balasan hangat dari rekan-rekannya, kini justru mengambang sendiri. Ia mencoba tetap tenang, meski dadanya mulai terasa sesak.

“Lho, kenapa pada serius banget? Ada kerjaan mepet deadline, ya?” candanya, berusaha mencairkan suasana.

Tak ada tawa. Hanya lirikan. Beberapa bahkan langsung menunduk.

Jingga menarik kursinya pelan, duduk dengan senyum tipis yang dipaksakan. Tangannya meremas ujung kertas di meja, mencoba menahan rasa aneh yang menelusup.

Tak lama Nisa masuk. Ia heran begitu melihat Jingga duduk terdiam, wajahnya sedikit tegang. Biasanya, begitu ia masuk, Jingga sudah menyambut dengan teriakan ceria.

“Nggak biasanya sepi gini. Ada apa sih?” bisik Nisa pada Rika yang duduk di meja sebelah.

Rika menoleh sebentar, lalu cepat-cepat menunduk. “Tanya aja sama Runa,” jawabnya dingin.

Nisa menautkan alis, lalu melangkah ke arah meja Jingga. “Hei, kenapa semua kayak gini?” tanyanya pelan.

Jingga hanya menggeleng, bibirnya berusaha tersenyum, tapi matanya jelas menyimpan tanda tanya besar.

Nisa melirik kanan-kiri, lalu menarik napas panjang sebelum menghampiri meja Runa. Suasana kantor yang tadinya penuh bisik-bisik seketika jadi tegang; semua orang pura-pura kerja, tapi telinga mereka jelas-jelas ikut menyimak.

“Runa,” suara Nisa tegas, tapi tetap dijaga volumenya. “Aku dengar kamu ngomongin Jingga?”

Runa yang sedang mengetik langsung berhenti, menoleh dengan senyum tipis. “Eh, Nis. Aku cuma cerita aja, kok. Biar teman-teman tahu siapa sebenarnya Jingga.”

“Cerita? Atau fitnah?” Nisa menyilangkan tangan di dada, tatapannya menusuk.

Runa tersenyum kecut. “Aku kan cuma nyampaikan apa yang aku tahu. Lagian ada buktinya.” Ia dengan santai mengangkat ponselnya, seakan itu sudah cukup untuk menjustifikasi gosip yang dilempar.

“Bukti?” Nisa mendengus. “Foto lama yang entah konteksnya apa itu namanya bukti? Kamu tau cerita di baliknya?”

Beberapa karyawan saling melirik. Ada yang mulai ragu, tapi ada juga yang terlihat masih percaya Runa.

Runa menegakkan badan, jelas tak mau kalah. “Aku punya teman yang sekelas sama Jingga. Dia sendiri yang bilang kalau Jingga dulu suka ngebully dan merebut pacar orang. Jadi bukan aku yang ngada-ngada.”

Nisa mengetukkan jarinya di meja Runa, nadanya makin tajam. “Kamu sadar nggak sih, ngomong kayak gitu di kantor, di depan orang banyak? Nama baik orang bisa rusak, Run. Apa kamu udah yakin seratus persen cerita teman kamu itu benar?”

Runa sempat terdiam, tapi buru-buru menutupinya dengan tawa kering. “Ya ampun, Nis. Aku kan cuma ngobrol santai. Kenapa kamu serius banget? Lagi pula, bukannya semua orang juga punya hak tahu siapa Jingga yang sebenarnya?”

“Kalau mau tahu siapa dia sebenarnya,” suara Nisa meninggi, membuat beberapa orang spontan menoleh, “tanya langsung sama Jingga. Bukan sebarin omongan sepihak sambil bawa-bawa foto jadul yang belum tentu ada hubungannya.”

Ruang kantor makin hening. Suara keyboard berhenti, mesin fotokopi pun seolah sengaja diam.

Jingga yang dari tadi hanya menunduk di mejanya, menggenggam erat ujung blazernya. Pipinya panas, dadanya sesak. Ia bisa merasakan setiap tatapan yang menelusup seperti belati. Tapi di saat bersamaan, ada sedikit kelegaan karena Nisa berdiri di sisinya.

Runa berdehem, mencoba mengembalikan kendali. “Nis, kamu jangan buta sama sahabat sendiri. Dunia ini nggak sesempurna kelihatannya. Jingga itu… “

“Cukup!” Nisa memotong dengan tajam. “Aku nggak peduli gosip apa yang kamu dengar. Tapi aku kenal Jingga lebih lama daripada kamu atau teman SMA-mu itu. Jadi sebelum kamu ngecap orang seenaknya, lebih baik kamu simpan gosip murahanmu itu. Kalau ada masalah, hadapi langsung, jangan main belakang.”

Beberapa karyawan yang tadinya duduk manis mulai pura-pura sibuk lagi, takut terseret. Tapi jelas dari raut wajah mereka, kata-kata Nisa membuat banyak yang goyah.

Runa menggigit bibirnya, wajahnya merah. Ia ingin membalas, tapi sadar kalau posisi sudah terpojok. Akhirnya ia hanya mendengus, kembali menatap layar komputer dengan jari-jari yang mengetik asal, tanda kesal.

Nisa menoleh pada Jingga, menepuk pelan bahunya. “Ayo, jangan dengerin mereka. Kerja aja kayak biasa.”

Jingga hanya mengangguk kecil, senyum tipisnya muncul, meski hatinya bergejolak ingin tahu darimana dan siapa pembawa gosip miring itu.

...----------------...

Meski udara kantor terasa pengap oleh bisik-bisik miring, Jingga tetap tampil seperti biasa. Ia menyapa setiap orang dengan celetukan khasnya, menanyakan kopi siapa yang aromanya lebih wangi, atau menggoda rekan kerja yang tampak serius dengan laporan.

Namun berbeda dengan hari-hari sebelumnya, sapaan itu tak lagi dibalas hangat. Orang-orang hanya tersenyum kaku atau malah pura-pura sibuk menunduk ke layar komputer. Tawa kecil Jingga terdengar janggal di tengah ruangan yang kini lebih terasa seperti ruang sidang.

Dan entah bagaimana, perhatian perlahan beralih ke meja Lidya.

“Lid, aku salut sama kamu,” bisik seorang karyawan wanita sambil menepuk punggung Lidya. “Kamu masih mau deket sama Jingga padahal katanya dia dulu suka nyakitin kamu. Kamu kuat banget.”

“Iya, Lidya memang baik. Kalau aku jadi kamu, udah malas banget punya teman kayak gitu,” timpal yang lain dengan nada setengah kagum, setengah prihatin.

Lidya menunduk, pura-pura menahan sedih. Senyum tipisnya penuh kepalsuan. “Jangan bilang begitu. Bagaimanapun juga, Jingga tetap temanku. Dulu memang kami ada masalah, tapi aku nggak pernah dendam sama dia.” Suaranya dibuat lirih, bergetar seolah penuh luka.

Sontak, beberapa orang makin simpati. “Masya Allah, Lid. Kamu berhati malaikat. Pantesan Mahesa perhatian banget sama kamu dulu.”

“Eh, ngomong-ngomong soal Mahesa…” seorang karyawan laki-laki ikut nyeletuk. “Kamu harus balas, Lid. Rebut balik aja Mahesa. Biar Jingga ngerasain!”

Beberapa orang langsung tertawa cekikikan, seolah itu ide yang lucu.

Lidya buru-buru mengibaskan tangan, pura-pura panik. “Jangan begitu, ah. Kasihan Jingga. Aku nggak mau nyakitin siapa-siapa.” Tapi sorot matanya yang sekilas melirik Jingga jelas mengandung kemenangan.

Semua orang makin yakin: Lidya adalah korban, sementara Jingga, si gadis ceria yang dulu dianggap polos, ternyata hanya topeng.

Jingga hanya duduk di mejanya, mengetik ringan sambil sesekali melontarkan celetukan pada dirinya sendiri. “Hmm, kalau printer ini bisa ngomong, pasti dia juga capek dengar gosip orang, ya,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Tapi senyum itu hanya untuk dirinya sendiri.

Dalam hati, ia tahu betul siapa yang sedang memainkan skenario ini. Runa bukanlah dalang utama. Cara Lidya berpura-pura lemah lembut, penuh air mata buatan, justru membuat Jingga semakin yakin.

“Bagus sekali, Lidya…” batin Jingga sambil menekan tombol enter di keyboard. “Kamu memang pintar main peran. Tapi jangan lupa, panggung ini belum selesai. Aku juga bisa menulis skenario.”

(Bersambung)…

1
Purnama Pasedu
ooo,,,,savero baru tahu,,,pelan pelan ya
Purnama Pasedu
pas tahu jingga dah nikah,gimana Kevin y
Mar lina
Semoga Kak Savaro
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Nuriati Mulian Ani26
ohhh kasihan jingga
Nuriati Mulian Ani26
😄😄😄😄😄. Thor lucu banget aduhhh
Nuriati Mulian Ani26
😄😄😄😄. keren alurnya thor
Purnama Pasedu
nikmatilah jingga
Nuriati Mulian Ani26
lucuuuuuuu
Nuriati Mulian Ani26
bagusss ceritanya
𝙋𝙚𝙣𝙖𝙥𝙞𝙖𝙣𝙤𝙝📝: halo kak baca juga d novel ku 𝘼𝙙𝙯𝙖𝙙𝙞𝙣𝙖 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙂𝙪𝙨 𝙧𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙖 atau klik akun profil ku ya😌
total 1 replies
Mar lina
aku mampir
Nuriati Mulian Ani26
😄😄😄😄😄 lucu menarik sekali
Nuriati Mulian Ani26
aku sangat tertarik kekanjutanya ..keren dari awal ceritanya
Halimatus Syadiah
lanjut pool
Lily and Rose: Siap Kak 🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
survei resepsi pernikahan ya jingga
Lily and Rose: Ide bagus… bisa jadi tempat buat mereka resepsi juga tuh Kak 😁
total 1 replies
Purnama Pasedu
kamu salah jingga
Lily and Rose: Iya, Jingga salah paham terus 😂
total 1 replies
Halimatus Syadiah
Thor up dete kelamaan ya, tiap hari nungguin trus , kl bisa tiap hari ya 👍
Lily and Rose: Siap Kak, Author update sesering mungkin pokoknya 🥰
total 1 replies
Desi Permatasari
update kak
Lily and Rose: Done ya Kak…
total 1 replies
Purnama Pasedu
ada kevin
Lily and Rose: Ide bagus 🥰
total 1 replies
Cookies
lanjut
Lily and Rose: Siap Kak
total 1 replies
Purnama Pasedu
Nisa yg lapor ya pa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!