Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Hati yang Goyah
Kevia membelalak, sisa tenaga langsung terkumpul hanya untuk membentak. “Dasar gila! Siapa yang mau lanjut besok?! Jangan mimpi!”
Pria itu terkekeh rendah, nada tawanya dalam dan bergetar di dada. “Jangan menyangkal. Aku tahu kau menikmatinya. Eranganmu, desahanmu. Sentuhanmu barusan… kau begitu pandai.”
Wajah Kevia langsung merah padam. Ia mengepalkan tangan dan menghantam pelan dada bidang itu. “Diam! Dasar mesum! Kau pikir aku senang? Itu cuma… itu cuma…” Lidahnya kelu, mencari alasan, tapi justru semakin salah tingkah.
Pria itu menunduk, suaranya seperti membelai telinga. “Kau bahkan sempat mengelusku lama, seolah tak ingin melepas. Dan aku rasa.. mungkin ada jejak yang kau tinggalkan di tubuhku.”
Kevia menutup wajah dengan kedua tangan. “Diam! Jangan bicara lagi!"
Pria itu makin menekan tubuhnya lembut, tidak memberinya ruang untuk kabur. “Kau benar-benar membuatku gila. Malam ini...aku benar-benar puas, sekaligus kecanduan.”
“Diam!” Kevia kembali menjerit kecil, tangannya memukul bahu pria itu dengan sisa tenaga. “Kau melakukannya seenakmu. Tanpa izinku. Ini… ini pemerkosaan. Aku korbannya!”
Pria itu terkekeh rendah, suaranya bergetar di dada bidangnya. “Orang yang diperkosa biasanya berteriak dan menangis. Tapi kamu…” ia mendekatkan bibir ke telinganya, “…korban yang justru mengerang dan mendesah manja?” godanya cepat, suara rendah penuh tawa tertahan.
Wajah Kevia memanas. Kata-kata itu menusuk, membuatnya tak bisa menyangkal. Benarkah dirinya tadi begitu? Tidak mungkin! Ia menggigit bibir, merasa seluruh tubuhnya ditelanjangi oleh ucapan itu.
Refleks, Kevia menutup mulut pria itu dengan telapak tangannya. “Kau… benar-benar menjengkelkan!”
Pria itu dengan tenang menarik tangannya. Matanya berkilat dalam remang, lalu suara beratnya turun menjadi bisikan lembut, nyaris bergetar menyusup ke tulang.
“Kau menggairahkan, Sayang. Aku sangat menyukai sentuhanmu… kecupanmu.” Nada tawanya lenyap, berganti ketulusan aneh yang membuat dada Kevia berdegup kencang tak terkendali.
Deg! Deg!
Jantung Kevia berdegup tak karuan. "Kenapa… kenapa suaranya terdengar begitu jujur? Kenapa hatiku seperti bergetar saat mendengarnya?" Ia menunduk, berusaha mengusir rasa itu.
Dengan napas terengah, Kevia memeluk dirinya sendiri, seolah ingin melindungi dari perasaan asing yang datang tanpa izin. Ia menggigit bibir, wajahnya memanas.
“Diam! Dasar mesum! Kau benar-benar pandai membuatku marah sekaligus… gila!”
Pria itu tersenyum samar, matanya teduh namun menusuk. “Bagus. Biarkan aku membuatmu gila… tapi hanya padaku.”
“Kau menyebalkan!” Kevia melotot, meski nadanya terdengar lebih gemetar daripada galak.
“Kau menggemaskan,” balasnya cepat, senyum melebar.
“A-aku benci kamu!”
“Aku cinta kamu.”
“Aku nggak mau dicintai kamu!”
“Tapi aku sudah terlanjur jatuh terlalu dalam.”
Kevia tercekat, lidahnya kelu. Ia kehabisan kata, hanya bisa terdiam dengan dada sesak.
Kata-kata itu menusuk Kevia lebih tajam dari pisau. "Cinta? Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa seseorang sepertinya berkata cinta dengan suara setenang itu… sementara aku sendiri bahkan tak bisa memahami perasaanku?"
Hening jatuh seketika, hanya ada napas keduanya yang masih cepat, berpadu di udara sempit. Kevia hendak merutuk lagi, tapi pria itu dengan tenang menarik tangannya, lalu menunduk. Sebelum Kevia sempat melawan, sebuah kecupan singkat, hangat, dan mengejutkan mendarat di keningnya.
Kevia terdiam, tubuhnya membeku. "Kenapa keningku terasa terbakar hanya karena kecupan singkat itu? Kenapa dadaku terasa sesak… tapi juga hangat?"
“Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu… selamanya. Hanya denganmu,” bisik pria itu pelan. Tak ada lagi nada godaan, hanya ketulusan murni yang menusuk langsung ke hati.
Kevia tertegun. Kata-kata itu menghantam benteng pertahanannya yang rapuh. Ia bisa merasakan betul, itu bukan sekadar rayuan, melainkan janji yang lahir dari lubuk terdalam. Janji berbahaya, karena diam-diam hatinya mulai goyah.
Pria itu menarik lembut tangan Kevia, membawanya menyentuh wajah yang selalu tersembunyi dalam remang malam dan masker. Jantung Kevia berdetak tak terkendali.
Pria itu mengecup telapak tangannya, lalu menuntun jemari Kevia menyusuri garis wajahnya dengan penuh kelembutan.
“Sekali saja… sekali saja kau berkata bersedia hidup bersamaku selamanya. Maka akan kutunjukkan wajahku. Dan semua milikku akan jadi milikmu,” bisiknya lirih, seperti permohonan yang nyaris putus asa.
Kevia memejamkan mata, mencoba mengukir setiap lekuk wajah itu hanya lewat sentuhan. Jemarinya turun perlahan, berusaha mengenali, mengingat, menyimpan dalam hatinya.
-----
Kevia terbangun karena cahaya matahari menelusup dari celah gorden, menusuk matanya hingga ia mengerjap. Kesepian menyergap saat ia mendapati dirinya terbaring seorang diri. Kasur di sampingnya telah dingin, pertanda pria itu entah sejak kapan pergi.
Kilasan malam yang bergelora bersama pria misterius itu kembali menyerbu ingatannya. Perdebatan mereka, sentuhan hangat, hingga kalimat tulus yang mengguncang pertahanannya.
Ia mendesah kasar, buru-buru bangkit sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Saat matanya menangkap secarik kertas di atas nakas, tepat ditindih ponsel yang sejak kemarin ia cari, hatinya langsung berdesir kesal.
“Selalu saja begini…” gerutunya, wajahnya masam.
Dengan malas, ia meraih kertas itu dan mulai membaca.
Jika ingin pulang ke rumah ayah dan ibu, ada sopir yang siap mengantarmu. Uang bulananmu sudah kutransfer, bisa kau cek di ponselmu. Kalau kurang, bilang saja.
Kevia mendengus keras. “Dasar seenaknya! Datang, bikin onar… lalu pergi setelah—” kata-katanya terhenti, pipinya memanas. “Setelah itu… terus ninggalin duit? Apa dia itu tuyul kontrak pesugihan apa gimana, sih?!”
Dengan kesal ia meraih ponselnya, buru-buru membuka mobile banking. Tapi begitu angka saldo terpampang jelas di layar, matanya langsung membulat.
“Se… seratus JUTA?!” serunya refleks.
Detik itu juga ia menutup mulut dengan tangan, takut teriakannya terdengar sampai luar kamar. Wajahnya sudah merah padam, entah karena malu, marah, atau… perasaan aneh yang terus bergemuruh di dadanya.
Namun beberapa detik kemudian, matanya kembali melebar. “Tunggu dulu… uang bulanan? Maksudnya… aku bakal dapat seratus juta per bulan? Terus kalau kurang bisa minta lagi?!”
Kepalanya terasa berasap. Bayangan pria itu menyeruak, mengusik setiap sudut pikirannya.
“Sekali saja… sekali saja kau berkata bersedia hidup bersamaku selamanya. Maka akan kutunjukkan wajahku. Dan semua milikku akan jadi milikmu,” bisiknya lirih, seperti permohonan yang hampir putus asa.
Kevia tergelak kasar, suaranya pecah. Tawa itu terdengar garing, nyaring, lebih mirip orang yang kebingungan antara marah dan tidak percaya.
“Ini mimpi apa nyata, sih?!”
Ironinya menyambar. Selama ini keluarganya hidup susah, bahkan ia dan ayahnya rela diinjak-injak, dijadikan budak oleh Rima hanya demi biaya pengobatan ibunya. Dan sekarang? Rekeningnya tiba-tiba gendut tanpa ia harus bekerja setengah mati.
Ia menjambak rambutnya sendiri, wajahnya kusut penuh frustrasi. “Aduh, aku benar-benar jatuh makin dalam di cengkeramannya. Aku harus gimana, sih?!”
Yang lebih menyebalkan, ada perasaan nyaman dan terlindungi setiap kali bersamanya. Tapi di saat yang sama, ia juga selalu kesal, marah, sebal, campur aduk jadi satu. Seakan hatinya diaduk-aduk tanpa ampun oleh pria yang bahkan tak pernah ia lihat wajahnya… dan namanya pun ia tak tahu.
-----
Usai membersihkan diri dan sarapan, Kevia akhirnya memutuskan pulang. Mobil hitam yang ditumpanginya melaju mulus di jalanan desa yang mulai ramai oleh warga. Namun, beberapa meter sebelum memasuki perkampungan, Kevia tiba-tiba mencondongkan tubuh ke depan.
“Berhenti di sini,” ucapnya pelan namun tegas.
Sopir itu menoleh lewat kaca spion, wajahnya tetap datar. "Mohon maaf, Nona. Ini masih jauh dari rumah. Saya diperintahkan mengantar sampai depan."
Kevia menghela napas, menatap jalan kecil yang menghubungkan ke kampung. “Aku jalan kaki saja. Kamu berhenti di sini.”
Sopir itu terdiam, tangannya menggenggam erat setir. “Nona, saya tidak mau menyalahi perintah Tuan.” Suaranya terdengar tetap tenang, meski jelas ada tekanan.
Kevia merapatkan alisnya. “Turunkan aku di sini. Kalau tidak… aku bakal benturin kepala di jendela, lalu bilang ke bosmu kalau kamu nyetir sembarangan.” Nada suaranya dibuat setajam mungkin.
Sopir itu tetap berusaha menjaga kesopanan. “Non, izinkan saya jelaskan. Ini perintah langsung, saya—”
“Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu masih jalan, aku benar-benar lakukan.” Kevia menatapnya tajam, wajahnya jelas-jelas serius. “Satu… dua…”
Sopir itu menarik napas dalam, tampak menimbang cepat antara risiko satu dan risiko lain. Diturunkan sebelum sampai rumah pasti akan dimarahi, tapi kalau Kevia terluka dalam pengawasannya, hukumannya bisa lebih besar.
Akhirnya ia memutar setir, menepikan mobil perlahan. “Baik, Nona. Saya turunkan di sini. Tapi tolong jangan katakan pada Tuan kalau saya mengalah.”
Senyum tipis muncul di bibir Kevia. “Gitu dong.”
Sopir itu hanya bisa menggeleng pelan, lalu menghentikan mobil. Kevia turun, merapikan tasnya, kemudian melangkah ringan di jalan setapak menuju kampung.
Namun baru beberapa langkah ia menjauh, ponselnya bergetar. Layar menyala dengan nama kontak yang membuatnya otomatis berdecak.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰