NovelToon NovelToon
Aku Kekasih Halalmu

Aku Kekasih Halalmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Nikahmuda / CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: RahmaYusra

Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.

•••

Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.

•••

“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”

“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”

“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Kekasih Halalmu – Plis, paa …

Mata Hana selalu menatap keluar jendela sejak ia berada didalam mobil bersama Galang. Saat ia baru saja keluar dari kelas-nya Hana melihat Galang yang sudah menunggu-nya digazebo depan kelas dengan senyum manisnya. Entah ia merasa senag atau tidak, yang jelas jantungnya berdebar dengan cepat. Dan sekarang, mereka sedang berada diperjalanan menuju rumahnya.

Selama perjalanan Hana juga terlihat murung. Seperti memiliki beban pikiran yang membuat sang pengemudi heran. Inisiatif, Galang menggerakkan sebelah tangannya yang bebas untuk menggenggam Hana.

“Are you okay?” tanya Galang membuat Hana kaget dan menoleh.

Hana menggeleng dan menghembuskan napasnya pelan. Ia kemudian menatap tangan Galang yang sedang membungkus tangannya. Menatapnya lekat. Tidak ingin jika ini hanya ilusi dirinya. Tidak ingin jika ia mengalihkan pandangan, maka genggaman ini tidak lagi ia rasakan.

Beberapa hari berlalu sejak Hana resmi menjadi tunangan Dibran, tetapi hingga detik ini, hubungan yang ia jalani dengan Galang masih terus berlanjut. Ia rela berbohong karena tidak sanggup berpisah dengan pacarnya ini. Oh, ayolah. Hana sangat mencintai Galang. Bagaimana ia bisa menjalani hubungan yang lebih serius dengan orang lain? Dan bagaimana bisa ia bisa melepaskan lelaki ini?

Meskipun dalam beberapa minggu terakhir komunikasi antara ia dan Galang semakin menipis, tetapi ketika laki-laki ini menjemputnya dengan tergesa dan wajah yang merasa bersalah –Hana meluluh.

Galang mendatanginya ke kampus walaupun tidak ada jadwal kelas dari laki-laki itu. Ia meminta maaf karena tidak mengabari Hana selama beberapa hari. Hana mengerti. Akhirnya Galang mengantarkan Hana pulang karena memang hari ini, Hana hanya memiliki satu kelas di pagi hari.

“Beneran?” tanya Galang lagi untuk memastikan.

Hana mengangguk. “Iya,” jawabnya lalu melepaskan genggaman.

Galang mengernyit, tetapi tidak terlalu memikirkannya. Ia menarik tangannya dan fokus menyetir. Sedangkan Hana sibuk dengan pemikirannya.

Melepaskan genggaman itu sama saja membuat Hana menangis. Tetapi ketika mengingat ikatan yang sudah ia jalankan, membuatnya terpaksa melakukannya. Ia harus mengingat posisinya sekarang. Dan mengingat hubungan ini masih berjalan, membuat dada-nya semakin sesak! Bukan takdir seperti ini yang ia inginkan!

Hana menghembuskan napas hingga pipinya terlihat menggembung sesaat. Hana lalu menoleh pada Galang dan bertanya seputar kafe milik laki-laki itu dan tentang praktek yang tengah dilakukan Galang

Galang bercerita. Tersenyum. Tampak jelas binar bahagia yang tercetak dimatanya saat menceritakan hal itu. Kafe Galang berjalan dengan baik. Renovasi yang dilakukan juga akan selesai beberapa hari lagi.

Ditambah dengan praktek yang sangat menyenangkan walaupun sangat terik dan melelahkan untuk otak dan badannya.

Melihat itu, Hana tersenyum. Ia seakan merekam bagaimana cara laki-laki itu bicara, bercerita, tersenyum, tertawa, kesal, dan sebagainya. Hana harus bisa menyimpannya dengan baik. Karena ia yakin tidak akan bisa lagi melihat hal ini ketika sebentar lagi ia akan menikah dengan orang lain.

Hana tertawa ringan –untuk dirinya dan kenangan yang lalu.

Galang menoleh dan mengernyit. “Perasaan nggak ada yang lucu, kenapa ketawa?”

Hana menggeleng lalu menatap Galang sambil tersenyum. “I love you,” katanya.

Mobil Galang berhenti tepat di depan rumah Hana. Ia juga tersenyum. Kemudian mengelus pipi kemerahan milik Hana. “I love you too,” balasnya.

Hana ingin sekali menangis, tetapi ia hanya mengangguk. Lalu merapikan tas dan bersiap turun. “Aku masuk dulu. Kamu hati-hati pulangnya,” katanya dan membuka pintu mobil.

Galang mengangguk. “Iya. Nanti kalau udah sampai rumah, aku kasih tahu kamu, ya,” jawab Galang.

Hana tersenyum, lalu turun dari mobil. Setelah melambaikan tangan, Galang langsung meninggalkan Hana yang masih memperhatikannya hingga mobil itu hilang dari pandangannya. Setelah itu, barulah Hana masuk ke rumahnya dan bergegas ke kamar.

“Kamu masih berhubungan dengan Galang?”

Hana berhenti. Ia meremas ganggang pintu kamarnya dengan erat sambil memejamkan mata. Sudah ia duga. Papa-nya memperhatikan-nya sejak ia pulang.

“Hana, ingat. Kamu itu–”

“Tunangan Mas Dibran,” kata Hana cepat, memotong ucapan Evan.

“Terus ini apa? Kamu masih berhubungan sama Galang? Bukannya kamu sudah memutuskan hubungan kamu sama dia? Kamu juga sudah bilang ini sama Dibran, kan? Kenapa tiba-tiba kamu pulang sama dia? Seharusnya Dibran yang–”

“Paa ...” potong Hana lagi. Kali ini dengan lirih, Hana menahan sesak didadanya. Setiap keputusan yang ia ambil terasa sangat berat untuknya. Tidak mudah untuk memutuskan semuanya. Keinginan Evan, menerima perjodohan dengan Dibran, dan pilihan memutuskan laki-laki yang ia cintai. Semuanya tidak sesuai dengan yang ia mau!

Evan terdiam. Seketika rasa bersalah yang awalnya menipis, kembali menebal.

“Kacanya bentar lagi pecah, Pa. Dan Hana mohon jangan nambah retakan di kaca itu. Hana belum siap. Keinginan Papa tentang perjodohan itu udah Hana lakuin. Dan sekarang, plis kasih Hana waktu. Papa pasti tahu, hal ini nggak mudah buat Hana. Bersanding sama laki-laki yang nggak Hana cintai dan Hana inginkan, sama sekali bukan keinginan Hana. Tapi demi Papa sama Mama bahagia dan bisa lihat senyum bangga dari Papa, Hana rela. Sekarang kasih Hana waktu buat yakinin diri Hana kalau keputusan untuk bahagiain Papa sama Mama, juga keputusan kalau Hana bakalan bahagia,” ucap Hana panjang lebar.

Hana tidak menangis. Sama sekali tidak. Ia hanya menahan sesak yang diganti dengan ucapan lirih. Terdengar sangat memohon agar tidak selalu memaksa hal yang sangat sulit untuk ia lakukan.

Akhirnya Evan meninggalkan Hana di depan pintu kamar anaknya sendirian. Laki-laki berumur itu menutup kamar miliknya setelah mendengar permohonan panjang lebar dari sang putri.

***

Setelah keluhannya ia luapkan pada sang papa, sejak saat itu hubungan ayah dan anak itu mulai merenggang. Mereka saling menyibukkan diri agar tidak saling bertemu. Dan setelah beberapa hari ini, sejak tadi Hana belum keluar kamar.

Lagi. Hana kembali melihat Android-nya untuk tahu kabar dari Galang. Tetapi hingga siang ini, laki-laki yang menjadi pacarnya itu belum mengabarinya sama sekali. Bahkan sejak hari terakhir dia mengantarkan Hana pulang –tiga hari yang lalu.

Pasrah, Hana memilih meletakkan ponselnya lagi di atas nakas sebelah tempat tidur. Kemudian menarik selimut hingga batas dagu. Untung saja hari ini ia tidak memiliki jadwal kelas, karena tadi pagi tiba-tiba saja kepalanya sakit dan terserang flu.

Hari sudah menunjukkan pukul sebelas siang, dan Hana masih belum keluar kamar. Membuat Lidia yang tidak melihat anakanya sedari tadi khawatir. Putrinya itu belum makan sama sekali.

Akhirnya ia memilih untuk melihat Hana kekamarnya. Saat membuka pintu dan melihat anaknya masih berada dibawah selimut, Lidia menghampirinya. Hampir saja wanita paruh baya itu mengomeli Hana karena masih saja tidur, jika ia tidak melihat wajah pucat sang anak. Segera Lidia memeriksa suhu tubuh Hana yang ternyata sangat panas.

Lidia langsung panik. Perempuan berumur itu sangat khawatir, tetapi masih sigap menyiapkan air hangat dan handuk untuk mengompres kening Hana. Lalu menghubungi sang suami dan setelah itu dokter. Lidia juga segera membuatkan sup ayam untuk Hana bisa makan.

Selang beberapa menit, Evan sampai rumah dan tidak lama dokter juga datang. Segera Hana diperiksa dan diberikan obat. Kata dokter, Hana hanya kelelahan dan sering makan telat. Ditambah Hana memiliki beban pikiran. Membuat daya imun ditubuhnya menurun.

“Hana nggak papa, Ma, Pa. Jangan khawatir,” kata Hana setelah dokter selesai memeriksa dirinya.

Lidia hanya bisa menghembuskan napasnya pelan. Ia hampir menangis. Tentu saja!

Hana adalah anak satu-satunya yang ia punya. Maka dari itu Lidia sangat takut jika Hana tiba-tiba sakit dan tidak sanggup duduk.

Hana duduk dengan pelan dibantu mama. Setelah bisa duduk, ia memeluk perempuan tua yang ia sebut dengan 'Mama' itu dengan erat. Hana mengelus punggung mamanya dengan lembut. Sangat tahu jika Lidia masih panik.

Evan yang melihat itu pun hanya bisa diam. Ia juga mengelus kepala sang istri dengan sayang. Ia menjadi merasa sangat-sangat bersalah. Setelah membuat putrinya memiliki beban pikiran, sekarang istrinya terserang panik saat Hana sakit.

Dipelukan Hana, akhirnya air mata Lidia jatuh. Tetapi ia tidak terisak. Hanya menangis ketika merasa panik dan khawatir. Lidia mengangguk lalu melepaskan pelukan. Ia membelai pipi putrinya yang masih sangat panas.

“Iya. Tapi jangan sakit lagi, yaa. Makannya juga harus teratur. Jangan banyak pikiran, dan jangan mikirin apapun dulu. Bisa?” pinta Lidia pada Hana.

Hana tersenyum dan mengangguk. “Bisa, Ma.” Ia lalu menghapus jejak air mata yang ada dipipi mamanya. “Mama jangan nangis lagi. Hana jadi berdosa banget bikin Mama nangis.”

Lidia tertawa pelan, tetapi ikut menghapus jejak air matanya. “Ya sudah, Mama ke kamar dulu, ya. Tapi Hana jangan lupa makan, ya. Habisin supnya,” kata mama, dan Hana mengangguk.

Lidia menatap Evan sebentar, kemudian bangkit dan meninggalkan kamar. Sekarang tinggal Evan dan Hana yang belum membuka suara sama sekali.

Evan memilih diam dan menunduk. Sedangkan Hana diam sambil menatap papanya dengan sorot tidak terbaca. Papa duduk dipinggir kasur dengan kedua lengan bertumpu di paha. Masih menunduk. Evan menatap jemarinya yang bertaut.

Hingga menit berikutnya bergulir, Evan meninggalkan kamar Hana dalam keheningan.

“Pa,” panggil Hana yang menghentikan satu langkah Evan yang sudah berada diujung pintu.

“Suapin Hana, ya? Tangan Hana masih lemes buat makan sendiri,” sambung Hana.

...^^^...

Puas memandangi wajah polos sang anak yang tertidur, Evan segera beranjak dan mencium kening Hana dengan lembut. Setelah Hana mengatakan jika ia ingin disuapin oleh dirinya, tanpa berpikir dua kali Evan langsung menurutinya.

Evan kembali melangkah kearah Hana dan duduk dipinggir ranjang. Tanpa banyak kata, Evan langsung mengambil sup ikan yang telah dibuat oleh sang istri untuk anak mereka.

Hana tersenyum. Sangat tipis. Hingga papanya tidak menyadari jika anak gadis yang telah tumbuh dewasa itu, kembali menjadi anak kecil yang sangat bahagia. Hanya karena disuapi untuk makan.

Hening. Sangat hening. Hanya dentingan piring dan sendok yang terdengar antara ayah dan anak itu. Ketika tatapan mereka bertemu dan Hana tersenyum, Evan tidak menahan diri untuk ikut tersenyum.

Evan lega, begitupun Hana. Keduanya seakan menikmati setiap senyuman tanpa kata setelah tiga hari tidak saling bertegur sapa. Keduanya selalu menghindar. Evan selalu berangkat pagi dan pulang malam. Lalu Hana yang akan pergi ketika sang papa sudah berangkat dan pulang sebelum Evan datang.

Hana menyelesaikan makannya. Setelah minum, Hana memejamkan mata menikmati sentuhan tangan Evan dipipinya. Ia lalu berangsur mendekati sang papa kemudian memeluknya dengan erat.

Evan pun membalas dengan tidak kalah erat.

Menyalurkan rasa rindu yang sudah terpendam selama tiga hari ini. Ketika Evan ingin melepaskan pelukan yang sudah beberapa menit berlalu, ia hanya bisa tertawa pelan karena Hana yang tertidur di sana.

Setelah membaringkan Hana dengan hati-hati, Evan tidak langsung pergi, ia masih terus memperhatikan anaknya yang tidur. Putri kecil yang dulu selalu ia gendong dan menangis karena ditinggal pergi olehnya untuk bekerja. Sekarang telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik.

Ia juga menyadari jika sebentar lagi tugasnya untuk membahagiakan Hana akan segera digantikan oleh seseorang yang telah ia percayakan untuk menjaga Hana. Sangat cepat berlalu. Tanggungannya akan segera teralihkan, tetapi ia masih harus bisa membahagiakan anaknya. Karena bagaimanapun, Hana baginya tetaplah seorang putri kecil yg sangat ia sayangi.

...***...

1
minato
Nggak sabar buat lanjut ceritanya!
Linechoco
Ngangenin banget ceritanya.
Aerilyn Bambulu
Alur ceritanya keren banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!