Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Damian yang memiliki kepekaan dan pendengaran yang tajam, terus berjalan menyusuri hutan yang mulai gelap. Sampai ia menemukan sumber mata air yang berasal dari sungai kecil yang mengalir.
Seolah tak ingin membuang waktu, ia segera meraih sebuah botol kaca bekas sirup yang ia temukan saat ia berjalan tadi. Ia membersihkan botol itu dengan air sungai, menggosoknya dengan teliti hingga tak ada lagi sisa kotoran yang menempel. Setelah memastikan botolnya bersih, Damian mengisi botol itu hingga penuh. Lalu segera beranjak kembali ke gubuk, ia khawatir dengan keadaan Anya yang ia tinggalkan sendirian di sana.
Tak lama Damian sudah ada di gubuk kembali. Ia memberikan air minum yang ia bawa kepada Anya.
"Minumlah," ujar Damian, sambil menyodorkan botol minum kehadapan Anya.
Anya menerima botol minum itu dan meneguknya hingga tandas. Ia merasa sedikit lebih segar setelah minum air.
"Terima kasih," ujar Anya, lirih menatap Damian dengan mata masih berkaca-kaca.
Damian tersenyum tipis. "Sama-sama Anya, kau istirahatlah. Aku akan berjaga di luar," ujar Damian lembut.
Anya mengangguk. Ia merebahkan tubuhnya di atas tumpukan jerami dan memejamkan matanya. Ia berusaha untuk tidur, tapi pikirannya terus melayang-layang pada kejadian yang baru saja menimpanya.
Damian keluar dari gubuk dan duduk di depan pintu. Ia berjaga-jaga sambil mengawasi keadaan sekitar. Ia khawatir Revan akan menemukan mereka.
Matahari mulai terbenam. Suasana di sekitar gubuk semakin gelap dan sunyi. Anya masih belum bisa tidur. Ia merasa takut dan cemas.
Tiba-tiba, Anya mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah gubuk. Jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Darah seolah membeku di nadinya. Ia menggigil ketakutan, membayangkan Revan muncul di balik pintu gubuk.
Anya segera bangun dan mengintip dari celah dinding gubuk. Ia melihat dua sosok manusia berjalan mendekat ke arah gubuk. Kedua orang itu tampak asing dan mencurigakan.
Anya segera keluar gubuk mencari sosok Damian, yang ternyata sedang memejamkan matanya sambil menyenderkan tubuhnya di daun pintu.
"Damian, ada orang datang!" bisik Anya, panik suaranya bergetar karena rasa takut.
Damian langsung membuka matanya, dan bersikap waspada. "Ayo kita masuk," ujarnya sembari menarik tangan Anya untuk masuk kembali ke dalam gubuk dan menutup pintunya dengan rapat.
Dua orang itu semakin mendekat ke arah gubuk. Mereka berhenti di depan pintu gubuk lalu mengetuk pintu gubuk itu.
"Apa ada orang di dalam?" tanya salah satu dari dua orang tersebut.
Damian dan Anya tak menjawabnya, mereka tidak percaya begitu saja, mungkin saja itu salah satu dari anak buah Revan. Pikir Damian tetap waspada, Anya yang bersembunyi di belakangnya mempererat cengkeramannya pada kaus Damian.
Pria itu terdiam sejenak saling pandang dengan wanita di sampingnya. Lalu, ia menghela napas panjang.
"Maaf jika saya membuat kalian takut. Saya hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja," ujar pria itu. Nada bicaranya terdengar tulus, namun tetap saja Damian tak bisa langsung percaya begitu saja.
Damian dan Anya saling berpandangan. Mereka masih ragu, tapi nada bicara pria itu terdengar tulus.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Damian, akhirnya sambil membuka pintu gubuk perlahan.
Pria itu tersenyum ramah. Tatapan matanya teduh, dan senyumnya menenangkan. "Saya pemilik gubuk ini. Nama saya Kakek Harjo, dan ini istri saya Minah," ujar kakek Harjo memperkenalkan diri dan juga istrinya. Nenek Minah tersenyum lembut, tangannya yang keriput tampak kasar namun terasa lembut saat menyentuh lengan Anya.
Akhirnya Damian dan Anya menarik nafas lega dan keluar dari gubuk tersebut.
Kakek Harjo langsung menjelaskan bahwa ia dan istrinya tak sengaja mendengar percakapan para warga saat mereka pulang dari kebun mereka, bahwa ada kecelakaan
tragis di sekitar sini namun penumpangnya menghilang.
Dan secara tak sengaja juga ia melihat Damian dan Anya masuk ke gubuknya.
Damian dan Anya merasa lega mendengar penjelasan Kakek Harjo. Mereka meminta maaf atas kecurigaan mereka sebelumnya.
"Tidak apa-apa, Nak. Kakek mengerti kalian pasti ketakutan," ujar Kakek Harjo dengan bijak. "Kakek juga pernah muda dan merasakan pahitnya hidup. Jadi, Kakek bisa merasakan apa yang kalian rasakan."
"Apa kalian terluka? Sebaiknya ikut kami ke rumah. Rumah kami tidak jauh dari sini. Kalian bisa beristirahat dan mengobati luka-luka kalian di sana." ujarnya prihatin.
Damian dan Anya ragu-ragu. Mereka tidak ingin merepotkan orang lain. Tapi mereka juga tidak bisa memungkiri jika mereka butuh tempat yang lebih nyaman untuk mengobati luka-lukanya.
"Jangan khawatir. Kakek dan Nenek senang bisa membantu," ujar Kakek Harjo, meyakinkan keduanya dari keraguan Damian dan Anya.
Akhirnya, Damian dan Anya setuju untuk ikut Kakek Harjo dan istrinya. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di dalam hutan dengan hati-hati Damian sama sekali tak melepaskan genggamannya pada tangan Anya.
Rumah Kakek Harjo ternyata tidak jauh dari gubuk. Rumah itu sederhana, tapi bersih dan nyaman. Di dinding ruang tamu tergantung foto-foto keluarga Kakek Harjo dan Nenek Minah. Aroma masakan tradisional tercium dari dapur, membuat perut Anya keroncongan. Kakek Harjo mempersilakan Damian dan Anya masuk.
"Silakan duduk. Nenek akan siapkan air hangat dan obat-obatan," ujar Kakek Harjo.
Damian dan Anya duduk di kursi kayu di ruang tamu. Mereka mengamati sekeliling rumah Kakek Harjo. Yang terlihat sederhana hanya ada dua kamar tidur dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Tidak ada perabotan yang berharga yang terlihat hanya sebuah radio kecil di atas meja usang yang ada di sudut ruang tamu.
Tak berapa lama Kakek Harjo datang membawa air hangat dan obat yang ia buat sendiri dari daun-daunan. Ia membersihkan luka-luka Damian hati-hati. Sedangkan istrinya membatu Anya mengoles obat di punggung serta siku Anya yang terdapat memar dan sedikit lecet. Tangan Nenek Minah terasa lembut saat menyentuh kulit Anya yang terluka.
Setelah mengobati keduanya ia berseru, "Kalian pasti sangat lelah. Istirahatlah di kamar itu," ujar Kakek Harjo, menunjukkan ke arah salah satu pintu kamar yang tak jauh dari posisi mereka.
"Terima kasih Kek, Nek, sudah menolong kami," ujar Anya tulus pada keduanya.
"Sudah kewajiban kita untuk membantu sesama yang sedang kesusahan, Nak," balas Nenek Minah dengan senyum lembut.
Damian dan Anya merasa bersyukur di pertemukan dengan orang-orang baik seperti Kakek Harjo dan nek Minah.
Kakek harjo mengantar Damian dan Anya hingga ke depan kamar. Kamar itu sederhana, tapi bersih dan nyaman. Satu ranjang dan lemari pakaian plastik di sudut kamar.
"Kalian istirahatlah di sini. Jika ada yang dibutuhkan, panggil saja Kakek, atau Nenek ya," ujar Kakek Harjo.
Keduanya mengangguk pelan, "Sekali lagi terima kasih banyak, maaf kami merepotkan Kakek dan Nenek," ujar Anya merasa tak enak.
Kakek Harjo hanya membalas dengan senyuman tulus, lalu segera keluar dari kamar dan menutup pintu dengan pelan. Ia kembali ke ruang tamu bergabung dengan istrinya yang tengah merapikan sisa-sisa obat tadi.
"Kasihan sekali anak-anak itu. Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?" gumam Kakek Harjo, dengan nada prihatin.
Bersambung ...