Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 23
Pagi itu, lapangan sekolah sudah mulai dipenuhi siswa-siswi yang berseragam olahraga. Matahari baru saja muncul, sinarnya lembut menyapu wajah-wajah mengantuk para murid yang setengah hati mengikuti instruksi guru. Zia berdiri di barisan kelasnya, rambutnya diikat rapi, napasnya masih terasa dingin karena udara pagi. Ia mencoba mengabaikan tatapan-tatapan sinis dari beberapa teman yang memperhatikan kehadirannya.
tiba tiba Dari tepi lapangan, seorang pria tinggi, berkulit sawo matang, dan berwajah tegas melangkah ke tengah. Senyumnya ramah, tapi matanya tampak tajam saat menyapu pandangan ke seluruh siswa. “Halo semua, perkenalkan nama saya Raka. Mulai hari ini, saya akan mengajar pelajaran PJOK di sini. Mohon kerjasamanya.”
Zia yang tadinya masih datar langsung terbelalak. Nafasnya tercekat, matanya membesar seolah tak percaya dengan sosok yang baru saja muncul. Tubuhnya sedikit kaku, bahkan ia sampai lupa mengikuti tepukan tangan teman-temannya.
Di seberang lapangan, Aksa berdiri bersama teman-temannya. Namun matanya sesekali melirik ke arah Zia. Entah kenapa, sejak tadi ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Dia mulai berpikir, memang ada masalah antara abangnya dengan Zia waktu kemarin. Apalagi tadi pagi Zia tidak mengikuti sarapan bersama, padahal biasanya gadis itu selalu ada di meja makan. Raut wajahnya kini terlihat datar, bahkan sedikit kosong, seakan pikirannya melayang entah ke mana.
Zia sendiri masih berdiri di barisan siswi, kedua tangannya menggenggam ujung kaos olahraga yang sedikit longgar. Matanya tiba-tiba melebar begitu melihat sosok yang berdiri di panggung depan lapangan. Bukan sekadar guru baru, melainkan seseorang yang cukup familiar baginya. Raka.
“kak–Raka?” bibirnya bergerak tanpa suara. Ia menatap tak percaya. Bagaimana bisa sepupu Jenny itu berdiri di sana, mengenakan seragam olahraga guru, dengan peluit menggantung di lehernya. Baru sekarang ia tahu, profesi Raka selama ini adalah seorang guru. Tapi… mengapa dia pindah ke sekolah ini?
Kok Jenny nggak ngasih tahu kalau Kak Raka bakal ngajar di sini sih? batin Zia, sedikit kesal tapi juga bingung.
Raka, dari atas panggung, menyapu pandangan ke arah para siswa. Senyumnya tipis, hampir tak terlihat, tapi sorot matanya tajam ketika pandangannya berhenti tepat pada Zia. Ia menangkap jelas ekspresi kaget gadis itu. Wajah Zia tampak natural, sama sekali tidak dibuat-buat. Dan itu membuat Raka tersenyum miring.
Kita bertemu lagi, Zia, batin Raka, sambil menahan smirk yang membuatnya terlihat lebih misterius daripada ramah.
“Kok aku ngerasa serem ya sama senyumannya…” gumam Zia pelan, nyaris tak terdengar oleh teman-teman di sampingnya.
Pak Dimas, guru olahraga sekaligus pembina upacara pagi ini, menepuk mikrofon. “Baik, sekarang mari kita mulai senam bersama, dipimpin oleh Pak Raka.”
Beberapa siswa langsung bersorak kecil. Senam biasanya hanya dipimpin guru olahraga lama yang gaya bicaranya datar, tapi kali ini mereka dapat wajah baru yang terlihat cukup karismatik. Musik senam pun mulai terdengar, dentuman beat yang memecah kesunyian pagi.
Zia menggerakkan tubuhnya mengikuti irama, tapi pikirannya tetap berputar di pertanyaan yang sama: Kenapa kak Raka pindah ke sekolah ini? Apakah kebetulan, atau ada alasan lain?.
Aksa, dari jauh, kembali melirik. Ia memperhatikan bagaimana Zia tampak setengah hati melakukan gerakan pemanasan, matanya kadang melirik panggung. Tatapan itu bukan tatapan biasa—lebih mirip rasa waspada. Aksa tidak tahu siapa pria di panggung itu, tapi dia mencatat dalam kepalanya untuk mencari tahu.
Sementara itu, Raka memimpin senam dengan gerakan tegas namun santai. Sesekali matanya kembali tertuju pada Zia, seolah sedang mengamati reaksi gadis itu. “Angkat tangan… satu, dua, tiga… tahan!” suaranya terdengar mantap.
Setelah sekitar sepuluh menit, gerakan pendinginan dimulai. Zia menunduk, mengatur napas, sementara keringat mulai membasahi dahinya. Namun, rasa penasaran dalam hatinya jauh lebih mengganggu daripada rasa lelah fisik.
“Terima kasih, semua! Kalian hebat,” seru Raka, menutup sesi senam dengan tepuk tangan.
Siswa-siswi bubar perlahan, zia sedang berjalan keluar dari barisan senam ketika matanya menangkap sosok yang sangat familiar di tepi lapangan. Langkahnya terhenti. Raka. Ia berdiri dengan santai, mengenakan pakaian guru olahraga, clipboard kecil di tangannya, sementara matanya sesekali memindai siswa-siswi yang bersiap kembali ke kelas.
Zia ragu sejenak. Haruskah ia menyapanya? Tapi sebelum ia sempat memutuskan, Raka sudah melangkah mendekat.
“Zia,” panggilnya pelan namun jelas.
Gadis itu menoleh, sedikit terkejut. “Ada apa, Kak?” ucapnya dengan nada canggung. Tatapan beberapa siswa langsung tertuju pada mereka, membuat wajahnya sedikit memanas. Dari sudut lapangan, Aksa memperhatikan dengan penuh minat, matanya menyipit sedikit, seperti mencoba membaca situasi.
“Gak ada,” jawab Raka sambil tersenyum tipis. “Cuman kaget aja… ternyata kita bisa ketemu lagi.”
Zia mengerjap, masih belum sepenuhnya percaya. “Kok Kakak bisa ngajar di sini?” tanyanya pelan, nadanya sarat rasa penasaran.
Raka menegakkan tubuhnya, mencoba menjaga wibawa karena mereka berada di lingkungan sekolah. “Mumpung ada kesempatan, saya masuk. Eh, gak nyangka malah ketemu kamu di sini.” Cara bicaranya lebih formal, jelas menyesuaikan situasi.
Zia mengangguk-angguk pelan. “Ohhh… gitu.”
Hening sesaat. Zia meremas jemari tangannya sendiri, merasa tatapan orang-orang di sekitarnya terlalu intens, apalagi tatapan Aksa yang terasa seperti menusuk dari jauh.
“Kalau gitu… Zia ke kelas dulu ya, Kak.” Ia menunduk sedikit, mencoba mengakhiri perbincangan sebelum menjadi tontonan yang lebih besar.
“Silahkan,” jawab Raka, suaranya tenang namun matanya mengikuti setiap langkah Zia. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, senyum yang entah kenapa membuat suasana terasa sedikit berbeda.
Aksa, yang sejak tadi berdiri di sisi lapangan, tidak melewatkan ekspresi itu. Ia bisa membaca maksud tersembunyi di balik tatapan Raka—atau setidaknya ia merasa bisa. Bukan tatapan biasa. Bukan tatapan guru pada murid. Dan itu cukup untuk membuat Aksa memasang alarm waspada dalam pikirannya.
Di kepalanya, berbagai kemungkinan berputar. Siapa sebenarnya Raka bagi Zia? Kenapa pria itu terlihat seperti sudah mengenal Zia jauh sebelum hari ini? Dan yang paling mengganggunya, kenapa Zia tidak pernah menceritakan hal ini padanya?
Sementara itu, Zia sudah melangkah menjauh, mencoba menenangkan detak jantungnya. Pertemuan itu terlalu mendadak. Terlalu… tidak terduga. Dan sorot mata Raka barusan membuatnya tidak nyaman sekaligus heran. Ia tahu Raka bukan tipe orang yang muncul tanpa alasan.
★
...I'm sorry, this chapter is really bad in my opinion but I hope you guys like it ...
...★...
...semoga kalian suka maaf kalo bab ini jelek atau gimana, tapi tolong komen yang baik baik supaya aku lebih semangat nulisnya, aku juga pengen ribuan yang baca kaya orang orang, jangan lupa baca novel aku yang lainnya...
...aku sayang kalian semua Babay...
...★...