NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Lyeria terbangun oleh suara samar—hela napas tertekan dan bisikan rendah yang tak dikenalnya.

Matanya terbuka perlahan. Masih gelap. Masih di kamar Ferlay.

Tapi kamar itu… tidak lagi sunyi.

Ia tidak tahu jam berapa ketika suara samar membuatnya perlahan terbangun.

Awalnya hanya bisikan. Lalu, suara napas tertahan. Tawa kecil. Suara yang tidak berasal dari mimpinya.

Ia masih di ranjang, tapi kini sendirian.

Seorang wanita—dewasa, anggun, mengenakan gaun tidur gelap yang membentuk lekuk tubuh—berbaring dibawah Ferlay, diatas sofa yang terpantul dari kaca jendela didepan Lyeria. Jemarinya menyentuh kerah baju Ferlay. Ferlay tidak menjauh. Justru tubuhnya sedikit condong, menunduk, membisikkan sesuatu ke telinga wanita itu. Wanita itu tertawa—pelan, rendah, seperti menyimpan dunia dalam genggamannya.

Lyeria membeku. Di bawah selimut, tubuhnya terasa beku dan asing.

Ia ingin marah. Tapi pada siapa?

Ia ingin bangkit dan berkata, “Aku di sini!” Tapi suaranya tersangkut di tenggorokan.

Ferlay bahkan tak melirik ke arah ranjang. Seolah ia tak ada. Seolah yang tertidur di situ hanyalah gadis kecil—tak penting, tak cukup dewasa untuk dihitung sebagai ancaman, apalagi pilihan.

Wanita itu menyentuh pipi Ferlay dan berbisik lagi. Lalu mereka berciuman. Dekat. Hangat. Seperti dunia yang belum bisa ia miliki.

Mata Lyeria memanas, tapi ia menolak menangis.

Ia hanya menarik selimut lebih dalam. Tidak karena dingin. Tapi karena malu.

Suara napas berat terdengar. Diselingi rintihan wanita yang lirih tapi jelas.

“…Ferlay…”

Nama itu terdengar berkali-kali—dengan nada tinggi yang ditarik panjang, seperti panggilan penuh hasrat yang membuat dada Lyeria mengencang. Ia tidak ingin tahu. Tapi ia tahu.

Lalu suara Ferlay menjawab. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan suara rendah yang menggeram pelan, tertahan dan dalam. Suara yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Suara yang tidak pernah ditujukan padanya.

Erangan. Napas. Tubuh yang bergerak berulang, bergesekan dengan irama tak terucap. Irama yang membentuk bayangan mengerikan dalam benaknya—sesuatu yang tidak sepantasnya ia dengar. Tapi suara itu tidak berhenti.

Ia membeku di balik selimut. Mata terbuka, tetapi kosong. Telinganya menangkap segalanya, bahkan saat ia berusaha menutupnya dengan kedua tangan.

“Berhenti… hentikan…”

Bisikan itu keluar begitu saja dari bibirnya, pelan dan nyaris tak terdengar. Tapi suara-suara itu terus berlanjut, menembus kulit dan menghantam jantungnya. Ia bukan bagian dari dunia itu. Bahkan kehadirannya tidak dianggap cukup penting untuk disadari.

Dengan tubuh gemetar, ia menekuk lutut dan menggulung dirinya lebih dalam ke balik selimut. Tangannya menutupi telinga, menekan kuat, seolah berharap dunia luar akan hening.

Tapi tidak.

Nama Ferlay terus dipanggil.

Dan dunia di balik selimutnya terasa seperti neraka yang hangat tapi menyesakkan.

Ia ingin menghilang. Atau bangkit dan berteriak. Tapi ia tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—mendengar, atau disadari kehadirannya.

Saat suara itu akhirnya berhenti.

Yang tersisa hanya napas berat Ferlay dan bunyi pelan dari kain yang disentakkan, sepatu yang dikenakan, suara pintu yang dibuka… lalu ditutup kembali tanpa suara. Wanita itu telah pergi.

Sunyi menyergap ruangan, seperti menyadari bahwa malam terlalu banyak bicara.

Ferlay berdiri di depan cermin sebentar, merapikan rambutnya, menarik napas panjang dan mengancingkan kembali kemejanya yang terbuka setengah. Ia terlihat tenang, seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan sesuatu yang biasa. Tapi tak sekali pun ia melihat ke arah sisi tempat tidurnya. Ia bahkan mungkin lupa bahwa seseorang pernah tertidur di sana.

Baru ketika ia melangkah ke sisi ranjangnya, Ferlay berhenti.

Selimut yang tadi terlipat rapi kini kosong. Tak ada tubuh kecil yang meringkuk seperti biasanya. Tak ada wangi lembut khas gadis remaja yang kadang tertinggal di bantal.

Gadis itu sudah pergi.

Ferlay menatap tempat kosong itu cukup lama. Tidak ada catatan. Tidak ada pesan.

Hanya keheningan dan bantal yang agak lembap—entah karena embun pagi, atau sesuatu yang lebih pahit dari itu.

...****************...

Keesokan paginya, Ferlay tak melihat jejak Lyeria di mana pun.

Biasanya gadis itu akan duduk di meja sarapan lebih dulu, menunggunya dengan rambut acak dan mata ngantuk, atau datang menyelinap hanya untuk membuat kekacauan kecil. Tapi pagi itu… tidak ada suara, tidak ada tawa, bahkan tidak ada bau parfum manis yang biasa menggantung di lorong kamarnya.

Hanya diam.

Hanya sisa bayangan semalam.

Ferlay duduk, meminum kopinya tanpa berkata-kata, pandangannya sesekali menatap pintu seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

Di sisi lain istana, Lyeria duduk di ruang kerja Leon.

“Bolehkah aku tinggal di sini untuk beberapa hari?” pintanya sambil menunduk, tangannya memeluk bantal kecil miliknya.

Leon mengangkat alis. “Kalian bertengkar lagi?”

Lyeria hanya mengangguk pelan. Tidak menjawab, tidak menjelaskan. Tapi Leon sudah terbiasa. Gadis kecilnya memang suka berubah-ubah, dan ia pikir, mungkin Ferlay terlalu keras lagi.

“Baiklah,” ujar Leon akhirnya, mengusap kepala Lyeria. “Tinggallah di sini sampai kau ingin kembali.”

Lyeria tersenyum tipis. Tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.

Saat malam datang, ia tetap tidak pulang.

Tidak satu pun pesan ia kirim pada Ferlay. Tidak ada suara kunci di pintu kamar. Tidak ada langkah kaki ringan yang biasanya datang hanya untuk merecoki. Gadis itu benar-benar menghilang dari dunianya.

Dan Ferlay… hanya menatap ke arah pintu yang tetap tertutup.

...****************...

Keesokan harinya, saat matahari baru menembus tirai-tirai tipis ruang duduk istana, Ratu Velicia memanggil Lyeria ke ruang pribadinya.

Ratu duduk anggun di sofa berlapis beludru biru tua, ditemani secangkir teh dan tumpukan amplop elegan. Di hadapannya, beberapa foto pria muda telah disusun rapi—semuanya bangsawan, tampan, dan berasal dari keluarga bergengsi. Wajah-wajah itu menatap Lyeria dengan senyum sopan dan dingin dari balik kertas mengkilap.

Lyeria terdiam, duduk tanpa suara di seberang sang ratu. Matanya menatap foto-foto itu dengan pandangan kosong.

Velicia menyentuh tangan Lyeria dengan lembut. “Kau tidak harus buru-buru, sayang,” ucapnya lembut. “Karena menikah itu adalah hal yang harus kau pikirkan matang-matang.”

Ia tersenyum hangat, mencoba menjadi ibu yang bijak bagi adik iparnya yang masih muda.

“Jika tidak ada yang cocok di antara mereka, kau boleh tidak memilih siapa pun.”

Lyeria mengangguk pelan, menahan napas.

Di dalam dirinya, ada kekosongan yang tidak bisa dijelaskan. Bukan karena para pria itu tidak cukup tampan, atau karena mereka tidak berasal dari keluarga besar. Tapi karena malam kemarin, seluruh isi hatinya seperti jatuh dan pecah—diam-diam dan tanpa suara.

Ia tidak mengatakan apa pun pada Ratu Velicia. Tidak soal malam itu. Tidak soal bayangan tubuh yang menyatu dan suara yang menusuk ketenangannya.

Yang ia lakukan hanyalah tersenyum sopan dan berkata, “Terima kasih, Kak Velicia. Aku akan melihatnya.”

Setelah beberapa saat dalam keheningan, Ratu Velicia meletakkan satu foto terakhir di atas meja bundar kecil di antara mereka. Foto itu berbeda dari yang lain—lebih kasual, diambil di taman musim semi, dengan senyum miring dan mata tajam yang terasa familiar.

Velicia berkata lembut, seolah menyampaikan hal yang sudah dipikirkan matang, “Sebenarnya… kemarin, Putri Nata—tunangannya Ferlay—merekomendasikan seseorang untuk dikenalkan padamu.”

Lyeria menoleh pelan, jantungnya berdenyut tidak nyaman saat nama itu disebut. Ia tidak menanggapi, hanya menunggu Velicia melanjutkan.

“Dia Caleb. Kau sudah pernah beberapa kali bertemu dengannya. Sepertinya… dia tertarik padamu.”

Lyeria menunduk, menatap foto pria itu tanpa menyentuhnya.

Tertarik? Entah kenapa, kata itu justru membuat perutnya mual. Ia tidak yakin apakah itu karena nama Putri Nata yang tiba-tiba disebutkan, atau karena Caleb—pria yang selalu memandangnya terlalu lama dan menyapa dengan nada terlalu manis—kini dibicarakan seolah calon yang layak.

Ia tersenyum tipis, namun matanya dingin. “Oh… begitu,” gumamnya, pelan. “Aku mengerti.”

Velicia memperhatikan adik iparnya itu, merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik wajah tenangnya. Namun ia memilih tidak memaksa.

“Kau boleh mempertimbangkannya. Tapi, tidak ada paksaan.” Ia meraih tangan Lyeria sekali lagi, lembut namun tegas.

Ratu Velicia tersenyum, meski sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keramahan.

“Kau tahu, Lyeria,” katanya, sambil membolak-balik beberapa foto yang belum sempat ia tunjukkan, “kakak-kakakmu… mereka tidak benar-benar berniat membiarkanmu menikah.”

Lyeria menoleh, perlahan. Senyumnya menghilang. Ia tahu itu. Tapi mendengarnya diucapkan dengan tenang seperti itu terasa seperti tusukan di dada.

“Terutama Ferlay,” lanjut Velicia, suaranya tetap lembut, namun tak menyembunyikan fakta yang pahit.

Lyeria mengalihkan pandangan. Ia tidak menyangkal.

“Tapi gadis seusiamu…” Velicia melanjutkan, kini suaranya terdengar seperti seorang ibu yang ingin membangunkan anak perempuannya dari mimpi yang keliru, “seharusnya punya kesempatan untuk mengenal lawan jenis satu demi satu. Menyadari apa yang kau suka. Apa yang kau butuh. Dan apa yang pantas kau pilih.”

Lyeria menggigit bibir bawahnya. Ia tahu maksud dari semua kata itu.

Kalimat Velicia berikutnya terdengar seperti pintu yang terbuka ke arah yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!