Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SARAPAN DAN RAHASIA
Pagi masih berembun tipis, meski matahari sudah naik malu-malu dari balik langit abu Jakarta. Kosan Maya yang mungil itu tercium berbeda pagi ini—lebih hangat, lebih hidup. Aroma nasi goreng buatan rumah menyusup dari dapur sempit. Suaranya pelan, hanya sendok kayu beradu dengan wajan dan panci mendidih di kompor kecil.
Rani berdiri di sana, matanya sedikit bengkak karena tidur tak nyenyak semalam. Ia merasa harus datang. Ada sesuatu dalam suara Maya kemarin yang membuatnya gelisah.
Dan saat melihat Maya tadi keluar kamar, mengenakan jaket tipis dan rambut berantakan, Rani tahu firasatnya benar.
“Sarapan dulu, ya,” kata Rani lembut, menyodorkan sepiring nasi goreng hangat dengan telur dadar dan irisan timun seadanya.
“Kamu masak di sini?” tanya Maya lemah, duduk perlahan di kursi kecil.
“Iya. Aku bawa bahan dari rumah. Kupikir kamu belum makan apa-apa.”
“Terima kasih, Ran.”
Mereka makan dalam diam beberapa saat. Maya tampak lelah. Ada sembab di matanya. Sementara Rani duduk berseberangan, memperhatikan sahabatnya itu dengan hati yang tak tenang.
“May...” suara Rani pelan. “Aku masih belum ngerti. Kemarin kamu bilang kamu ke kantor hukum... tapi kamu nggak cerita detail. Kamu beneran datang ke kantor Adrian Lesmana?”
Maya terdiam, lalu mengangguk perlahan.
“Iya.”
“Ngapain?”
Maya menatap piringnya. Tangannya berhenti mengaduk nasi.
“Aku minta dia jadi pengacara buat kasus hak asuh Nayla.”
“Dan?” Rani menajamkan suara, tapi berusaha tetap tenang.
“Aku... aku bersedia lakukan apa pun yang dia minta. Kalau itu memang syaratnya.”
Kata-kata itu menghantam Rani seperti tamparan dingin.
“Apa kamu sadar kamu barusan bilang apa?”
“Aku sadar.”
“Kamu bilang... kamu akan menyerahkan diri kamu ke Adrian Lesmana? Ke pengacara itu? Yang bahkan kamu nggak kenal?”
Maya mengangguk sekali lagi. Dingin, tapi juga rapuh.
“Aku nggak punya banyak pilihan, Ran.”
Rani bangkit dari duduknya. Ia berjalan pelan ke jendela kecil, membuka gorden tipis yang sudah lusuh, lalu berdiri di sana. Punggungnya tegang. Matanya menerawang ke luar.
“Aku masih ingat, May. Dulu kamu sama Reza itu pasangan yang aku iri.”
Maya menoleh, terkejut dengan arah percakapan.
“Kalian romantis. Reza selalu jemput kamu pakai motor tua, terus kamu peluk dia dari belakang. Kalian suka jajan cilok di depan sekolah. Kamu sering cerita soal betapa dia tahu cara bikin kamu ketawa waktu kamu lagi stres soal pelajaran.”
Suara Rani mulai bergetar.
“Waktu kamu nikah sama dia, aku pikir... ya Tuhan, ini pasangan yang ditakdirkan. Aku bahkan nangis waktu kalian berdansa di resepsi kecil itu.”
Maya menunduk. Hatinya seperti dirobek.
“Dan sekarang aku duduk di sini, lihat kamu mau menyerahkan diri kamu ke pria asing... buat anak yang kamu rawat dari cinta yang dulu aku saksikan sendiri.”
Air mata Maya jatuh tanpa suara.
“Itu sebabnya aku harus pertahanin Nayla, Ran.”
“Dengan harga diri kamu sebagai taruhannya?”
“Dengan seluruh hidupku sebagai taruhannya.”
Rani menoleh, matanya merah.
“Kamu gak lihat apa yang sudah Reza rusak? Dan sekarang kamu mau biarkan laki-laki lain — entah siapa dia — punya kuasa atas kamu juga?”
“Adrian bukan Reza.”
“Tapi kamu gak kenal dia, May. Kamu cuma tahu dia pengacara mahal. Dia dingin. Licin. Dia nggak bakal lihat kamu sebagai manusia.”
“Mungkin memang itu yang aku butuhkan. Seseorang yang cukup dingin untuk nggak ikut campur urusan pribadiku, tapi cukup kuat buat melawan Reza di pengadilan.”
Maya berdiri. Ia mendekat, menggenggam tangan Rani dengan erat.
“Aku tahu kamu khawatir. Tapi aku nggak minta kamu setuju. Aku cuma butuh kamu ada di sampingku. Karena aku tahu, setelah semua ini... aku bisa kehilangan apa saja—kecuali Nayla, dan mungkin... kamu.”
Hening.
Lalu Rani menarik Maya ke pelukannya. Kuat. Panjang.
“Aku selalu ada. Tapi aku akan tetap jaga kamu dari jauh juga. Jangan sampai kamu benar-benar hancur, May. Aku nggak sanggup lihat kamu jatuh lebih dalam dari ini.”
Maya mengangguk dalam pelukan itu. Dan untuk pertama kalinya pagi itu, ia mengizinkan dirinya menangis — bukan karena takut, tapi karena tahu ia tak sendiri sepenuhnya.
kamu harus jujur maya sama adrian.