Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Mawar buru-buru melangkah ke belakang untuk membuang serpihan kaca. Tapi langkahnya yang sedikit tergesa-gesa justru semakin mengundang kecurigaan.
Lusi terus memperhatikannya, hingga bayangan Mawar menghilang di balik pintu dapur.
Dalam hatinya, ada sebuah bisikan kecil.
Sebuah firasat.
“Aku harus menyelidikinya diam-diam. Kalau memang dia adalah Mawar, putri Resti... aku pasti akan menemukan buktinya di barang-barang pribadinya.”
Lusi merapikan napkin di pangkuannya, lalu berpamitan dengan nada setenang mungkin. “Maaf, Mas, Ibu, aku ke kamar mandi dulu.”
Tanpa menunggu jawaban, ia segera bangkit.
Namun langkahnya tidak menuju kamar mandi.
Langkahnya penuh perhitungan.
Menuju kamar belakang.
Ke tempat Mawar beristirahat.
Lusi berdiri di depan pintu kamar Mawar. Tangannya terulur, jari-jarinya menyentuh gagang pintu.
Jantungnya berdegup kencang.
Ia menarik napas panjang, lalu mendorong pintu itu perlahan.
Kreek.
Engsel pintu berderit.
Lusi segera menyelinap masuk, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati.
Ruangan itu sederhana, tidak ada banyak barang pribadi. Tapi Lusi tidak menyerah begitu saja.
Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sesuatu yang bisa dijadikan bukti.
Lusi berjalan menuju meja rias kecil. Jemarinya dengan cepat membuka satu per satu laci.
Kosong.
Hanya ada peralatan rias biasa. Tidak ada foto, tidak ada benda yang mencurigakan.
Lusi menggigit bibirnya, matanya kini beralih ke ranjang.
Ia berjongkok, mengintip ke bawah tempat tidur. Tidak ada apa-apa.
Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
“Tidak mungkin... Kalau dia benar Mawar, dia pasti membawa sesuatu... sesuatu yang bisa membuktikan identitasnya!”
Matanya kini menangkap sebuah tas kecil yang tergeletak di sudut ruangan.
Lusi terdiam.
Hatinya berdebar.
Ia menatap tas itu sejenak, lalu perlahan-lahan mengulurkan tangan.
“Mungkin di dalam tas itu...”
Tangannya mencengkeram tas dengan kuat. Dengan gerakan cepat, ia membuka ritsletingnya.
Matanya membelalak.
Kosong.
Hanya ada barang-barang biasa.
Tidak ada foto.
Tidak ada surat.
Tidak ada bukti.
Seketika, tengkuknya terasa dingin.
Tangannya gemetar saat menutup tas itu kembali.
Pikiran dalam kepalanya berteriak.
“Ya Tuhan, Lusi... kamu sudah gila! Ada apa denganmu?”
Lusi menghela napas panjang, menutup matanya.
“Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis itu adalah Mawar yang kukenal dulu. Mawar yang kukenal dulu sudah mati!”
Sebuah kenangan menyeruak di pikirannya.
Dulu, empat belas tahun yang lalu—
Gadis kecil itu jatuh dari tempat yang sangat tinggi.
Tidak ada yang mungkin bisa selamat setelah itu.
Tidak mungkin.
Tapi kenapa perasaan ini tidak mau hilang?
Kenapa instingnya terus berteriak?
Tangannya perlahan mengendur.
“Kamu hanya dihantui. Kamu hanya dihantui oleh rasa takut di hatimu sendiri.”
Ia menarik napas panjang, memaksa pikirannya untuk tetap rasional.
Tangannya bergerak, mengembalikan semua barang ke tempatnya. Ia memastikan tidak ada yang berubah.
Lalu, dengan langkah pelan, ia meninggalkan kamar itu.
Namun—
Di luar, di balik bayangan pohon besar di taman samping kamar, seseorang tengah mengintai.
Mawar.
Ia berdiri di sana, menatap punggung Lusi yang berjalan menjauh.
Senyum sinis terukir di wajahnya.
Dalam genggamannya, tersembunyi sebuah foto lama kelurga kecilnya dan buku diary berwarna cokelat tua milik Resti, ibunya.
Bukti yang sesungguhnya.
Bukti yang sudah ia amankan sebelum Lusi sempat menemukannya.
Mawar sudah memperkirakan langkah ini.
Begitu ia membuang serpihan kaca tadi, ia langsung kembali ke kamarnya dan mengambil barang-barang berharganya.
Dan saat Lusi masuk ke dalam kamarnya untuk mencari bukti, Mawar sudah bersembunyi di luar, menikmati setiap detik kepanikan Lusi.
Ia sudah tahu ini akan terjadi.
Ia sudah tahu Lusi pasti akan mulai curiga.
Tapi justru itu yang ia inginkan.
Lusi mungkin licik, tapi kali ini, Mawar lebih cerdik.
Ia menarik napas panjang, lalu menyelipkan kembali foto dan buku diary itu ke balik bajunya sebelum melangkah maju.
Dengan langkah ringan yang dibuat sesantai mungkin, Mawar menghampiri Lusi yang baru saja keluar dari kamar belakang.
“Ibu Lusi, Ibu Lusi dari mana? Sedang apa di sini?”
Lusi terperanjat.
Matanya membesar, lalu dengan cepat ia menyembunyikan keterkejutannya.
“Eh, kamu, Mawar.”
Lusi mengerjapkan mata, lalu segera merapikan ekspresinya. “I-Ini... aku cuma mau memberikan pesan kepadamu. Aku harus bekerja sekarang, jadi tolong jaga Raya dengan baik. Layani dia dan Pak Bumi sebaik mungkin.”
Nada suaranya terdengar santai, tapi Mawar bisa menangkap sisa ketegangan di dalamnya.
Mawar tersenyum, pura-pura ramah. “Ya ampun, Bu. Ibu tidak perlu repot-repot sampai datang ke sini. Tentu saja, Mawar akan menjaga dan melayani Pak Bumi dan Raya sebaik mungkin.”
Lusi menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Iya.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi.
Mawar tetap berdiri di tempatnya, matanya mengikuti punggung Lusi yang semakin menjauh.
Saat Lusi menghilang dari pandangan, senyum Mawar semakin melebar.
Senyum penuh kemenangan.
“Bagaimana, Tante Lusi? Seru, bukan... permainan ini?”
Kemudian, Mawar melangkah kembali menuju dapur. Langkahnya ringan, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Namun, dalam hatinya, ada bara kecil yang semakin membesar. Ia menikmati setiap detik permainan ini.
Di meja makan, Lusi baru saja meneguk seteguk air sebelum berdiri. Wajahnya masih terlihat datar, tapi sorot matanya menunjukkan kegelisahan yang berusaha ia sembunyikan.
Dengan suara lembut, ia berbicara kepada Raya yang masih duduk bersama Bumi dan Ibu Mutia.
“Raya sayang, maaf ya, hari ini Mama nggak bisa antar kamu ke sekolah lagi. Mama harus buru-buru, ada pemotretan penting pagi ini.”
Bumi, yang sudah cukup lelah dengan kebiasaan Lusi, menggeram pelan sebelum akhirnya meluapkan kekesalannya.
“Lusi! Apa susahnya sih antar Raya ke sekolah sekalian kamu berangkat kerja? Sekalian juga antar Ibu. Kasihan Ibu kalau harus menunggu lama di rumah.”
Lusi menatap suaminya dengan tatapan tajam. Ada ketidaksabaran di matanya.
“Mas, ini sudah siang. Aku nggak punya waktu. Lagian—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara kecil tapi tegas menyela pembicaraan mereka.
“Udah, Papa, nggak papa.”
Raya.
Gadis kecil itu tersenyum tipis, berusaha menenangkan suasana.
Namun, di balik matanya yang polos, ada sesuatu yang seharusnya tak dimiliki oleh seorang anak seusianya—kesadaran bahwa ini bukan pertama kalinya ibunya melupakan kewajibannya.
Lusi terdiam sejenak sebelum akhirnya mengusap rambut Raya dengan lembut.
“Anak baik.”
Namun, di balik kelembutan tangannya, Raya masih mengingat sesuatu. Janji yang sudah lama ia nantikan.
“Tapi, yang penting Minggu depan Mama nggak lupa janji, kan?”
Matanya berbinar, penuh harap.
“Kita semua bakal rayain ulang tahun Raya di villa Papa dekat pantai?”
Lusi tersenyum, mencoba menenangkan.
“Iya, dong, Sayang. Mama janji. Mama nggak bakal lupa. Lagian acara ulang tahun Raya kan bakal berlangsung meriah. Banyak media dan wartawan yang meliput.”
Dari ujung meja, Bumi yang sedang meneguk kopi langsung menghentikan gerakannya. Matanya menatap Lusi dengan sinis.
Pencitraan.
Itulah yang selalu dilakukan Lusi.
Di depan wartawan, di media sosial, di acara-acara besar, ia memainkan peran sebagai istri yang sempurna, ibu yang perhatian. Tapi di balik semua itu? Ia bahkan tak punya waktu untuk keluarganya sendiri.
Bumi menarik napas panjang dan membuangnya kasar.
Raya masih kecil. Ia mungkin senang karena belum mengerti. Tapi Bumi? Ia sudah terlalu lelah menghadapi semua ini.
“Ya sudah, Sayang. Sekarang kamu berangkat sekolah diantar Pak Dias, sekalian Oma pulang ya.”
Ibu Mutia, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya merangkul pundak kecil Raya, menuntunnya keluar menuju mobil Pak Dias. Lusi ikut berjalan keluar, hendak menuju mobilnya sendiri.
Namun, di tengah perjalanan, suara Ibu Mutia yang tenang tapi tegas menghentikan langkahnya.
“Lusi, jangan egois. Dengarkan suamimu. Kalian sudah hidup berkecukupan, untuk apa masih bekerja sebagai model? Sudah cukup. Fokus saja mengurus suami dan anakmu.”
Lusi menoleh, ekspresinya berubah dingin.
“Bu, ini hidupku. Aku tahu apa yang terbaik untukku dan keluargaku. Jadi, Ibu nggak usah ikut campur.”
Tanpa menunggu tanggapan, Lusi membuka pintu mobil dan masuk. Mesin menyala, lalu mobil itu melaju pergi, meninggalkan Ibu Mutia dan Raya yang masih berdiri di samping mobil Pak Dias.
Ibu Mutia hanya bisa menghela napas panjang. Rasa kecewa jelas tergambar di wajahnya.
Dari dalam rumah, Bumi memperhatikan kejadian itu dari jendela. Rahangnya mengeras, napasnya berat.
Ia sudah terlalu lelah berharap Lusi akan berubah.
Sementara itu, di sudut lain halaman, seseorang memperhatikan semua itu dengan penuh perhatian.
Mawar.
Tatapan matanya berbinar, bibirnya melengkung dalam senyum penuh kemenangan.
Lusi yang terus mengabaikan Bumi.
Bumi yang semakin muak dengan Lusi.
Semua berjalan sesuai rencana.
Mawar membalikkan badan, melangkah perlahan kembali ke belakang rumah. Dari lantai dua, Bumi menghilang ke dalam kamarnya.