NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:842
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24•

...Pemanggil Malam Jumat...

Malam itu, jam dinding di ruang tamu rumah kosku berdentang sepuluh kali, mengukuhkan kesunyian yang menggantung tebal. Aroma kopi instan yang kubuat tadi sore masih samar-samar tercium, beradu dengan bau anyir tanah basah yang terbawa angin dari luar. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak genangan di mana-mana dan embun dingin yang merambat masuk lewat celah jendela.

Aku, Bima, seorang mahasiswa tingkat akhir yang terjebak dalam tumpukan skripsi dan revisi yang tak kunjung usai, membiarkan diriku terlarut dalam keheningan yang menyesakkan. Sudah tiga malam ini, tidurku tidak nyenyak. Bayangan-bayangan aneh melintas di pikiran, bisikan-bisikan samar yang tak jelas asalnya, dan yang paling mengganggu, perasaan diawasi. Semuanya dimulai setelah aku tidak sengaja menemukan buku tua itu.

Buku bersampul kulit hitam lusuh itu tergeletak di sudut paling gelap rak buku di perpustakaan kampus. Tak ada judul, tak ada nama penulis. Halamannya menguning, beberapa bahkan sobek di bagian pinggir. Aku tertarik karena desainnya yang aneh, seolah setiap ukiran di sampulnya punya cerita sendiri. Awalnya aku kira itu buku kuno tentang filsafat atau sastra lama, tapi saat kubuka, isinya jauh dari bayanganku.

Rentetan aksara kuno yang tak kuketahui, gambar-gambar aneh mirip mantra, dan petunjuk-petunjuk ritual yang membuat bulu kuduk berdiri. Salah satu bab, yang berjudul "Malam Jumat Kliwon: Gerbang yang Terbuka", menjelaskan secara rinci cara memanggil entitas gaib. Aku tahu itu gila, tapi rasa penasaran menggerogotiku. Aku tidak pernah percaya hal mistis, selalu menganggapnya takhayul belaka. Namun, skripsi yang tak kunjung kelar, tekanan dari dosen, dan rasa putus asa yang menumpuk membuatku berpikir, "Apa salahnya mencoba?" Ini bukan berarti aku percaya sepenuhnya, lebih kepada rasa ingin tahu yang kelewat batas.

"Gila, Bim, lo seriusan mau nyoba itu?" Suara Rama, sahabatku sekaligus teman sekamar, memecah lamunanku. Ia baru saja pulang dari kegiatan malamnya, rambutnya agak basah dan aroma rokok menempel di bajunya. Matanya menatap buku di tanganku dengan campuran jijik dan penasaran.

Aku menutup buku itu buru-buru, menyembunyikannya di bawah tumpukan jurnal. "Nggak, gue cuma baca-baca aja, iseng."

Rama mengangkat alis, tak percaya. "Iseng? Itu buku kayaknya udah bau kuburan, Bim. Lo yakin nggak kenapa-kenapa setelah megang itu?" Dia berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan, mengambil segelas air.

"Nggak kenapa-kenapa, Ram. Lagian, mana mungkin sih hal begituan beneran ada?" Aku mencoba meyakinkan diri sendiri, meskipun jauh di lubuk hati, ada sedikit keraguan yang tumbuh.

Rama mengendikkan bahu. "Terserah lo deh. Tapi gue saranin, mending fokus skripsi aja daripada mikirin hal aneh." Dia kemudian berlalu ke kamarnya.

Malam itu adalah malam Jumat. Dan entah kenapa, petunjuk-petunjuk dalam buku itu terus terngiang di benakku. Rasa penasaran itu terlalu kuat. Aku menunggu Rama terlelap pulas. Setelah yakin dia tidur, aku perlahan bangkit dari kasur, menyalakan senter ponsel, dan mengambil buku itu lagi.

Aku membuka halaman tentang ritual pemanggilan. Ada beberapa syarat, seperti harus di tempat sepi, harus ada persembahan, dan yang paling penting, tidak boleh ragu sedikit pun. Tempat sepi? Kosku ini cukup sunyi. Persembahan? Buku menyebutkan "darah murni" atau "sesuatu yang berharga". Aku tidak akan sampai segila itu memberikan darah. Tapi… "sesuatu yang berharga"? Kulihat jam tangan pemberian almarhum kakekku, tergeletak di nakas. Ini adalah barang paling berharga yang kumiliki.

Dengan tangan sedikit gemetar, aku melangkah ke kamar mandi. Ini adalah satu-satunya tempat yang bisa memberiku privasi penuh tanpa khawatir mengganggu Rama. Aku menutup pintu, menyalakan lilin yang sudah kusiapkan, dan meletakkan jam tangan itu di lantai, di tengah lingkaran yang sudah kugambar pakai arang sesuai petunjuk buku.

Aku mulai membaca mantera. Suaraku berbisik, perlahan menguat. Setiap kata terasa berat di lidah, seolah-olah ada energi tak kasat mata yang mulai berkumpul di sekitarku. Udara di kamar mandi terasa semakin dingin, meskipun tidak ada jendela. Aroma melati yang kuat tiba-tiba menyeruak, bukan dari bunga, melainkan dari udara itu sendiri.

Tiba-tiba, lilin di depanku padam. Gelap total. Jantungku berpacu kencang. Aku mencoba meraih ponselku, tapi tanganku gemetar hebat. Lalu, aku mendengarnya. Bisikan. Bukan bisikan samar lagi, tapi suara-suara lirih yang berulang, seolah memanggil namaku.

"Bima… Bima…"

Aku menelan ludah. Tubuhku kaku. Rasa takut yang murni dan mencekam menyelimutiku. Ini nyata. Apa yang kulakukan ini nyata.

Sebuah bayangan hitam pekat mulai terbentuk di sudut kamar mandi, perlahan membesar, mengisi ruangan. Bentuknya tidak jelas, seperti gumpalan asap tebal yang perlahan memadat. Dari bayangan itu, muncul dua titik merah menyala, seperti mata.

"Kau… telah… memanggilku…" Suara berat, serak, seolah ribuan suara berpadu menjadi satu, menggetarkan seluruh tubuhku.

Aku tidak bisa bicara. Lidahku kelu. Aku hanya bisa terdiam, menyaksikan horor di depanku.

"Apa… yang… kau… inginkan… sebagai… ganti… dari… pemanggilan… ini…?" Suara itu kembali bertanya, nadanya dingin dan menusuk.

Aku teringat skripsiku. "Tolong… tolong selesaikan skripsiku… tolong buat aku lulus…" Ucapku terbata-bata.

Bayangan itu terdiam sesaat. Titik merah di matanya seolah membesar, menatapku tajam. "Harga… nya… sangat… mahal…"

Aku merasa mual. Apa pun, aku hanya ingin semua ini berakhir. "Apa… apa harganya?"

"Jiwa… temanmu…"

Jantungku serasa berhenti berdetak. Rama? Tidak! Itu tidak mungkin! "Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak akan pernah!"

Bayangan itu tertawa. Bukan tawa yang menyenangkan, melainkan tawa dingin yang membuat rambutku merinding. "Terlambat… kau… sudah… memanggilku… Harga… harus… dibayar…"

Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka dengan paksa, menampilkan sosok Rama yang berdiri di sana dengan wajah pucat pasi. Matanya melotot menatapku, lalu beralih ke bayangan hitam di belakangku.

"Bima… apa yang lo lakukan?!" teriak Rama. Suaranya terdengar panik dan ketakutan.

Bayangan itu perlahan berbalik menghadap Rama. Titik merah di matanya menyala lebih terang.

"Jangan! Jangan sentuh dia!" Aku berteriak, mencoba menghalangi, tapi tubuhku seperti terpaku.

Rama terjatuh ke belakang, tubuhnya bergetar hebat. Matanya memandang ke atas, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat. Lalu, perlahan-lahan, matanya mulai kosong, tatapannya hampa. Senyum tipis, dingin, dan mengerikan mulai terbentuk di bibirnya.

"Bima… Bima…" Suara Rama. Bukan lagi suaranya yang familiar, melainkan suara yang dalam, serak, dan penuh kekosongan, persis seperti suara entitas yang baru saja kupanggil.

Aku menatap Rama, yang kini berdiri tegak, matanya yang hampa menatapku dengan senyum mengerikan. Bayangan hitam di sudut kamar mandi itu perlahan menghilang, melebur ke dalam kegelapan. Lilin yang tadinya padam kini menyala kembali, cahayanya berkedip-kedip, menerangi jam tangan pemberian kakekku yang tergeletak di lantai.

Aku merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Bukan dari udara, melainkan dari kesadaran yang baru saja menghantamku. Entitas yang kupanggil… itu bukan entitas dari dunia lain. Entitas itu… sudah ada di dalam Rama. Dia tidak merasuki Rama, dia adalah Rama.

Aku teringat percakapan kami tadi sore. Rama yang tiba-tiba bertanya tentang buku itu, nada suaranya yang aneh, tatapannya yang sulit diartikan. Dia sudah tahu. Dia sudah merencanakan ini.

"Selamat, Bima," suara Rama, suara yang kini jauh lebih dalam dan menyeramkan, "kau telah berhasil memanggilku. Dan kini, kau sudah lulus. Skripsimu… selesai."

Di tangannya, Rama memegang naskah skripsiku. Tulisan di dalamnya sudah rapi, bab-bab yang selama ini buntu tiba-tiba terisi penuh dengan analisis yang brilian. Ini bukan tulisanku. Ini adalah karya entitas yang kini mengambil alih tubuh Rama.

Aku menatap jam tangan kakekku di lantai. "Sesuatu yang berharga." Itu bukan jam tangan itu sendiri. Itu adalah diriku. Keinginanku untuk lulus, keputusasaanku, rasa penasaran yang membutakanku. Semua itu adalah persembahan paling berharga.

Rama… atau apa pun yang kini ada di dalam tubuhnya… tersenyum lagi. Senyum itu tidak menjangkau matanya yang kosong. "Jangan khawatir, Bima. Kau akan segera tahu… bagaimana rasanya menjadi pemanggil… yang dipanggil."

Pintu kamar mandi itu tertutup rapat, bukan karena angin, melainkan karena didorong oleh kekuatan tak terlihat. Aku terperangkap. Terperangkap dengan Rama yang kini menjadi pemanggil, dan aku… aku hanyalah alatnya. Kegelapan merangkulku, bukan kegelapan malam, tapi kegelapan yang lebih dalam, kegelapan yang berasal dari sebuah jiwa yang kini telah sepenuhnya dikuasai.

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!