Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
His Rules
Begitu pintu tertutup, Nicko tetap berdiri di tempatnya.
Rahangnya sedikit mengeras, matanya hanya terpaku pada pintu.
Di baliknya, bayangan Sara berdiri tak bergerak.
Ia menarik napas pendek, lalu memalingkan wajah. Langkahnya berbelok ke rak anggur di sisi barat ruangan, tempat cahaya senja menabrak botol-botol kaca dan memantulkan warna tembaga ke dinding.
Tangannya terulur, memilih sebuah botol tua berwarna pekat, dengan aroma berat. Segelnya ia buka perlahan, lalu ia mengambil sebuah gelas kristal dari atas minibar berlapis marmer.
Tangannya bergetar pelan saat menuangkan cairan tembaga ke dalam gelas kristal. Suara tetes pertama begitu halus tapi cukup mengusiknya. Mengingatkannya bahwa satu-satunya hal yang benar-benar ia inginkan... justru tak bisa ia sentuh.
Sara.
Sudah dua bulan sejak pernikahan itu.
Dua bulan sejak jemari mungil itu menggenggam tangannya di altar dengan mata berkaca, seluruh geraknya kaku seakan dibekukan oleh rasa takut.
Sejak hari itu, ia belajar menahan diri. Menahan banyak hal.
Dan balasannya?
Sara melarikan diri.
Seolah ia adalah monster. Seolah kehadirannya adalah kutukan.
Nicko mendengus pendek, getir. Gelas di tangannya bergetar sedikit saat ia membawanya ke bibir. Ia menyesap pelan, lalu berdiri menghadap jendela besar yang memamerkan Manhattan dengan seluruh ilusi kemewahannya.
Ia ingin membencinya.
Tapi tidak bisa.
Perempuan itu telah mengisi sesuatu dalam dirinya yang bahkan tak pernah ia sadari kosong, hingga akhirnya pergi tanpa izin, tanpa penjelasan, meninggalkan luka yang anehnya... nikmat untuk dirasakan.
Dan kini, setelah beberapa hari bersembunyi darinya, perempuan itu berdiri di ruangannya, dengan wajah pucat dan ketakutan. Bahkan napasnya saja seperti suara alarm yang membangkitkan kegilaan di dalam kepalanya.
Ia ingin menghancurkan rasa takut itu. Dengan caranya.
Tapi ia menahan diri.
Karena terlalu cepat menyentuhnya berarti kehilangan kesempatan untuk mengikatnya lebih dalam.
Ia bukan lelaki biasa. Dan Sara tahu itu.
Nicko menenggak sisa minumannya. Dingin dan membakar, tapi tak sebanding dengan haus yang menggerogotinya tiap malam.
Bukan haus akan tubuh.
Tapi kendali. Atas detak jantungnya. Atas langkah kaki dan pikiran-pikiran Sara yang entah ke mana sejak hari itu. Ia ingin perempuan itu menoleh bukan karena takut... tapi karena tak bisa lari ke mana pun lagi.
Suara ketukan terdengar dari pintu ruangan besarnya.
Langkah-langkah tenang dan presisi memasuki ruangannya.
Matheus.
Satu-satunya orang yang tahu kapan harus bicara... dan kapan harus diam.
Namun Nicko tahu lebih dari siapa pun: Ia tak butuh laporan. Ia tahu ke mana arah langkah Sara. Apa yang dia rencanakan. Dan yang terpenting, bahwa semuanya masih dalam kendalinya.
"Dia akan mencoba kabur," gumamnya. "Perlahan. Dengan cara yang dia pikir cukup cerdas."
Matheus tak merespons. Hanya berdiri tegak, menatap punggung pria itu.
"Tapi dia lupa..." Nicko berbalik. Gelas kristal itu ia letakkan di atas meja. Jemarinya menyapu permukaan marmer seolah sedang meredam amarah. "...aku selalu satu langkah lebih cepat. Bahkan sebelum dia memikirkannya."
Tatapannya menajam namun tanpa emosi.
"Biarkan saja dia mencoba. Biarkan dia berpikir dia punya pilihan, karena saat waktunya tiba..." suaranya menurun menjadi bisikan, "...dia akan sadar, tak ada satu pun pintu yang benar-benar terbuka tanpa aku di baliknya."
Matheus mengamati wajah itu. Ia tahu, kalimat itu bukan retorika. Itu tekad dan obsesi dalam satu tarikan napas.
"Kalau dia jatuh dalam proses itu?" tanya Matheus, hanya ingin mendengar dari mulutnya sendiri.
Nicko menatap lurus. Tidak bergeming.
"Aku akan menangkapnya."
Dan jika ia jatuh ke tangan orang lain?
Kata-kata itu tak perlu diucapkan.
Nicko sudah menoleh kembali ke jendela, dengan Manhattan sebagai latarnya.
"Karena kalau dia jatuh ke tangan orang lain... aku akan menghancurkan semuanya. Kota ini. Duniaku. Dunianya. Dan diriku sendiri."
Hening.
Lalu, langkah Matheus mundur perlahan. Tapi ia tak langsung keluar.
Ia memandangi sosok pria itu.
Matheus tak perlu bertanya. Ia sudah tahu sejak lama.
Sara Velmier bukan sekadar istri. Ia adalah pusat gravitasi. Dan jika pusat itu mencoba menjauh... maka seluruh sistem akan runtuh.
Ada bisik-bisik di kantor. Tentang wanita cantik yang datang bersama Rafael Dornier. Tentang perubahan di wajah Tuan Velmier. Tentang sekretaris yang tampak kesal karena kali ini, wanita itu bukan seperti yang dulu-dulu.
Bagi mereka, itu hanya drama.
Tapi Matheus tahu lebih baik. Yang ia lihat bukan romansa. Tapi strategi dan perang psikologis paling diam-diam yang pernah ia saksikan.
Dan perang ini... belum dimulai.
Ia akhirnya memutar gagang pintu,
Pintu ditutup perlahan.
Dan dunia kembali sunyi.
...----------------...
Beberapa blok dari sana... dunia yang lain tetap berputar.
Tapi tak satu pun benar-benar terasa jauh dari Nicko Armano Velmier.
Bahkan ketika tubuh Sara duduk diam di kursi belakang mobil, pikirannya masih terikat pada ruang yang baru saja ia tinggalkan.
Dan napasnya...masih dibayangi oleh desahan yang menyentuh telinganya terlalu dekat.
Ia menarik napas panjang tapi tidak cukup. Lalu mencoba lagi.
Seolah udara kota ini sudah tercemar oleh nama pria itu.
Mobil kembali melaju, membawa keheningan bersamanya.
Sara bersandar di kursi belakang, menatap keluar jendela.
Rasa berdebar karena pertemuan dengan Nicko tadi masih tersisa di dadanya, tapi ia paksa dirinya untuk perlahan... menarik napas. Dan membiarkan kenyataan baru itu menempel di kulitnya.
Satu hal yang paling ingin ia lakukan sekarang adalah mengalihkan pikirannya.
"Rafael," ucapnya pelan.
Pria itu menoleh cepat lewat spion. "Ya, Nona?"
"Apa bisa kita berhenti sebentar? Di jembatan mana pun yang sepi. Aku hanya ingin melihat sungai."
Rafael tidak banyak bertanya. Ia meminta sopir membelokkan mobil keluar dari jalur utama, menuju sisi kota yang lebih tenang.
Beberapa menit kemudian, mereka berhenti di area dekat Queensboro Bridge, di salah satu jalur pejalan kaki yang jarang dilalui pada jam segini.
Sara turun lebih dulu, mengenakan mantelnya dan melangkah pelan ke sisi pembatas jembatan, menghadap langsung ke Sungai East. Rafael berdiri tak jauh di belakangnya, menjaga jarak, seperti biasa.
Angin dari sungai menerpa wajahnya. Sedikit dingin, sedikit asin. Tapi juga segar. Sara memejamkan mata sejenak. Bunyi gemuruh lalu lintas di kejauhan membaur dengan dentingan samar logam jembatan. Langit Manhattan mulai berubah warna jingga keabu-abuan, dengan semburat ungu di sisi paling jauh.
Di antara semua kota yang pernah ia singgahi, hanya dua yang benar-benar terasa menyentuh, Paris, tempatnya tumbuh dan membangun. Dan Manhattan, tempat impiannya berkembang.
Ia menyukai tempat ini.
Ia menyukai ritmenya, gayanya, bahkan aromanya. Tapi ia datang ke sini dengan cara yang salah. Dan itu... membebani segalanya.
***
Satu jam berlalu.
Angin mulai menusuk mantel tipisnya.
"Nona," suara Rafael terdengar pelan, tapi tegas. "Sebaiknya kita kembali. Menurut ramalan cuaca, suhu akan turun drastis malam ini. Saya khawatir Nona jatuh sakit."
Sara menoleh pelan. "Baik. Kita pulang."
Setelah Rafael membukakan pintu, Sara naik kembali ke dalam mobil. Tangannya dingin. Bukan hanya karena udara malam, tapi karena semua yang tertinggal di ruang kerja Nicko masih melekat dalam napasnya.
Tak ada satu pun kata dalam perjalanan pulang. Hanya suara mesin, dan lampu-lampu kota yang berganti cepat di jendela seperti kilasan kenangan yang enggan dibaca ulang.
Mobil akhirnya berhenti di area basement yang tenang dan dingin.
Rafael keluar dan membukakan pintu, tapi Sara hanya mengangguk pelan, menandakan bahwa ia bisa masuk sendiri. Tanpa banyak kata, ia melangkah menuju lift pribadi yang langsung terhubung ke penthouse.
Ting.
Pintu lift terbuka.
Langit telah gelap saat Sara melangkah masuk ke ruang utama penthouse. Lampu gantung kristal menggantung anggun di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya hangat keemasan yang menari pelan di dinding marmer.
Tapi bukan kemewahan itu yang menarik perhatiannya.
Di sudut ruangan, di salah satu kursi kulit tua yang menghadap jendela besar, duduk seorang pria tua, tenang, seperti batu karang di tengah badai. Tangannya bertumpu pada kepala tongkat perak, sementara matanya mengarah ke lanskap kota yang kini hanya tinggal bayangan lampu-redup dan jauh.
Alphonse Raynhard Velmier.
Langkah Sara terhenti. Napasnya tercekat sejenak, sebelum akhirnya mengalir perlahan di dada yang mengencang. Pria itu menoleh. Tatapan mereka bertemu-bukan tajam, bukan pula lembut. Tapi tajam karena kelelahan.
"Selamat malam, Tuan Raynhard," ucap Sara pelan. Tak ada embel-embel keluarga. Hanya nama.
Raynhard mengangguk tipis. Ia lalu menunjuk kursi di hadapannya.
"Duduklah. Aku tak akan lama."
Sara menurut. Meski tubuhnya tegang, wajahnya tetap terjaga-seperti topeng yang sudah terlatih menahan badai.
"Aku tahu kedatanganku tak kau harapkan," ucap Raynhard pelan. "Tapi aku tak datang sebagai kakek yang ingin membela cucunya. Aku datang sebagai lelaki tua... yang tak tahu lagi bagaimana menghadapi warisannya sendiri."
Sara menunduk. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya, bukan rasa takut, tapi semacam sedih yang terlalu akrab untuk dihindari.
Raynhard menghela napas. Panjang dan tampak lelah.
"Waktu Velmier membawamu ke rumah kami... aku sempat berharap. Aku kira dia sudah berubah. Aku kira kau telah melembutkannya. Tapi ternyata, dia masih lelaki yang sama. Terlalu mirip dengan ayahnya."
Sara menoleh pelan.
"Dominan. Sulit ditebak. Terlalu pandai menyembunyikan luka. Dan saat ibunya meninggalkan mereka, aku pikir itu cukup untuk membentuk simpati dalam dirinya. Tapi yang terjadi sebaliknya, dia justru membangun dinding, bukan pintu."
Ia berhenti sejenak. Lalu menatap Sara langsung.
"Dan kini... dia menyeretmu ke dalam ruang itu, dan aku tak bisa menghentikannya Sara."
Sara ingin menjawab. Tapi yang keluar hanya bisikan, samar dan nyaris patah:
"Saya tak tahu harus bagaimana..."
Raynhard mengangguk. "Memang tak ada yang tahu. Kau tidak harus memutuskan sekarang. Tapi satu hal pasti, jangan biarkan dirimu terbunuh dalam ketidakpastian. Aku tidak datang untuk meminta kau bertahan demi Velmier. Tidak."
Suara itu mulai menurun-lebih berat, lebih tajam, namun bukan marah. Lebih seperti penyesalan yang telah lama ia telan sendiri.
"Aku tahu rasanya... mencintai dengan terpaksa. Bertahan karena tak tahu harus ke mana. Memaafkan karena tak punya pilihan lain. Jangan jalani hidup seperti itu, Sara. Jika rumah ini terasa seperti penjara, maka carilah celah. Meskipun kecil untuk tetap bernapas."
Sara mengerjap pelan. Genggamannya di lipatan coatnya semakin erat.
"Kau lebih dari sekadar obsesi cucuku. Dan ia tahu itu. Tapi dia tidak tahu caranya mencintai... tanpa mencengkeram. Dia mencintaimu, ya. Tapi cintanya menyakitkan, karena dia belum sembuh dari luka-lukanya sendiri."
Raynhard bangkit perlahan, tongkatnya mengetuk lembut lantai marmer.
Tatapannya kembali ke jendela-ke bayangan dirinya yang buram.
"Jangan terburu-buru mengambil keputusan, apalagi yang bisa memadamkan cahaya di matamu. Hidupmu bukan milik Velmier. Bukan milik Nicko. Itu milikmu. Kau berhak memilih."
Ia melangkah menuju pintu. Tapi sebelum menghilang, ia menoleh setengah. Tatapannya tak menusuk tapi tatapan yang jujur.
"Aku tak datang untuk menyelamatkanmu. Tapi aku ingin kau tahu... kau masih punya pilihan."
Ia membuka pintu, tapi kemudian, ia bicara lagi. Kali ini tanpa menoleh.
"Jangan biarkan luka-lukamu membuatmu lupa bahwa kau berhak bahagia, Sara. Bahkan jika kebahagiaan itu belum kau temukan sekarang... tetaplah hidup dan bertahan. Temukan caramu, meski itu berarti berjalan dalam bayangan cucuku. Karena suatu hari nanti, kau akan tahu kapan harus berhenti... dan ke mana harus melangkah."
Klik.
Pintu tertutup perlahan.
Dan penthouse kembali sunyi. Tapi tidak lagi hampa.
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi