NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 Terperangkap Selamanya

“Aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu, jika aku hanya menebak saja. Selama ini kau tidak pernah mengatakan padaku tentang ibu mertuamu, dan aku pikir kau menghubungiku karena ini.”

“Kau tidak sedang membohongiku, ‘kan?”

“Untuk apa aku melakukannya? Lagipula, aku tidak mungkin mengenal dia karena setiap hari aku hanya akan berada di belakang meja bar. Bukan bersosialisasi dengan miliarder.”

Eve mengangguk dan kembali percaya. Dia merebahkan tubuhnya dan menutupi wajahnya dengan selimut. “Kau tahu, pernikahan ini hanya sebatas kontrak kerja. Kita juga sudah berjanji untuk tidak saling bersentuhan. Tapi—“

“Dia menyentuhmu? Apa yang sudah dia lakukan padamu?” Nada Darren berubah kesal, seperti orang yang tidak sabaran.

“Iya, dia … tidak, tidak. Maksudku, bukan menyentuh seperti yang kau pikirkan saat ini. Dia hanya … ya, dia menc!umku. Darren, jangan berpikir jika aku mengatakan ini karena aku ingin menunjukkannya padamu, tidak. Aku hanya—“

“Kau mulai mencintainya?”

“Tidak, tidak. Aku … aku hanya berpikir, bagaimana jika aku—“

“Tidak, Eve! Kau tidak boleh terjebak dengan pria itu.”

Sejak tadi Darren selalu saja memotong perkataannya, tapi apa yang dia ucapkan memang itu yang ingin ditanyakannya. “Kenapa kau mengatakan itu padaku?”

“Kau tidak tau, Eve. Percayalah padaku, jangan sampai kau terjebak dengannya. Jangan biarkan dia menyentuhmu lagi, atau kau akan terperangkap selamanya.”

“Kalau begitu katakan apa yang tidak aku tahu, Darren! Aku bertanya padamu, dan kau mengatakan jika tidak mengenalnya, tapi kau berkata seolah-olah kau mengenal dia dengan baik.”

“Kau hanya perlu percaya padaku, dan ingat apa yang aku katakan. Jangan pernah membiarkan dia menyentuhmu lagi, dan jangan sampai kau terperangkap dengannya lebih jauh lagi. Hanya lima bulan, setelah itu lepaskan dirimu darinya. Kau tidak mengerti, dengan siapa kau menjalin hubungan saat ini.”

Darren hanya mengatakan itu saja, dan setelahnya dia memutus sambungan sepihak. Eve baru saja hendak membuka mulut. Kesal sekali rasanya, sampai Eve meremat ponselnya sendiri dan membantingnya ke atas kasur dengan kasar.

“Lihat, kan, apa maksudnya seperti itu? Kenapa semua orang berubah menyebalkan saat aku mengenal mereka? Ish …!”

Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Satu pesan dari Darren: "Temui aku besok sore."

Eve mendengus. “Hebat. Sudah buat aku bingung, lalu menyuruhku menunggu besok.” Ia melempar ponsel ke kasur. “Dasar pria aneh.”

Baru setelah itu Eve bisa tertidur pulas, tidak peduli Alex akan kembali ke kamar atau tidak. sekalipun dia kembali ke kamar, apa yang harus dia takutkan? Dia impoten, tidak mungkin akan tiba-tiba menegak dengan ajaib.

Keesokan harinya, Eve terbangun dan mendapati kamar masih kosong. Saat ia keluar, Alex sudah duduk di meja makan bersama ibunya.

“Tidurmu sepertinya nyenyak sekali, Eve.” Laureen menyambutnya hangat dan menuangkan susu ke gelas Eve.

“Maaf, apa aku membuat kalian menunggu?” tanya Eve, kikuk.

“Tidak, sayang. Duduklah. Oh ya, apa kau akan pulang malam nanti?”

“Tidak. Memangnya kenapa, Bu?”

“Aku akan memasak sesuatu yang spesial. Pastikan kau pulang sebelum makan malam, ya.”

Eve mengangguk, meski dalam hatinya bingung. Ia sudah janji menemui Darren. Tapi ucapan Laureen terdengar begitu tulus. Ia tak sanggup menolaknya. Mungkin ia bisa menyempatkan sebentar sebelum pulang.

Yang membuatnya lebih segan adalah—Alex tidak berkata apa pun. Tak sepatah kata pun padanya. Hanya tatapan singkat, datar, dan kemudian ... hening lagi.

Eve menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari biasanya hari ini. Pikirannya terus dihantui ucapan Darren semalam. Ia memutuskan untuk menemuinya—tanpa sepengetahuan Alex. Lagi pula, itu hanya sebentar.

Kali ini Darren tidak memintanya datang ke bar, melainkan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Saat tiba, pria itu sudah duduk, menunggunya, dengan dua gelas minuman dingin di meja.

“Darren, kau sudah lama menunggu?” sapanya sambil menarik kursi.

“Baru saja. Duduklah,” Darren menunjuk gelas di depannya. “Aku pesankan untukmu.”

“Terima kasih. Tapi, aku tidak bisa tenang sebelum kau menjelaskan maksud ucapanmu kemarin. Kau benar-benar membuatku gelisah.”

“Tenang dulu. Minum saja dulu,” elaknya.

Eve menarik jus jeruk itu, meneguk seperlunya, lalu menatap Darren lurus-lurus. “Aku tidak mau bertele-tele. Katakan sekarang. Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya kau tahu tentang Alex?”

Darren diam sesaat. Jemarinya mengetuk gelasnya pelan. “Apa kau benar-benar tidak mengerti maksudku? Aku hanya tak ingin kau mengulangi kesalahan yang sama. Alex ... pria seperti dia tidak akan pernah serius. Bahkan jika dia menc!um atau menyentuhmu, itu bukan berarti apa-apa. Kau harus mundur sebelum jatuh terlalu dalam.”

“Darren, jawab aku dengan jujur. Kau mengenalnya, bukan?”

“Aku—”

Nada suaranya terputus oleh dering ponsel yang ia letakkan di meja. Darren melihat layar sebentar, lalu berdiri tergesa.

“Maaf, ada masalah di bar. Aku harus pergi sekarang.”

“Darren, kau belum menjawabku!”

“Beberapa pertanyaan memang tak perlu dijawab.” Ia menepuk bahu Eve ringan dan berlalu begitu saja.

Eve terdiam, memandangi punggung pria itu sampai hilang di balik pintu. “Apa-apaan, sih …,” desisnya kesal.

Ia mengambil minumannya dan meneguk habis tanpa peduli lagi. Kepalanya mendadak terasa berat. Akhir-akhir ini ia memang sering pusing, mungkin karena semua ini sudah mengacaukan pikirannya lebih dari yang ia sadari.

Sementara itu, di rumah, suasana mulai canggung.

Laureen tampak gelisah, beberapa kali melirik ke arah pintu. “Alex, sudah malam. Apa tidak sebaiknya kau menjemput istrimu?”

“Dia bilang lebih suka berangkat dan pulang sendiri,” sahut Alex ringan, menyendok sup jamur yang mengepul hangat. “Dia pasti segera tiba.”

“Tapi, kau benar-benar akan makan duluan?” tegur ibunya.

“Aku hanya mencicipi. Sudah lama aku tidak makan masakanmu,” gumam Alex sebelum menyendok lagi.

Namun, satu jam berlalu. Lalu dua. Malam semakin larut—dan Eve belum juga pulang.

Laureen menatap putranya penuh isyarat. “Alex, sekarang kau—”

“Aku akan mencarinya,” potong Alex cepat, lalu berdiri dan meraih kunci mobilnya.

Ia menyusuri kota dalam diam. Tempat pertama yang ia tuju adalah toko roti tempat Eve biasa bekerja. Tapi saat tiba di sana, lampu sudah padam. Toko tutup. Ia menghubungi ponsel Eve—tidak aktif. Tidak seperti biasanya.

Satu-satunya kemungkinan lain adalah panti asuhan.

Alex sempat ragu. Ia menatap gerbang bangunan itu dengan napas berat, sebelum akhirnya masuk. Pintu terbuka dan di dalamnya hanya ada dua orang—Shania dan seorang wanita paruh baya yang membuat napas Alex nyaris terhenti: Liana.

“Eve ada di sini?” tanyanya cepat.

Shania menoleh terkejut. “Bukankah ... dia sudah pulang lebih dulu?”

Liana yang sedang duduk langsung berdiri tertatih. “Alex? Itu kau?”

Tangannya menggapai udara, mencoba meraba ... mencari wajah yang tak bisa dilihatnya.

Alex mundur setapak.

“Di mana Eve?” ulangnya dingin, berusaha menghindar dari sentuhan perempuan yang paling ingin ia lupakan.

“Dia bilang ada urusan tadi, dan pulang lebih dulu ....” Suara Shania terdengar bingung.

“Alex?” panggil Liana pelan. “Alex, kau di sana?”

Alex hanya menatapnya sejenak, tanpa menjawab. Lalu ia berbalik, keluar dari bangunan itu tanpa suara.

Eve tidak di panti. Tidak di toko. Dan tidak pulang ke rumah.

Jantung Alex berdetak sedikit lebih cepat sekarang.

Ke mana dia?

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!