Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Setelah beberapa menit, Naya kembali ke meja makan. Langkahnya terasa berat, kepalanya penuh dengan pengakuan Arya yang masih menggema jelas.
Namun alis Naya langsung terangkat sedikit saat melihat Arya sudah duduk santai di kursinya, seperti tak terjadi apa pun. Ia tampak tenang, bahkan sedang mengunyah pisang goreng dengan santai, lengkap dengan senyum tipis yang entah kenapa terasa seperti tameng.
Naya menarik kursi dan duduk perlahan, mencoba sebiasa mungkin. Tapi ada kegugupan yang tidak bisa dia sembunyikan, bahkan Sarah pun sempat meliriknya aneh.
Alvan menatap Naya sekilas, lalu berkata datar,
"Kenapa lama sekali ke toiletnya?"
Ia menyuap potongan roti bakar ke mulutnya sebelum melanjutkan,
"Nonton konser?"
Sarah spontan tersedak minuman dan menoleh cepat ke arah Alvan,
"Pak... konser di toilet? Itu maksudnya—"
"Sarkas, Sar," potong Naya cepat, suaranya datar, matanya menghindari kontak langsung dengan siapa pun.
"Maaf ya," lanjut Naya sambil mengambil gelas jusnya, "tadi ada antrean panjang."
Alvan menyipitkan matanya.
"Antrean... atau obrolan yang panjang?"
Naya berhenti sejenak, tangannya menggenggam gelas lebih erat.
"Terserah kamu mau mikir apa."
Arya hanya tertawa kecil tanpa menoleh.
"Dari tadi rame banget ya... padahal yang dibahas cuma toilet."
Suasana meja mendadak senyap. Sarah menatap ketiganya bergantian, lalu mencoba mencairkan suasana.
"Oke deh... hari masih pagi, kita jangan drama dulu. Yuk siap-siap, hari ini jadwal kita ke Ubud kan? Siapa tau ada ketenangan di antara para mantan mahasiswa galau ini."
Alvan bangkit duluan, meraih kunci mobil.
"Tenang, yang penting gak ada yang salah dimobil. Kalau ada yang tiba-tiba minta duduk sendiri, kasih tau dari awal, jangan pas udah di jalan."
Naya hanya diam. Napasnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena perasaan bersalah, marah, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Ia tahu jelas—sindiran Alvan tadi bukan sekadar candaan. Itu bentuk rasa tak percaya. Bentuk... kekecewaan.
Tapi sebelum siapa pun sempat bicara lagi...
Dari kejauhan, di balik pilar besar restoran hotel yang setengah tertutup oleh tanaman rambat, seseorang tengah berdiri diam. Ia mengenakan jaket hitam dengan hoodie ditarik rapat, dan topi hitam yang hampir sepenuhnya menutupi wajahnya.
Tangan kanannya memegang ponsel.
Jari-jari kurus itu dengan lincah menekan tombol kamera.
📸 Cekrek.
Foto Naya dan Alvan yang duduk saling berjauhan.
📸 Cekrek.
Foto ekspresi Arya yang diam-diam memandangi Naya.
📸 Cekrek.
Foto Sarah yang tampak mencurigai sesuatu.
Sosok itu tidak bergerak banyak, hanya sesekali bergeser pelan, lalu kembali menatap ke layar ponselnya. Ia lalu menekan sesuatu di layar—dan mengirimkan hasil foto-foto itu ke sebuah kontak bernama:
🕵️♂️ "M"
Beberapa detik kemudian... balasan masuk.
📩 "Bagus. Terus pantau. Hari kedua harus mulai dijalankan sesuai rencana."
📩 "Jangan sampai mereka tahu."
Orang itu tersenyum kecil, senyum yang mengandung sesuatu yang... tidak beres.
Sementara di dalam, Naya akhirnya berdiri.
"Aku ke kamar dulu, mau siap-siap ganti baju."
Sarah ikut berdiri.
"Aku temenin deh."
Alvan hanya mengangguk, tapi matanya mengikuti mereka sampai menghilang dari pandangan. Arya tetap duduk, tapi dalam hati, ia merasa sesuatu mulai berubah.
---
Sementara itu di parkiran hotel, seseorang menerima telepon.
Pria dengan hoodie hitam itu kini membuka sebagian topinya, menampakkan sedikit wajahnya yang penuh luka bekas lama—dan sorot mata tajam yang tak asing. Wajah yang jika diperhatikan lebih lama, ada kemiripan... dengan Bu Mita.
📞 “Halo,”
💬 “Kamu sudah kirim semua fotonya?” suara Bu Mita di seberang telepon terdengar penuh kendali.
📞 “Sudah. Mereka benar-benar polos. Anak tiri kamu masih jadi perempuan naif yang gampang ditipu.”
💬 “Bagus. Hari ketiga, kamu harus mulai jalankan rencana kedua. Incar ruang privat. Kalau bisa, buat Naya dan Alvan terlihat seperti pasangan yang gagal. Kita butuh bukti bahwa pernikahan mereka adalah kebohongan.”
📞 “Dan kalau mereka benar-benar jatuh cinta?”
💬 Suara Bu Mita menjadi dingin. “Pisahkan. Pakai apa pun. kalau perlu kita gunakan temannya sebagai alat "
📞 “Aku mengerti.”
___
Di ruang kerja yang kini seperti kerajaan kecil miliknya, Bu Mita berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun tidur satin berwarna merah anggur. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya dipoles dengan riasan tipis, tapi sorot matanya tajam dan penuh ambisi.
Ia menyeringai menatap pantulan dirinya sendiri.
> “Naya… Naya… Kamu pikir kamu sudah menang hanya karena sekarang menyandang status istri dari Alvan?”
“Kamu pikir cinta saja bisa membuatmu bertahan di rumah ini? Dunia ini kejam, Sayang... dan kamu belum apa-apa dibanding aku.”
Bu Mita tertawa pelan, seperti seseorang yang tengah memainkan catur dengan strategi licik.
Lalu ia duduk di meja rias, membuka sebuah laci rahasia dan mengeluarkan sebuah amplop besar berisi foto-foto dan salinan dokumen rahasia.
Satu per satu ia lemparkan ke meja.
– Foto pernikahan Alvan dan Naya.
– Foto-foto Naya di kampus, di hotel, bahkan saat sedang tertawa bersama Arya.
– Sebuah dokumen legal: Surat Kepemilikan Saham atas nama Ibu Kandung Naya.
“Semua ini akan jadi senjataku. Semua. Termasuk fakta bahwa kau adalah pewaris dari wanita yang dulu ingin aku lenyapkan dari hidup Firman…”
Ia mencengkeram kertas itu dengan tangan gemetar karena amarah.
“Dan kini anaknya kembali, menuntut tempat yang seharusnya sudah kubuang jauh-jauh!”
Bu Mita berdiri, mendekat ke jendela, menatap malam yang gelap di luar.
“Kau ingin bermain bersih, Naya? Sayangnya aku bukan wanita yang main pakai hati... dan kamu terlalu lambat menyadarinya.”
Lalu, ia meraih ponsel dan menekan nomor cepat.
📞 “Besok. Lakukan sesuai rencana kedua. Buat semua jadi bukti bahwa Naya bukan wanita yang pantas berdiri di sisi Alvan... dan bukan pula anak yang layak bagi Firman.”
📞 "Ingat, target utamanya bukan hanya dia. Tapi juga… rasa percaya di sekelilingnya."
📞 "Buat dia hancur. Perlahan... tapi pasti."
Klik.
Telepon dimatikan. Bu Mita kembali duduk dan menyeringai.
Di balik elegannya gaun dan rumah mewah itu—tersimpan ambisi seorang wanita yang tak pernah puas... dan tak segan menghancurkan siapa pun yang menghalangi.
___
Matahari Bali menyapa dengan hangat. Suara ombak terdengar bersahutan dengan tawa wisatawan. Tapi di antara empat orang yang tengah keliling Bali hari itu, hanya Sarah yang benar-benar terlihat menikmati suasana.
Mobil sewaan melaju menyusuri jalanan Ubud yang asri. Pepohonan hijau melambai, sawah terhampar seperti lukisan. Tapi di kursi tengah, Naya menatap keluar jendela dengan mata kosong. Di sebelahnya, Arya hanya diam, sesekali mencuri pandang dengan gelisah.
Di kursi depan, Sarah terus mencoba mencairkan suasana.
“Ada yang pengen ke Lempuyang? Itu loh, yang ada gapura kayak di surga.”
Tak ada jawaban.
Sarah melirik ke kaca spion, menyadari ketegangan yang makin kental.
Alvan, yang menyetir, akhirnya ikut bicara.
“Kita ke Tanah Lot dulu. Setelah itu bebas. Mau foto silakan, mau diem juga gak apa-apa.”
Naya menarik napas. Pengakuan Arya di toilet kemarin masih menempel di benaknya seperti noda yang tak bisa hilang.
> "Gue suka sama lo, Nay."
Kata-kata itu kembali terputar di kepalanya. Ia bukan anak kecil. Ia tahu arti tatapan Arya selama ini. Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa saat semuanya sudah serumit ini?
---
Di Tanah Lot – 11.30 Siang
Orang-orang sibuk selfie dengan latar pura megah di tengah laut.
Sarah memaksa Naya untuk ikut berfoto, tapi Naya hanya tersenyum tipis.
“Gue capek. Lo aja, Sar.”
Alvan yang berdiri beberapa meter dari mereka tampak diam. Dia bukan tidak sadar akan perubahan sikap Naya. Tapi ia juga tahu, kalau terus menekan, semuanya bisa pecah.
Arya mencoba bicara:
“Nay... lo butuh air minum?”
Naya mengangguk tanpa menatapnya.
Saat Arya pergi mengambil minuman, Sarah mendekat pelan.
“Lo kelihatan... gak tenang. Arya ngomong apa sih kemarin?”
Naya hanya diam beberapa detik.
“Dia bilang dia suka sama gue.”
Sarah melongo.
“Lo becanda kan?”
Naya menggeleng.
“Dia bilang itu pas kami ketemu di depan toilet. Gue kaget, Sar. Gue gak tau harus jawab apa.”
Sarah menghela napas, lalu duduk di sampingnya.
“Dia butuh waktu... lo juga. Tapi lo udah nikah, Nay. Meskipun lo nikah karena paksaan, tetap aja, situasi lo udah beda.”
Naya menunduk.
“Gue cuma pengen liburan ini bikin gue lupa semuanya... Tapi sekarang malah makin kacau.”
---
Di Mobil – Pulang ke Hotel
Perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya.
Tidak ada yang berbicara.
Sarah sibuk dengan ponselnya, Arya menatap ke luar jendela, dan Naya bersandar ke sisi jendela dengan mata terpejam. Tapi Alvan di balik kemudi, mencuri pandang ke kaca spion. Dia melihat bayangan Naya yang tidak bisa tenang.
"Apa aku bukan masalah dia satu-satunya?"
"Atau... justru aku bukan siapa-siapa di matanya?"
Mobil berhenti di depan hotel.
Alvan membuka pintu dan berkata datar,
“Besok pagi kita pulang. Malam ini kalian bebas.”
🍒🍒🍒