Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Posesif
"Siap, Rey. Percayakan sama gue."
Reyhan menutup telepon, napasnya berat. Ia kembali melangkah masuk ke kamar, melihat Adelia yang sudah kembali terlelap dengan mata sembab.
Ia duduk di samping istrinya, menyentuh rambut Adelia dengan hati-hati.
‘Maafkan aku, Del … aku bahkan nggak bisa melindungi kalian.’
Reyhan mengecup pelan kening Adelia, lalu bergumam lirih, "Kali ini, biarkan aku yang urus semuanya."
Pagi itu suasana rumah Reyhan terasa hampa dan dingin. Di ruang tamu, Adelia duduk memeluk bantal kecil dengan pandangan kosong. Reyhan berdiri tak jauh darinya, bersandar di kusen jendela dengan wajah keras.
"Del, ada yyang harus kita bicarakan," ucap Reyhan dingin.
"Apa lagi yang mau kamu tanyakan? Kamu udah puas semalam," jawab Adelia lirih, suaranya pecah.
Reyhan menarik napas panjang, mencoba menahan emosi yang kembali mendidih. "Aku masih belum yakin dengan semua ceritamu. Terlalu banyak hal yang nggak masuk akal."
Sebelum Adelia sempat membalas, suara bel rumah berbunyi keras. Reyhan menoleh ke arah pintu dengan alis mengerut.
"Siapa lagi pagi-pagi ke sini," gumamnya curiga.
"Aku yang buka pintu." Adelia berdiri pelan, tapi Reyhan menahan lengannya.
"Duduk." Perintah Reyhan singkat. Ia sendiri melangkah menuju pintu, membuka dengan cepat.
Di depan sana berdiri seorang pria tinggi dengan setelan rapi, wajah tampan dengan aura tenang namun jelas terlihat gelisah.
"Pagi ... Delia ada di dalam?" tanya Vincent sopan.
Reyhan menyipitkan mata, ekspresinya berubah penuh kewaspadaan. "Siapa kamu?"
"Vincent. Teman lama Adelia. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."
"Teman lama?!" Reyhan mengulang kata-kata itu dengan nada mencemooh. "Beraninya kamu datang ke sini mencari istri orang."
Vincent terdiam sejenak, berusaha tetap tenang. "Maaf. Aku nggak tahu kalau Anda suaminya karena beberapa hari Adelia tinggal sendirian. Aku hanya khawatir karena dia pernah mengalami hal buruk di Singapura."
"Keluar!" Suara Reyhan meninggi. "Aku nggak peduli siapa kamu atau apa alasanmu. Kalau sekali lagi aku lihat kamu muncul di sini, jangan salahkan aku kalau harus pakai cara lain untuk mengusirmu."
Adelia tiba-tiba muncul di belakang Reyhan. "Reyhan, dia nggak ada maksud buruk."
"Del, jangan ikut campur. Ini urusan laki-laki." Reyhan menatap tajam ke arah Vincent. "Pergi sebelum aku kehilangan sabar."
Vincent menarik napas panjang. "Aku hanya ingin memastikan dia aman. Itu saja. Tapi kalau memang ini yang Anda inginkan, ok."
Dengan langkah tenang tapi wajah tegang, Vincent melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Reyhan membanting pintu keras-keras hingga membuat Adelia terlonjak.
"Jadi dia teman lama yang selama ini kamu sembunyikan?!" bentak Reyhan, matanya menatap tajam.
"Dia cuma ingin memastikan aku baik-baik saja! Dia bukan siapa-siapa, Rey." Adelia berusaha menjelaskan.
"Del, jangan pernah lagi biarkan dia mendekatimu. Aku nggak peduli seberapa baik dia di masa lalu. Sekarang, kamu milikku. Hanya milikku."
Reyhan mendekat, menangkup wajah Adelia dengan kasar, matanya berapi-api. "Aku nggak mau ada satu pun laki-laki mendekati kamu, Del. Termasuk dia."
Adelia menepis tangan Reyhan dengan cepat. Matanya yang sembab kini memantulkan kemarahan yang sudah ia tahan selama ini.
"Terus kamu boleh dekatin cewek lain bahkan Emma mantanmu sendiri? Sedangkan aku nggak boleh?" suaranya bergetar, tapi penuh keberanian.
Reyhan terdiam sejenak, kaget mendengar perlawanan itu. "Ini beda!" bentaknya keras. "Emma nggak pernah aku undang masuk ke rumah ini, nggak pernah aku beri kesempatan untuk mendekatiku seperti kamu dengan laki-laki itu!"
"Dari dulu semua selalu tentang kamu, Rey! Tentang emosi kamu, tentang rasa cemburu kamu, tentang semua curiga kamu. Tapi pernah nggak kamu pikirkan sedikit perasaanku sebagai istrimu?!" Adelia menatap tajam, air mata berderai tanpa ia sadari.
Reyhan mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. "Kamu nggak tahu apa yang aku lihat, Del! Foto-foto itu cukup jadi bukti untukku."
Adelia menyeka air matanya dengan kasar. "Dan kamu nggak pernah memberi kesempatan aku untuk menjelaskan! Bahkan sampai sekarang pun kamu terus memperlakukanku seperti penjahat."
"Karena kamu nggak pernah jujur sepenuhnya!" Reyhan menggeram, menunduk sedikit hingga hidungnya hampir menyentuh wajah Adelia.
Nafasnya panas, matanya gelap penuh api kemarahan dan rasa cemburu.
"Aku udah jujur!" jerit Adelia, suaranya pecah. "Kamu yang selalu memilih percaya pada semua orang selain aku!"
Keheningan menyesakkan memenuhi ruangan. Keduanya saling tatap dengan dada yang naik turun cepat. Amarah dan rasa sakit bercampur jadi satu hingga membentuk jarak yang kian lebar.
Akhirnya, Reyhan membalikkan tubuhnya dengan kasar. "Siap-siap. Kita berangkat ke kantor."
Adelia menggigit bibir bawahnya, tapi ia tetap diam. Ia berjalan menuju kamar mandi tanpa menatap Reyhan sedikit pun.
Setiba di mobil yang sama. Suasana terasa sangat mencekam. Reyhan menyetir dengan ekspresi dingin, rahangnya mengeras, tangan kanannya menggenggam setir kuat-kuat.
Di kursi penumpang, Adelia duduk dengan kepala menoleh ke jendela, wajahnya terlihat pucat dengan mata yang masih sembab.
"Kamu pikir aku supirmu? Main duduk di belakang begitu," kesal Reyhan dengan menatap tajam dari spion mobil.
Adelia tidak menyaut. Namun, berjalan keluar dengan membanting pintu mobil keras. Ia duduk di depan selayaknya seorang istri.
Tak ada kata-kata yang terucap. Hanya suara mesin mobil dan dentuman musik pelan dari radio yang sesekali pecah oleh hembusan napas berat Reyhan.
Setiap kali pandangan Reyhan melirik ke Adelia, rasa sesak itu kembali menyerangnya. Sementara Adelia tak berani sedikit pun menoleh, takut jika air matanya jatuh lagi di hadapan Reyhan.
Mereka tiba di depan kantor Jonathan Group.
"Turun," ucap Reyhan datar.
Adelia mengangguk tanpa suara, meraih tasnya dan membuka pintu mobil. Ia melangkah masuk ke lobi kantor tanpa sekali pun menoleh ke belakang.
Reyhan memandang punggung istrinya yang semakin menjauh, rahangnya semakin mengeras.
Di sudut lain kantor, Reno sedang berdiri sambil melihat ke arah Adelia yang baru masuk. Ia tersenyum samar, tapi di matanya ada rasa penasaran yang belum padam.
'Kenapa dia terlihat begitu murung? Apa karena suaminya lagi-lagi membuatnya menangis?' batinnya, tangannya mengepal pelan.
Reno mendekat. "Del."
"Jangan bicara apapun padaku." Adelia melirik tajam.
"Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua?" Reno bertanya dalam keheranan.
"Del, tunggu." Reno menahan tiba-tiba.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Reno lirih, tapi cukup membuat beberapa staf yang lewat melirik penasaran.
Adelia buru-buru menarik tangannya. "Reno, jangan begini. Kita di kantor. Dan aku nggak mau orang-orang salah paham. Apalagi Reyhan."
"Aku nggak peduli mereka mau ngomong apa," bisik Reno, suaranya berat. "Kamu nggak harus pura-pura kuat di depanku, Del. Kalau abangku itu nggak bisa jaga kamu, biar aku yang jaga."
Adelia menatap Reno tajam. "Jangan bicara sembarangan! Kita nggak punya hubungan apa-apa lagi. Dan kamu itu adik kandung Reyhan! Berhentilah membuat drama atas hidupku, Ren."
Reno menghela napas panjang, tapi tatapannya tetap tak mau lepas dari wajah Adelia yang pucat. "Tapi kamu tetap wanita yang pernah aku sayang. Kita pernah bersama, bagian dari diriku nggak bisa diem aja lihat kamu kayak gini."
Adelia hendak membuka mulut untuk membalas, tapi tiba-tiba sebuah suara dingin memotong suasana.
"Berani sekali kamu sentuh istri abangmu sendiri."