NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Dua Puluh Empat

***

Langit senja masih menyisakan semburat orange keemasan saat karyawan-karyawan mulai keluar dari gedung perusahaan. Suara derap langkah, sapaan perpisahan, dan deru kendaraan memenuhi suasana pulang kerja.

Serena berjalan pelan menuruni tangga lobby, jemarinya sibuk membuka aplikasi ojek online. Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Bukan karena beban kerja, tapi karena isi kepalanya yang terus dipenuhi tanya.

Dan saat ia menoleh ke kanan, Hafiz sudah berdiri di sana. Tubuh tinggi tegapnya bersandar santai di pilar dekat pintu masuk, kedua tangan di saku celana, matanya tertuju pada Serena seolah sedari tadi memang sedang menunggu.

Serena menghentikan langkah. “Mas Hafiz?”

Pria itu melangkah mendekat, senyumnya tak terlalu lebar, tapi ada ketulusan yang tak bisa disembunyikan.

“Aku antar pulang, ya?

Serena langsung menggeleng. “Nggak usah. Aku bisa pesan ojol.”

“Tapi aku perlu bicara,” sahut Hafiz cepat. Matanya tidak berkedip.

Serena terdiam sejenak. Ada banyak perasaan yang menumpuk di dadanya sejak malam ulang tahun perusahaan, sejak insiden Airin, sejak gosip-gosip kantor yang terus menghantamnya diam-diam.

Namun kali ini... ada sesuatu di tatapan Hafiz yang membuatnya tidak tega menolak.

“…Oke,” jawabnya akhirnya.

Mobil Hafiz melaju pelan menembus kepadatan jalan ibu kota yang baru saja pulih dari kemacetan jam pulang kerja. Di dalam mobil, suasana sempat hening. Serena duduk di kursi penumpang dengan tubuh sedikit kaku, matanya menatap jalanan yang berpendar dalam cahaya senja.

Hafiz melirik sekilas. “Kamu kelihatan capek.”

“Memang capek,” jawab Serena pelan, tanpa menoleh.

“Maaf,” kata Hafiz sambil menarik napas. “Hari-hari ini pasti berat buat kamu.”

Serena tidak menjawab. Ia tahu Hafiz mengacu pada semua kabar yang beredar, kedatangan Airin, dan segala yang menyertainya. Tapi ia belum siap bicara... belum saatnya.

Beberapa menit kemudian, mobil berbelok ke sebuah jalan kecil. Di ujung jalan itu, berdiri sebuah warung makan sederhana dengan lampu kuning redup dan beberapa mobil parkir di depannya. Asap dari dapur belakang menyebar aroma sedap khas masakan rumahan.

“Kita makan dulu, ya?” tanya Hafiz.

Serena menoleh, sedikit bingung. “Aku kira Mas Hafiz mau langsung antar pulang?”

“Kalau aku bicara sambil nyetir, kamu bisa kabur,” jawab Hafiz ringan, membuat Serena nyaris tersenyum.

Mereka turun dan masuk ke warung makan itu. Suasana hangat dan sederhana. Beberapa meja kayu ditempati pengunjung yang tampak santai, tak ada yang mengenakan pakaian formal, tidak ada yang mengenali mereka sebagai orang-orang kantor besar.

Hafiz memesankan nasi goreng dan teh manis hangat untuk mereka berdua.

Saat makanan datang, Serena menyantap dalam diam. Entah karena lapar atau karena ingin mengalihkan kecanggungan. Hafiz juga makan, meski sesekali matanya menatap Serena—diam-diam menyerap setiap detik kebersamaan yang rasanya tak akan selalu mudah didapatkan.

Setelah selesai makan, mereka keluar dan kembali ke mobil. Namun alih-alih langsung menyalakan mesin, Hafiz hanya duduk tenang, tangannya bertumpu di atas kemudi. Parkiran sepi, hanya suara jauh dari dapur dan deru jalan besar yang terdengar samar.

Serena memperhatikan gelagat itu. “Kenapa nggak nyalain mesin?”

“Aku belum selesai bicara,” ucap Hafiz akhirnya, menoleh dan menatap Serena dalam.

“Serena... aku tahu kamu dengar macam-macam tentang aku. Tentang Airin. Tentang keluarga.”

Serena menunduk. Hatinya kembali berdesir tak tenang.

Hafiz melanjutkan, suaranya tenang tapi berat.

“Aku nggak pernah niat nutup-nutupin. Tapi aku juga nggak tahu harus mulai dari mana. Soal Airin, iya... dia teman kecilku. Orang tua kami sahabatan. Dan ya... mereka pengen kami berjodoh. Tapi itu bukan keinginanku.”

Serena masih diam.

“Waktu malam itu kamu pulang diam-diam dari acara kantor... aku cari kamu. Tapi kamu udah nggak ada. Aku bingung, khawatir, dan ya... frustasi.”

Hafiz menarik napas panjang.

“Kamu tahu, Ren... aku bukan orang yang gampang ngomong. Tapi sekarang aku harus bilang, aku suka kamu.”

Serena mengangkat wajahnya. Matanya menatap Hafiz, penuh keraguan dan keterkejutan.

“Aku suka kamu dari sejak pertama kali kamu kerja di perusahaan Om-ku. Aku perhatikan kamu... cara kamu kerja, cara kamu menahan semua rasa sakitmu, tapi tetap berdiri. Kamu kuat, Serena. Tapi kamu nggak pernah minta dipedulikan. Dan justru itu yang bikin aku makin... tertarik.”

Serena menggigit bibir bawahnya. Dadanya sesak. Rasa hangat dan getir campur aduk dalam hatinya.

“Terus kenapa Mas Hafiz deket sama aku tapi diem-diem juga dekat sama Airin?” tanyanya lirih.

“Aku nggak pernah deketin Airin,” jawab Hafiz cepat. “Kalau aku kelihatan seperti itu, itu karena orang tuaku yang memaksa. Malam itu... aku nggak punya pilihan. Tapi percayalah, aku udah nolak mereka berkali-kali. Bahkan tadi malam aku sempat langsung bilang di depan mereka semua kalau aku nggak mau dijodohin.”

Serena menunduk lagi. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata itu seperti menghapus sebagian keraguan di hatinya, tapi meninggalkan ruang kosong yang masih ragu: apakah ia berani melangkah?

“Ren...” Hafiz kembali memanggil namanya lembut. “Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma minta satu hal. Jangan tutup pintu kamu buat aku. Biar aku pelan-pelan buktiin, kalau rasa ini serius.”

Serena akhirnya menatapnya. Ada air di ujung matanya, tapi ia tersenyum kecil.

“Aku nggak tahu bisa percaya atau nggak... tapi terima kasih sudah jujur.”

Hafiz mengangguk. “Aku akan tunggu. Sampai kamu siap. Tapi jangan tahan sendirian terus, ya?”

Serena mengangguk pelan.

Malam itu, mereka akhirnya meninggalkan parkiran warung makan. Tapi hati Serena masih tertinggal di sana—di tempat Hafiz akhirnya bicara jujur. Untuk pertama kalinya, Serena merasa ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya... dan memilihnya.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya, ia mulai percaya bahwa rasa itu layak diperjuangkan.

.

Malam di kontrakan itu terasa lebih sunyi dari biasanya.

Serena duduk di tempat tidurnya, lampu utama telah dimatikan sejak satu jam lalu, menyisakan cahaya remang dari lampu meja kecil di pojok ruangan. Jam digital di samping tempat tidur menunjukkan pukul 01:37, tapi kantuk seolah enggan menyentuh pelupuk matanya.

Ia telah mencoba memejamkan mata, berguling ke kanan dan ke kiri, namun setiap kali matanya terpejam, wajah Hafiz kembali muncul. Suara laki-laki itu kembali terngiang—penuh ketulusan, kejujuran, dan... harapan.

"Aku suka kamu..."

Kalimat itu terus mengaung, menyusup masuk dan menciptakan getaran halus di dadanya. Tangannya meremas ujung selimut. Hatinya kalut, pikirannya tak menentu.

Serena menarik napas panjang dan duduk bersandar di dinding. Tatapannya kosong mengarah ke jendela, ke luar yang kini gelap gulita kecuali pantulan samar lampu jalan.

Ia tahu... ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri lagi.

Dia menyukai Hafiz.

Mungkin sejak lama. Mungkin sejak pria itu perlahan hadir dalam hidupnya dengan cara yang tidak mencolok, tidak memaksa, tapi selalu ada saat ia merasa sendirian.

Namun kenyataan bahwa perasaan itu tumbuh, justru membuatnya ketakutan.

Bagaimana kalau perasaan ini hanya sesaat?

Bagaimana kalau suatu hari Hafiz menyerah karena keluarganya tidak setuju?

Dan lebih dari semuanya... Serena masih ingat jelas bagaimana tatapan dingin Bu Farhana di acara pernikahan Vina. Jelas sekali ibu itu tidak menyukainya. Bahkan hanya menyapa dengan setengah hati. Seakan kehadiran Serena hanyalah bayangan tak penting yang kebetulan lewat di sekeliling anaknya.

Serena memeluk lututnya.

Ia bukan siapa-siapa. Ia hanya staf biasa. Latar belakang keluarganya pun... penuh luka dan tidak harmonis. Ia bahkan tidak memiliki orang tua untuk dikenalkan jika suatu saat harus bertemu keluarga Hafiz. Ia hanya punya diri sendiri dan sisa keberanian yang selama ini ia pertahankan dengan susah payah.

“Kalau aku terima Mas Hafiz... aku siap enggak?” bisik Serena lirih pada dirinya sendiri.

Tangannya menyentuh dadanya yang terasa berat. Ada bahagia yang belum sempat dirayakan, ada harapan yang terlalu rapuh untuk di luapkan.

Ia ingin mengatakan "ya", ingin merespons cinta itu dengan jujur. Tapi... beranikah ia menghadapi kenyataan bahwa tidak semua cinta akan diterima dengan tangan terbuka?

Bunyi kendaraan sesekali terdengar di kejauhan, mengiringi malam yang semakin sunyi.

Serena meraih bantal dan mendekapnya erat, menutup wajahnya. Matanya mulai basah, entah karena takut... atau karena bahagia yang terasa jauh dari jangkauan.

Untuk pertama kalinya sejak lama, Serena dihadapkan pada sesuatu yang lebih menakutkan dari kesepian: harapan.

Dan malam itu, ia tahu, perasaannya pada Hafiz bukan lagi rahasia yang bisa disimpan selamanya. Tapi jujur... bukan berarti selalu berani. Serena masih memeluk diamnya, memeluk rasa... sambil menunggu apakah cinta ini layak diperjuangkan, atau cukup disimpan dalam senyap.

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!