"Aku sudah lama tidak pernah merindukan siapapun. Karena aku tahu, rindu itu cukup berat bagiku. Tapi sekarang, aku sudah mulai merindukan seseorang lagi. Dan itu kamu..!"
Maarten tahu, hidupnya tak pernah diam. Dia bekerja di kapal, dan dunia selalu berubah setiap kali ia berlabuh. Dia takut mencintai, karena rindu tak bisa dia bawa ke tengah laut.
"Jangan khawatir, kupu-kupumu akan tetap terbang.
Meski angin membawa kami ke arah yang berbeda,
jejak namamu tetap tertulis di sayapnya"
Apakah pria dari Belgia itu akan kembali?
Atau pertemuan kami hanya sebatas perjalanan tanpa tujuan lebih?
(Kisah nyata)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Hasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKHIRNYA
Pagi itu aku terbangun dengan mata yang masih sembab. Sisa semalam belum sepenuhnya hilang. Bekas tangis, bekas rindu, bekas kenyataan bahwa seseorang yang dekat kini kembali jauh. Aku duduk di tepi ranjang, mengusap wajahku perlahan. Rasanya terasa berat, seperti ada kabut tipis yang menyelimuti dadaku.
Di luar, matahari sudah mulai naik, tapi di dalam dadaku masih ada bayangan semalam yang belum pergi. Masih tersimpan rapih, dan sangat rapih.
Aku melangkah ke kamar mandi, membuka pintu perlahan, dan berdiri di depan cermin. Wajahku terlihat asing. Mata bengkak, kulit pucat, dan sisa-sisa malam yang berat masih tertinggal di sana. Aku menatap lekat-lekat bayangan diriku sendiri.
"Ahh sudahlah... Ini hanya perasaan rindu"
Aku mencoba menenangkan diriku dengan kalimat itu.
Aku berjalan pelan menuju kamar. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, lalu meraih remote dan menyalakan TV. Layar itu menyala, tapi pikiranku kosong. Gambar bergerak, tapi mataku tidak fokus. Bahkan lucunya, setiap wajah yang aku lihat di layar TV, hampir semuanya mirip dengan Maarten. Hffff...
Aku menatap layar TV yang terus berganti saluran. Tapi tidak satu pun tayangan itu benar-benar masuk ke dalam pikiranku. Karena pikiranku, masih tertinggal pada seseorang.
Aku menghela napas pelan, lalu meraih ponselku dari sisi bantal. Aku menatap layar ponsel yang masih sepi. Tak ada notifikasi baru.
Mungkin Maarten sedang sibuk. Dan sinyal di sana mungkin memang buruk, seperti yang dia bilang sebelumnya. Dan aku percaya, dia tidak pernah lupa. Hanya sedang terputus dari dunia luar untuk sementara.
Aku duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselku erat. Ada rindu yang diam-diam tumbuh, tapi tak berani berteriak. Rindu yang sabar. Rindu yang tahu diri...
Dan dalam hati kecilku, aku hanya berharap satu hal...
Semoga dia baik-baik saja. Dan semoga, dalam senyapnya hutan sana, dia sempat memikirkanku!
Acara TV pagi ini tidak ada yang menarik. Semua tayangan terasa hambar dan jauh dari suasana hatiku. Berita politik berlalu seperti angin lewat. Aku melihatnya, tapi tak benar-benar memahaminya. Tayangan sinetron lama hanya dipenuhi tawa palsu dan dialog berulang yang terlalu mudah ditebak. Bahkan iklan-iklan yang biasanya ramai dan mencolok pun tidak mampu mengangkat semangatku pagi ini. Aku menekan tombol remote satu per satu, berpindah dari satu saluran ke saluran lain, berharap ada sesuatu yang bisa membuatku bertahan lebih lama di depan layar. Tapi tidak ada. Rasanya semua yang kulihat hanya berlalu seperti bayangan, tak menyentuh apapun dalam diriku. Seolah dunia di layar kaca itu tidak sedang berbicara padaku, dan aku pun tidak ingin menjawabnya.
Tiba-tiba, layar televisi yang membosankan itu tergantikan oleh suara dering yang lebih tajam dari biasanya. Sebuah panggilan masuk. Aku buru-buru meraih ponsel yang tergeletak di sebelahku, dengan harapan kecil, semoga itu Maarten. Tapi saat kulihat layarnya, hatiku langsung terasa berat.
Nomor yang muncul justru seseorang dari masa lalu. Mantanku. Dia menghubungiku lagi, dan lagi...
Aku diam. Tidak langsung mengangkat, tidak juga menolaknya. Aku hanya memandangi layar itu seperti sedang bertemu hantu dari masa yang ingin kulupakan.
Aku membiarkan panggilan itu berdering hingga mati, berharap dia akan mengerti bahwa aku tak ingin diganggu. Tapi beberapa menit kemudian, nada dering itu kembali memecah keheningan kamar. Kali ini lebih mengusik, lebih keras, seakan memaksa untuk didengar. Dengan napas yang sedikit berat, akhirnya aku mengangkatnya. Hari ini aku tau, mungkin inilah saatnya untuk aku mulai menjelaskan semuanya.
“Halo?” suaraku pelan, datar, tanpa semangat.
Di seberang sana, suara yang pernah begitu kukenal terdengar lagi.
“Kelly… ini aku.. Mertkan… Maaf kalau aku mengganggumu… Aku cuma pengen tahu... kamu apa kabar?
Aku terdiam sejenak. Rasanya aneh. Berkali-kali menelfonku hanya untuk menanyakan kabar. Pertanyaan yang sudah sangat terlambat.
"Kamu selalu bertanya kabarku. Sudah aku bilang, aku baik-baik saja. Dan kalau aku sedang tidak baikpun, aku tidak berharap kamu menghubungiku!" jawabku dengan nada yang tegas.
"Kamu... beneran baik..? Dan ya maafkan aku. Aku selalu bertanya hal yang sama". Tanyanya lagi, seolah belum yakin.
Aku menarik napas, mencoba tetap tenang. "Iya. Tapi ada apa kamu menghubungiku lagi?"
Ada jeda. Lalu suaranya terdengar lebih pelan. Bahkan, terbata bata.
"Aku cuma... Aku kangen. Aku mikirin kamu. Aku menyesal, Kelly."
Aku menutup mata sejenak, meredam gelombang emosi yang ingin muncul. Tapi aku sudah terlalu sering disakiti untuk membiarkan luka lama berdarah lagi.
"Oh.. Kamu menyesal.. Tapi, itu pilihan kamu kan?"
Dia terdiam beberapa detik, lalu berkata lirih. "Aku sangat menyesal Kelly... Semua yang aku lakukan ke kamu, itu salah. Aku bodoh! Aku bodoh. Aku kehilangan kamu, dan aku nggak bisa berhenti mikirin semuanya."
Aku menggigit bibirku, menahan perasaan yang sudah sepenuhnya hilang. Perasaan yang dulu selalu berharap dia akan berkata seperti ini. Tapi sekarang rasanya hampa.
"Aku nggak tahu harus ngomong apa," kataku perlahan. "Kamu pergi tanpa penjelasan. Dan sekarang, kamu muncul lagi dan bilang menyesal?"
"Aku tahu," suaranya terdengar panik. "Aku tahu aku jahat. Tapi saat itu pikiranku sedang kacau. Banyak hal di hidupku yang... Rumit. Aku pikir ninggalin kamu lebih baik daripada nyakitin kamu lebih dalam."
Aku tertawa kecil, tapi getir.
"Dan ternyata pilihan kamu buat ninggalin aku sama-sama nyakitin kamu kan? Kamu tahu itu?"
"Kelly... tolong... beri aku satu kesempatan lagi. Kita mulai dari awal. Aku janji, kali ini aku nggak akan pergi."
Hatiku sunyi. Aku menghela nafas. Nafas yang mulai terasa berat.
"Mertkan! Aku sudah terlalu jauh untuk kembali ke masa lalu. Terima kasih atas penyesalanmu, tapi aku tidak bisa kembali pada seseorang yang pernah membuatku kecewa."
Lalu dia menjawab dengan suara yang terdengar panik dan bergetar.
"Kelly... aku benar-benar menyesal. Aku masih menyimpan semua fotomu. Aku masih sering melihatnya. Aku... aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."
“Lucu sekali. Kamu bahkan tidak pernah cukup peduli untuk bertahan. Dan sekarang kamu bilang masih menyimpan fotoku?”
Dia terisak. “Aku bodoh… Aku pergi karena pikiranku kacau. Tapi sejak hari itu, tidak ada satu hari pun aku tidak memikirkanmu. Aku tahu aku terlambat, tapi… bisakah kita mulai dari awal lagi? Kita wujudkan impian kita.”
Aku menghela napas panjang.
“Aku sudah melewati luka itu, dengan susah payah. Aku tidak membencimu, tapi aku juga tidak punya alasan untuk kembali!”
“Tapi aku masih cinta sama kamu…!”
“Cinta seperti apa yang kamu maksud? Apakah Cinta yang penuh kebohongan?"
Suasana hening sejenak. Dia terdiam kaku, tidak menjawab pertanyaanku. Lalu dengan suara yang lebih pelan, aku menambahkan.
“Aku baik-baik saja saat kamu pergi. Dan sekarang, aku juga akan tetap baik-baik saja… Tanpamu!”
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara tenang namun jelas. Dia masih diam menahan tangis. Tangis yang dulu sempat aku rasakan berbulan-bulan, kini akhirnya dia bisa merasakannya juga.
“Kelly…… Please…… Aku mohon kamu jangan marah.....”
“Aku tidak marah. Tapi aku juga tidak lupa.”
Dia terdiam. Mungkin dia sedang menyesali perbuatannya, atau mungkin dia sedang berakting. Entahlah…… Lalu aku melanjutkan.
“Kamu tahu, aku pernah percaya padamu. Bahkan terlalu percaya. Aku berharap kamu benar-benar datang seperti janjimu. Tapi ternyata semuanya palsu! Kamu pergi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa pamit. Kamu membuatku malu!!”
Nadanya terdengar semakin panik.
“Aku minta maaf, sungguh. Saat itu aku………”
Aku memotong pembicaraannya dengan lembut, tapi tegas.
“Sekarang dengarkan aku. Aku tidak butuh penyesalan. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku baik-baik saja tanpamu. Bahkan mungkin jauh lebih baik. Aku sudah melupakanmu!”
Dia terdiam cukup lama.
“Aku masih menyimpan foto-foto kita,” katanya lirih.
“Aku tidak menyuruhmu untuk menyimpannya. Hapus saja! Lenyapkan apapun yang berhubungan denganku”
"Apa kamu sudah mempunyai pacar baru?"
"Itu bukan urusanmu!"
"ITU URUSANKU KARENA AKU BERHAK TAHU!"
Dia meninggikan suaranya. Tangisannya berubah jadi amarah.
"Apa alasanmu untuk berhak tahu? Bahkan, aku menangispun kamu pura-pura tidak tahu"
"Sudah aku bilang, aku sibuk!"
"Sibuk macam apa sampai kamu tidak menghubungiku selama 2 bulan? Bahkan lebih! Padahal aku selalu melihatmu online. Online sampai larut malam"
"Aku online karena pekerjaanku, bukan untuk wanita lain"
"Berhenti berfikir kalau aku wanita bodoh! Meskipun aku diam, tapi aku tahu semuanya. Hanya saja, aku tidak berisik!"
"Kelly... Apa kamu menuduhku berselingkuh?"
“Tidak! Aku tidak menuduhmu! Aku hanya membicarakan fakta. Fakta bahwa kamu punya banyak waktu untuk dunia, tapi tidak untukku!"
Dia terdiam. Matanya bergerak gelisah, seolah mencari celah untuk membela diri, tapi tak menemukan apa-apa.
Aku melanjutkan dengan suara yang lebih pelan.
“Berhenti bertingkah sebagai korban. Padahal kamu sendiri tau, siapa yang paling bersalah dalam hubungan ini"
"Kelly............. "
"CUKUP!!"
Aku memotong kata-katanya.
"Sekarang, tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Kamu sudah bukan bagian dari hidupku lagi".
Lalu akupun menutup telfon itu dan langsung memblokir nomornya. Ini semua sudah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, tidak ada lagi alasan yang pantas didengar.
Tidak ada air mata. Hanya hening dan perasaan damai yang akhirnya datang.
Aku bangga pada diriku sendiri!
Akhirnya aku bisa mengatakan semuanya, dengan tegas, tanpa drama, tanpa suara yang gemetar, tanpa air mata yang menetes diam-diam seperti dulu.
Tidak ada lagi harapan yang memohon untuk dikabulkan.
Hari ini, aku berdiri untuk diriku sendiri. Hari ini, aku tidak hanya menolak seseorang dari masa lalu, tapi aku juga menolak untuk kembali menjadi perempuan yang merendahkan dirinya demi mencintai orang yang tidak pernah tahu cara menjaga.
Aku bangga, karena aku bisa menolak tanpa dendam. Karena aku bisa berkata "TIDAK" tanpa harus berteriak.
Aku bukan tempat pulang bagi seseorang yang pergi tanpa pamit dan kembali tanpa rasa bersalah. Aku bukan rumah sementara. Hatiku lebih berharga dari apapun.
Dulu, aku menangis karena dia. Tapi kali ini berbeda. Aku tidak lagi menangis. Aku tidak lagi lemah. Justru saat ini, aku merasa lebih kuat dari sebelumnya. Karena memilih untuk tidak kembali pada orang yang pernah menghancurkanku.
Dan sekarang aku tahu, cinta sejati tak akan membuatku merasa kecil.
Cinta sejati tak akan membuatku selalu bertanya-tanya apakah aku cukup? Jika aku pernah berharap dia kembali, maka hari ini aku bersyukur karena tidak pernah benar-benar kembali. Aku sudah sembuh. Aku lebih kuat. Dan aku lebih mencintai diriku sendiri daripada mencoba memperbaiki sesuatu yang memang sejak awal tidak pernah benar.
Aku bangga, karena akhirnya aku bisa melepaskan dengan penuh hormat dan harga diri!
Bagiku, melepaskan orang yang menyakiti tidak harus selalu dengan suara keras, teriakan marah, atau kata-kata yang kasar. Kadang, bentuk paling kuat dari melepaskan justru datang dalam keheningan yang tenang. Saat aku memilih untuk pergi tanpa drama, tanpa dendam, dan tanpa berharap balasan.
Aku tidak butuh pembuktian atau penjelasan yang tak kunjung datang. Aku hanya butuh keberanian untuk berkata, “Cukup,” dan melangkah pergi demi menghormati diri sendiri.
Karena memaafkan dan melepaskan tidak berarti lemah, justru di sanalah letak kekuatan sesungguhnya. Saat aku bisa berdiri tegak dan memilih untuk tidak kembali pada orang yang pernah menghancurkanku.
Dan.....
Terima kasih telah pergi. Tanpamu, aku menemukan diriku sendiri.