NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Lima bulan berlalu sejak hari Sekar memutuskan untuk memulai hidup dari awal. Waktu itu tidak serta-merta menyembuhkan segalanya, tapi kehadiran Hanif seperti kompas yang membimbingnya setiap kali ia tersesat dalam pikirannya sendiri.

Hari-hari mereka dipenuhi dengan kesederhanaan. Hanif akan mengantar dan menjemput Sekar kerja, kadang dengan bunga kecil yang ia petik sendiri di jalanan. Sesekali mereka makan malam bersama di rumah, menonton film, atau hanya duduk diam menikmati hujan dari balik jendela. Tidak ada drama besar. Tidak ada kejutan mewah. Tapi Sekar tidak pernah merasa lebih dicintai dari ini.

Pada hari itu, saat matahari bersiap untuk tenggelam di balik cakrawala rumah sakit tempat Sekar bekerja, Hanif datang lebih awal. Ia mengenakan kemeja putih dan celana abu-abu gelap, rambutnya disisir rapi. Di dalam tas selempangnya, terselip sebuah kotak beludru kecil berisi cincin sederhana—perak polos dengan satu mata mungil di tengah. Di sampingnya, seikat bunga lili putih dibungkus kertas cokelat daur ulang.

Ia berjalan melewati lorong rumah sakit dengan langkah tenang, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Beberapa perawat yang mengenalnya menyapanya dengan senyum, tapi ia hanya membalas dengan anggukan canggung. Tangannya sesekali menyentuh bagian tas tempat cincin itu tersimpan—memastikan benda kecil itu masih di sana.

Hanif menemukan Sekar di taman belakang rumah sakit. Ia sedang duduk di bangku panjang, masih mengenakan seragam medis, rambutnya diikat rapi, wajahnya sedikit lelah namun tetap bersinar dalam cahaya keemasan senja.

“Sudah selesai jaga?” tanya Hanif sambil duduk di sampingnya.

Sekar mengangguk, tersenyum kecil. “Baru aja keluar. Tumben kamu datang cepat.”

Hanif mengambil napas dalam-dalam. “Aku cuma… kangen.”

Sekar tertawa pelan. “Baru delapan jam kita nggak ketemu, Hanif.”

“Delapan jam yang terasa seperti delapan tahun,” gumam Hanif, lalu menoleh padanya. “Boleh aku ngomong sesuatu?”

Sekar mengangguk pelan.

Hanif menatap wajah perempuan itu, yang sekarang jauh lebih damai dari lima bulan lalu. Wajah yang dulu sering dihantui ketakutan kini mulai dihiasi senyum yang lebih tulus, lebih lepas. Ia tahu, ini adalah waktunya.

Ia membuka tas dan mengeluarkan bunga serta kotak kecil itu. Lalu, masih duduk, ia mengulurkan tangan pada Sekar.

“Aku nggak punya banyak kata-kata indah atau janji-janji mewah. Aku juga nggak tahu masa depan seperti apa yang akan kita hadapi. Tapi yang aku tahu pasti… aku ingin kamu ada di dalamnya. Aku ingin terus ada di sisimu, dalam suka dan luka. Dalam tawa dan air mata. Dalam keberanian dan ketakutan. Maukah kamu menikah denganku, Sekar?”

Sekar terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, matanya membelalak sejenak melihat kotak kecil itu terbuka memperlihatkan cincin mungil yang sederhana, tetapi begitu penuh makna.

Angin sore berembus pelan, membawa harum bunga dan suara dedaunan yang berdesir. Matahari menggantung rendah di ujung langit, memantulkan warna jingga keemasan ke wajah mereka berdua.

Sekar menatap Hanif, lalu bunga, lalu cincin itu. Dan akhirnya, ia menatap matanya.

“Ini… sungguh terjadi?” bisiknya.

Hanif mengangguk pelan. “Sungguh.”

Air mata menggenang di mata Sekar, tapi bukan karena takut. Bukan karena trauma. Kali ini karena rasa haru yang menyesakkan dada.

“Ya,” jawabnya akhirnya, dengan senyum kecil yang mulai sering muncul di wajahnya. “Aku mau.”

Hanif menyelipkan cincin itu di jari manisnya dengan tangan sedikit gemetar. Lalu, ia menggenggam tangan Sekar, mencium punggung tangannya, lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

Mereka duduk lama dalam diam, saling memeluk di bawah cahaya matahari yang perlahan tenggelam. Tak ada sorak sorai, tak ada lampu mewah, tak ada kamera yang mengabadikan momen itu. Hanya dua jiwa yang saling menemukan dalam sunyi, dalam luka yang mulai sembuh bersama.

---

Malam itu, mereka makan malam di warung kecil langganan dekat rumah sakit. Tempatnya sederhana, hanya beratapkan seng dan berdinding kayu tipis, tapi penuh kenangan. Lampu bohlam kekuningan menggantung rendah, memberi cahaya temaram yang justru membuat suasananya terasa hangat. Di meja mereka, hanya ada dua piring nasi goreng dan dua gelas teh manis panas yang menguap pelan.

Menu seadanya. Tak ada lilin, tak ada musik romantis, apalagi pelayan dengan seragam mewah. Tapi bagi Hanif dan Sekar, malam itu terasa seperti perayaan paling istimewa yang bisa mereka bayangkan.

“Sederhana ya,” gumam Sekar, suaranya nyaris tenggelam oleh deru motor di jalanan belakang warung. Ia menatap cincinnya—cincin perak polos yang melingkar di jari manisnya. Tidak mencolok, tapi terasa berat oleh makna.

Hanif yang sedang meniup teh panasnya menoleh pelan, lalu mengangkat alis. “Kamu nggak suka?”

Sekar menggeleng cepat, lalu tersenyum kecil. Senyuman yang mengandung banyak hal—lega, haru, juga sedikit ketidakpercayaan bahwa semua ini nyata. “Suka banget. Justru karena ini sederhana… aku merasa tenang. Nggak seperti dunia yang selama ini selalu maksa aku buat jadi sempurna terus. Selalu harus tampil kuat, harus bener, harus berhasil. Tapi sekarang, rasanya aku bisa jadi diri sendiri.”

Hanif terdiam sejenak. Ia meletakkan gelasnya, lalu mengulurkan tangan dan meraih tangan Sekar di atas meja. Jari-jarinya hangat, dan genggamannya mantap, seperti mengatakan bahwa ia akan selalu ada. Bahwa ia tak akan pergi.

“Aku nggak butuh pesta besar, Sekar,” katanya pelan. “Aku cuma butuh kamu. Dan kamu… kamu udah lebih dari cukup. Bahkan jauh lebih.”

Sekar menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang perlahan naik ke dadanya. Matanya panas. Ia sudah terbiasa membentengi dirinya dari banyak hal—dari rasa kecewa, dari rasa takut, dari harapan yang biasanya datang hanya untuk pergi. Tapi malam itu, bersama Hanif, ia merasa temboknya boleh runtuh sejenak.

“Kadang aku masih takut,” bisiknya. “Takut semua ini cuma mimpi. Takut kamu berubah pikiran.”

Hanif mengeratkan genggamannya. “Kalau ini mimpi, kita mimpi bareng. Dan aku nggak akan bangun sebelum kamu bangun juga.”

Sekar menatap matanya. Tatapan itu tidak menjanjikan dongeng, tapi justru itulah yang membuatnya merasa nyata. Dalam diam itu, ada keyakinan yang tumbuh—pelan, tapi kuat. Untuk pertama kalinya, masa depan tak lagi tampak menakutkan. Ia mulai percaya bahwa kebahagiaan tak selalu hadir dalam bentuk yang megah. Terkadang, ia hadir dalam bentuk yang paling sederhana: nasi goreng hangat, teh manis, tangan yang menggenggam erat, dan cinta yang tidak banyak bicara tapi terasa sampai ke hati.

1
R Melda
semangat thor,,,,,
Nus Wantari
lanjut Thor...🥰🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!