NovelToon NovelToon
Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Persahabatan / Romansa
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Moira Ninochka Margo

"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"

Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.

Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.

Apa yang terjadi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DUAPULUH EMPAT Tak terduga

"Sayang, ini serius, kita ganti baju?" Tanyaku kembali make sure.

Firhan menatapku saat berdiri tak jauh darinya. Aku sedang memegang hanger gaun sambil mengamati isi hanger itu. Gaun mewah ini merupakan salah satu dari kelima gaun pilihan yang telah disediakan di gantungan baju untuk memilih mana yang akan kupakai.

Lelaki itu mengangguk. "Pilih mana yang kamu suka dan kenakan, Sayang."

Sorot matanya masih tak lepas dariku sambil duduk menyilangkan kaki, mengamati diriku yang sibuk dan bingung memilih gaun.

Masalahnya gaun ini terlihat mewah semuanya, tidak ada yang benar-benar sederhana. Bukankah berlebihan jika hanya acara makan malam biasa dengan keluarga tapi harus mengenakan gaun ini.

"Ada apa, Sayang? Kok cemberut begitu, hm?" tanyanya memandangku cemas.

"Bingung aja. Aku tidak tahu harus memakai apa. Lagi pula, gaun ini too much untuk dipakai!" keluhku menatapnya dengan memelas.

Firhan hanya tersenyum. "Kali ini aku ingin membiarkanmu memilih pilihanmu sendiri. Apalagi seperti yang kamu katakan, gaun ini too much, jadi kalau aku yang memilih, mungkin menurutmu berlebihan."

Aku mengerucutkan bibir, lalu menghela napas berat. Dia tergelak.

"Tidak apa-apa, pilih saja."

"Tapi kenapa? Bukankah ini acara khusus keluarga saja? Maksudku, hanya makan malam biasa, kan?"

Dia mengedikkan bahu. "Aku juga tidak tahu, Sayang. Ayah dan ibu hanya meminta kita berdua ganti baju,"

Helaan napasku terdengar lagi dengan pasrah "Baiklah."

Setelah meletakkan kembali gaun di gantungan baju, aku lalu menghampiri Firhan.

Aku berdiri tepat di hadapannya. Ia duduk di ujung sofa tempat tidur, dengan posisi santai seperti biasanya. Kedua kakinya baru saja dilepaskan dari silangan, memberi ruang ketika aku melangkah pelan mendekat. Tanpa banyak bicara, aku masuk di antara kedua kakinya. Tangan-tanganku terangkat, melingkar di lehernya. Gerakan itu pelan, tanpa tergesa, seolah tubuhku tahu persis ke mana harus berlabuh. Ia mendongak menatapku, dan pandanganku turun—menyambut matanya yang begitu tenang … tapi dalam. Ada sesuatu di sana yang sulit dijelaskan, seperti rasa cinta yang tak diucapkan, tapi terasa jelas dari caranya memandang.

Tangan-tangannya bergerak, melingkar di pinggangku. Ia memelukku tanpa menarikku lebih dekat, hanya diam … seolah sedang menikmati momen ini, detik demi detik. Tapi justru dari keheningan itu, aku bisa merasakan segalanya. Degup jantungnya. Tarikan napasnya. Ketulusan yang tak ia ucapkan dengan kata.

Kami tak bicara. Tapi entah kenapa, keheningan ini lebih hangat dari percakapan apa pun. Aku bisa merasakan kepalaku sedikit menunduk, dan ia tetap menatapku dari bawah. Wajahnya begitu dekat, dan tatapannya … membuatku ingin tinggal di situ lebih lama.

Firhan masih memelukku, tanpa banyak gerakan. Hanya kehangatan yang tetap terasa, mengalir dari tubuhnya ke tubuhku seperti aliran tenang yang menenangkan. Aku bisa Merasakan jari-jarinya sedikit mengencang di pinggangku, seolah memastikan bahwa aku benar-benar di sini—bukan bayangan, bukan mimpi.

Perlahan aku duduk di pangkuannya, tidak mengalihkan pandangan dari wajahnya. Ia menatapku dalam diam, lalu tersenyum kecil. Senyum yang sederhana, tapi cukup untuk membuat jantungku terasa seperti diremas pelan.

“Kamu tidak berubah,” katanya pelan. Suaranya serak, seperti menahan sesuatu yang tidak sempat keluar selama ini.

Aku mengerjap, lalu tersenyum balik. “Kamu juga,” bisikku. “Masih suka natap kayak gitu, buat aku bingung harus napas bagaimana.”

Ia tertawa kecil, suara rendahnya mengalun lembut di telingaku. Satu tangannya naik, menyentuh rambutku, lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Gerakan yang sederhana, tapi entah kenapa, hatiku terasa meleleh dibuatnya hingga pipiku merona.

“Kalau kamu tahu rasanya lihat kamu sekarang…. ” ucapnya pelan dengan menggantung, menatapku seperti sedang menahan kalimat yang lebih panjang. Tapi ia nggak melanjutkan. Ia hanya menatap, lalu menarikku lebih dekat ke dadanya.

Kepalaku bersandar di bahunya. Aku bisa dengar degup jantungnya dari jarak sedekat ini. Kencang. Tapi tenang. Mungkin sama seperti aku. Mungkin kami berdua sama-sama nggak tahu harus bagaimana, selain diam dan saling merasa. Aku menutup mata sejenak, mencoba menghafal aroma tubuhnya, detak jantungnya, dan cara dia memelukku seperti ini. Karena bagian ini ... bagian ini yang paling aku rindukan selama ini dan telah menjadi favorite-ku.

Dan malam ini, di ruangan yang tenang, tanpa musik, tanpa suara luar—hanya pelukan, napas, dan perasaan yang akhirnya diberi ruang untuk bicara.

Pelukannya masih sama, nggak bergerak, tapi justru itu yang bikin aku merasa tenang. Kami sama-sama diam, tapi rasanya banyak hal yang disampaikan lewat keheningan ini. Jauh lebih jujur daripada semua kata yang pernah diucapkan. Kemudian, perlahan, ia menarik kepalaku sedikit menjauh dari bahunya. Tangannya naik ke pipiku, hangat dan lembut saat menyentuh kulitku. Matanya menatapku lama, seperti sedang membaca sesuatu yang nggak kelihatan. Dan sebelum aku sempat berkata apapun, ia menunduk sedikit.

Satu kecupan mendarat di keningku.

Bukan cepat, bukan terburu-buru. Tapi pelan. Lembut. Dan tulus. Ciuman di kening itu sederhana, tapi rasanya seperti penegasan. Bahwa dia di sini. Bahwa dia benar-benar akan melindungi. Bahwa meskipun banyak hal belum terucap, perasaannya nyata.

Mataku refleks terpejam sejenak. Jantungku berdetak aneh, seperti lupa cara kerja yang benar. Saat ia menarik wajahnya perlahan, mataku kembali memandangnya.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Tanyanya yang kubalas dengan anggukan.

"Semuanya baik-baik saja, Sayang. Jangan khawatir,"

"Glad to hear that."

Tangannya perlahan meninggalkan pinggang, lalu menjalar ke leherku. Sentuhannya begitu hangat ketika jemarinya menggenggam wajahku dengan lembut, seolah ingin menyimpan setiap lekuk yang ada. Matanya menatapku dalam, penuh perhatian dan cinta yang tak terbendung.

Detik berikutnya, tangan itu menarikku lebih dekat, dan tanpa aba-aba, bibirnya menyentuh bibirku. Ciumannya intens, tapi tetap penuh kelembutan. Seolah ia ingin mengatakan segala sesuatu tanpa kata—hanya lewat sentuhan dan getaran yang kami bagi.

Waktu seakan berhenti, ketika ciuman itu berlangsung. Aku merasakan setiap detik, setiap tarikan napasnya, setiap denyut yang saling menyambung. Setelah cukup lama, kami perlahan melepas ciuman itu. Saat ini, tubuhku sudah berdiri dan masuk di antara kedua kakinya yang masih dalam posisi duduk. Firhan kembali memelukku, tapi kali ini pelukannya berbeda—lebih erat, seperti ingin memastikan aku tak akan pergi. Kepalanya bersandar di dadaku, dan aku mengusap rambutnya dengan lembut, seperti membelai anak kecil yang butuh rasa aman. Jemariku sesekali menyusup di sela-sela helai rambutnya, mengikuti alunan lembut setiap hela nafasnya. Di momen ini, aku merasa seolah dunia hanya milik kami berdua. Tak ada suara lain, tak ada gangguan. Hanya kami, pelukan yang hangat, dan rasa yang tumbuh semakin dalam.

Sejenak hening. Nafasnya masih terasa di dada saat aku mengangkat pandangan, membiarkan mataku menyapu seluruh ruangan.

Kamarnya cukup luas, rapi, dan terawat. Dindingnya didominasi warna putih bersih, dengan beberapa bagian diberi sentuhan gradasi abu-abu yang halus—membuat suasana terlihat tenang tapi tetap hangat. Tepat di dinding kepala tempat tidurnya, tergantung beberapa lukisan besar dengan bingkai kayu gelap. Lukisan-lukisan itu bukan karya populer, tapi punya nuansa yang dalam—seolah dipilih sendiri, bukan sekadar pajangan.

Tempat tidur king size-nya terletak di tengah ruangan, dengan dua buffet kecil berdiri di sisi kanan dan kiri, masing-masing berisi lampu meja dan beberapa buku. Tak jauh dari sana, di sudut timur, ada meja komputer lengkap dengan setup gaming-nya—monitor lebar, headphone yang tergantung rapi, dan kursi yang tampak sangat nyaman.

Sisi utara dipenuhi oleh TV LCD besar yang menempel di dinding, dan di selatan, ada kursi pijat berwarna hitam yang tampak sering dipakai. Sisanya diisi sofa berbahan lembut, dan sofa yang menempel di ujung tempat tidur—tempat kami barusan duduk, yang entah kenapa sekarang terasa jauh lebih hangat.

Lalu pandanganku terhenti.

Aku tersenyum tanpa sadar saat melihat salah satu bingkai foto yang menempel di dinding, tak jauh dari tempat tidur. Foto keluarga Firhan. Ada ayah, ibu, dan Isti—adik perempuannya. Tapi tepat di antara bingkai-bingkai itu, ada satu foto kami berdua. Aku melepaskan diri di Firhan, dan melangkah mendekat sedikit ke dinding itu, gambarnya tampak kami berdua tengah duduk di taman. Aku ingat momen itu. Itu diambil saat pertemuan kelima kami—hari ketika kami pulang dari perpustakaan bersama. Saat itu kami belum menikah, belum saling mengucap janji apapun. Masih berteman. Tapi senyum di wajah kami saat itu, lebih jujur dari apapun.

Mataku tertahan lebih lama pada foto itu. Rasanya seperti menonton versi lama dari kami yang masih belum sadar seberapa besar arti kehadiran masing-masing. Yang hanya tahu, saat itu, dunia terasa lebih mudah kalau dijalani tanpa ada masalah apapun.

Aku menarik napas pelan. Sementara Firhan ternyata telah berada di balik punggungku. Suamiku ini kemudian memelukku dari belakang, tanpa berkata apa-apa. Tapi dari cara dia memelukku … aku tahu dia juga mengingat momen yang sama.

"Jadi, ini kamarmu?"

Firhan mengangguk sambil kepalanya sengaja di sandarkan di pundakku, sesekali mengecup bahu ini.

"Ya, ternyata ibu tidak pernah mengubah apapun di sini. Letaknya masih sama seperti terakhir aku pergi. Dan ini, kamar kita berdua sekarang," jelasnya masih menatap bingkai itu.

Aku tersenyum lebar. "kamar yang indah,"

Pelukannya terlepas, tapi kini memandangku setelah tubuhku berbalik ke arahnya.

"oh iya, Sayang, aku lupa! Ibu tadi pesan, kita jangan lama, karena sebentar lagi acaranya akan di mulai!"

Senyumku merekah. "Dan kamu lupa setelah kita berduaan di kamar ini?"

Firhan tergelak. Dia tahu aku menyindir apa.

"Baiklah, Sayang, ayo cepat ganti baju, nanti ayah dan ibu mencari kita. Oh iya, satu lagi, sebentar lagi perias akan datang untuk melayanimu." Sahut Firhan memberikan informasi yang cukup membuatku terperanjat.

Dia sangat tahu, aku paling benci hal-hal ribet seperti itu. Tapi aku tahu, kita berdua tidak bisa menghentikan ini.

Firhan lalu pamit setelah mencium keningku dan mengusap pucuk kepala. "Take your time, Babe!" bisiknya kemudian berlalu.

"Aku akan mengabarimu setelah selesai nanti!" tukasku setengah teriak saat ia telah melangkah menjauh.

Begitu ia membuka handle pintu, "Ya ampun!" Pekik Firhan setelah membuka pintu dan terkejut. "Apa yang kalian lakukan di sini?" Lanjutnya sambil memandang tajam sosok di seberang pintu—yang tak terlihat olehku.

...* * * *...

1
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
lucu banget sih, cemburuan banget bocah satu itu utututu
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
ayo semangat!!
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
shhh udah biarin ajah!
Moira Ninochka Margo: biarin apa kak? biarin abisin duitnya?haha
total 1 replies
Drezzlle
semangat menulis, nanti aku mampir lagi
Drezzlle
mampir nih
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
lanjutt!! aku tungguin Thor! hihi:)
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
lanjut!!! aku penasaran loh:)
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
ihh lanjut oke?
aku mau tau kelanjutannya!:?
iqbal nasution
lanjut
Moira Ninochka Margo: siaaap
total 1 replies
Drezzlle
hadiah bunga untukmu /Wilt/
Moira Ninochka Margo: aww makasih
total 1 replies
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
ihhh seru!!!
mampir juga yuk ke karya ku:)
iqbal nasution
lanjut
Drezzlle
mampir juga ya ke novelku
Drezzlle
romantis banget
Drezzlle
bagus ceritanya
tasha angin
Gak sabar nunggu kelanjutannya!
Moira Ninochka Margo: halo kak, makasih udah baca, udah di up ya sampai bab 10
total 1 replies
Sky blue
Salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap!
Moira Ninochka Margo: halo, makasih udah mampir dan support. Moga betah, hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!