Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terciduk
Rahim Bayaran #23
Oleh Sept September
"Cepat ganti baju sana!" ujar pria yang kini sudah berdiri tegak dengan muka masam. Agam bersiap keluar dari kamar istri kecilnya itu. Dekat-dekat dengan Dira hanya membuat sinyalnya menguat.
Dira pun hanya bisa merengut, moncongnya mengerucut. Yang salah siapa, yang marah siapa. Sekali lagi ia ke kamar mandi untuk ganti baju.
Sudah rapi, sudah segar karena habis mencuci muka. Dira merasa kembali bugar, mungkin dimarahi Agam membuat imunnya meningkat.
Ah, yang benar saja. Mungkin ia senang karena pria berhati batu itu. Meski suka marah-marah, setidaknya ada perhatian kecil untuknya.
Bibirnya melengkung, tak kala mengingat Agam yang mencoba menyuapinya. Kalo boleh berharap, sakit lebih lama pun tak apa. Karena meski dimarahi, Agam juga terlihat tambah peduli. Dasar Dira, memilih sakit karena suaminya lebih perhatian.
Padahal, bila ia tahu. Meskipun tak sakit, pria itu sudah diam-diam perhatian kepala dirinya. Hanya saja gensi, dan juga merasa tak enak hati pada istri pertamanya. Agam seolah membangun dinding pembatas antara ia dan Dira. Dengan sikap dinginnya pada gadis itu, berharap cinta tak akan masuk dan tumbuh.
Namun sayang, cinta terlanjur datang karena terbisa. Seperti sekarang.
Keluar dari kamar ia senyum-senyum sendiri.
"Kenapa keluar?"
Dira langsung menoleh.
"Sudah sehat, Mas."
"Sehat apa, doktermu bahkan belum datang."
Dira nyengir bak onta Arab. Iya juga, padahal belum diperiksa oleh Dokter. Tidak tahu kenapa, ia hanya merasa sudah fit kembali.
"Dira sudah sehat kok, ini ... lihat! Sudah tidak pusing lagi kaya tadi."
Gadis kecil itu malah melakukan gerakan berputar, ia memutar tubuhnya beberapa kali putranya.
Sudah tahu habis demam dan mengeluh kepalanya pusing. Bahkan sempat bilang langit kamarnya seolah berputar.
Dira benar-benar kurang kerjaan. Untuk membuktikan pada Agam bahwa ia sudah betul-betul sehat kembali. Malah berputar seperti penari Sufi.
Terang saja detik berikutnya ia oleng. Kakinya sudah tak bisa menyanggah lagi tubuh munggil itu. Alhasil, Dira hampir menyentuh ubin yang terbuat dari batu granit tersebut. Kalau saja lengan Agam tak spontan meraih pinggangnya.
"Kamu ini! Gak pernah hati-hati. Selalu ceroboh!" pekik pria itu marah. Bukannya apa-apa, sebab jantungnya juga hampir copot ketika melihat Dira akan jatuh nyunsep.
Dira sendiri sudah dag dig dug der. Tidak mengira akan jatuh, dan kini jantung istri Agam itu malah jadi dejak jeduk. Tubuh mereka yang berjarak sangat dekat, membuat hati Dira tak karuan.
"Mas Agam!"
Mendengar ada yang datang dan memanggil namanya, reflect Agam melepas tangan.
Hampir saja Dira kembali jatuh, namun ia bisa menjaga keseimbangan.
"Kalian sedang apa?" Denis menatap dengan pandangan penuh selidik pada dua orang itu. Jelas-jelas ia tadi melihat Agam menyentuh pinggang Dira.
"Jangan-jangan Mas Agam ada main sama Dira!" batinnya.
Agam dan Dira terlihat kikuk, keduanya salah tingkah. Seperti pasangan kekasih yang terciduk sedang berselingkuh.
"Mas suka Dira?" tanya pemuda itu dengan lantang. Sebenarnya ia sedikit marah, sebab Masnya itu kan sudah memiliki istri.
"Eh ... bukan ... bukan itu. Saya tadi mau jatuh, dan Tuan menolong saya!" Dira mencoba menghilangkan kecurigaan Denis. Tidak ingin Agam dan dirinya dicurigai.
Denis pun menatap keduanya secara bergantiian. Apa benar yang dikatakan Dira. Dia bukan orang bodoh, Denis baru sadar. Selama di rumah ini Dira tak pernah melakukan apa-apa.
Kini ia yakin 99,9 persen, Dira mungkin bukan pembantu biasa. Ah, bodohnya dia. Selama ini ia juga tahu Dira tidur di kamar tamu bukan kamar Bibi.
Rupanya Mas Agam mulai main-main, seolah menyambut permainan sang Kakak. Denis meladeni sandiwara kotor itu.
"Hemm ... kalau begitu ... Dira, nanti malam ikut aku ya ... Kita nonton, dulu Kita gak jadi ke bioskop." Denis pun memperhatikan ekspresi Agam. Ia hendak mengetes kakaknya tersebut.
Dengan dingin, Agam hanya melirik. Kemudian pergi ke ruang kerjanya. Begitu menutup pintu, barulah ia memperlihatkan wajah sesunguhnya. Kesal karena Denis, Agam mengepalkan tangan. Kalau begini mau balik rumah sakit, ia jadi ketar-ketir.
Sementara itu, setelah Agam pergi, Denis langsung menarik tangan Dira.
"Jangan main api kamu, Dira!"
"Main api?" Dahi Dira mengerut. "Waduh, jangan-jangan Mas Denis mulai curiga," batinnya.
"Kamu pikir saya bodoh? Siapa sebenarnya kamu ini?" Denis terus saja memojokkan gadis itu.
"Saya Dira Mas, Anindira. Cuma gadis kampung biasa. Saudara jauh Bibi." Dira bersikap sebiasa mungkin, padahal tubuhnya sudah mulai mengeluarkan keringan dingin. Gawat kalau ketahuan!
Mata Denis memindai dari ujung rambut sampai kaki, "Memang sih. Kaya orang udik, kampungan. Norak dan tak berkelas. Mana mungkin Mas Agam tertarik pada gadis itu. Tapi, dua itu cantik!" gumam Denis.
"Lalu ngapain kamu tinggal di sini? Aku lihat kamu tidak pernah berkerja."
Mampus! Dira binggung mau jawab apa, otaknya berputar-putar mencari jawaban ke sana ke mari.
"Itu ... anu."
Tiba-tiba Bibi melewati keduanya.
"Permisi!" Bibi sedang membawa alat pel-pelan.
Spontan Dira langsung menyambar tongkat pel tersebut.
"Kata siapa Dira ngak kerja? Tanya sama Bibi, iya kan Bi." Matanya mengedip-ngedip ke arah wanita paruh baya tersebut.
Bibi yang sudah tahu seluk beluk rahasia Tuan Agam. Langsung mengangguk.
"Selesaikan ya Dira, Bibi mau njemur pakaian."
Dengan sikap pura-pura, Dira berakting sedang ngepel.
"Awas Mas, nanti basah ... geser sana sedikit. Maaf ya ... kalau ngak bersih Tuan Agam pasti marah-marah."
Dira pun sengaja mengarahkan pel-pelan itu ke arah kaki Denis, sengaja untuk mengusir pria tersebut.
"Tunggu! Akan aku awasi kalian!" batinnya sambil meninggalkan Dira.
Begitu Denis pergi, akhirnya Dira bisa bernapas lega. Dihirupnya oksigen banyak-banyak. Denis benar-benar membuatnya sulit bernapas, bikin tegang iya!
Satu jam kemudian.
"Dira!"
Dira yang ada di dapur langsung menoleh ketika sebuah suara berbisik memanggil namanya.
"Ada apa, Tuan?" Dira clingak-clinguk takut ada Denis lagi.
"Lagi benerin motor di depan dia," ucap Agam kemudian mendekati Dira.
"Saya mau ke rumah sakit. Kamu jangan ke mana-mana!" tambah Agam.
"Mas Agam sakit?" Ada rona kecemasan yang terlihat dari mimik wajah gadis itu.
"Bukan!"
"Oh ... syukurlah. Mau jengguk orang sakit Mas?"
"Ya iyalah, mau ngapain lagi!" ketusnya.
"Siapa yang sakit, mau Dira buatkan bubur?" Dira nampak tulus saat mengatakan tawaran itu.
"Istri saya."
"Istri Mas Agam? Ah ... ya Tuhan, aku lupa. Mereka hanya pinjam rahimku. Aku bukanlah istri yang sebenarnya." Suara hati gadis penjual rahim tersebut. Meski bibirnya mengulas senyum tapi batin Dira menjerit.
"Dira bikinkan bubur buat istri Mas, boleh?"
"Tidak usah!"
Bibirnya terkatup, ada sesak yang muncul tiba-tiba.
"Ingat! Jangan pergi dengan Denis nanti malam!"
"Walau cuma nonton?"
"DIRA!" pekik Agam.
Gadis itu tertunduk, tak berani berucap lagi.
Melihat Dira yang sudah pasti sedih karena ia bentak dan larang-larang. Agam jadi sedikit tak enak hati.
Tanpa sadar, ia meraih tubuh mungil itu. Memeluknya dengan hangat.
"Kamu istri saya! Jangan dekat-dekat dengan pria lain!"
Mereka berdua tak tahu, sepasang mata menatap pemandangan yang mengusik hati tersebut dengan nanar.
Bersambung
Sopo yo? Hiyaaaa
i