Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Suasana pagi di ruang tengah kediaman Arkan dan Keira terasa seperti sidang skripsi. Mama Rina duduk di sofa tunggal dengan kacamata baca bertengger di hidungnya. Di tangannya terdapat tablet yang menampilkan grafik data dari boneka bayi Jojo. Sementara itu, Arkan dan Keira duduk berdampingan di sofa panjang dengan kepala tertunduk seperti terdakwa yang menunggu vonis hakim.
Mama Rina menggeser layar tabletnya dengan wajah serius. Sesekali beliau bergumam pelan, membuat jantung Arkan berdegup kencang karena cemas.
Setelah lima menit yang menyiksa, Mama Rina akhirnya meletakkan tablet itu di meja. Beliau melepas kacamatanya dan menatap anak serta menantunya bergantian.
"Kalian ini bagaimana sih? Masa grafik tingkat stres Jojo semalam melonjak tinggi di jam tiga pagi? Terus data sensornya mencatat kalau popoknya dipasang terbalik dan miring ke kiri. Kasihan cucu simulasi Mama sampai tidak bisa tidur nyenyak," komentar Mama Rina dengan nada kecewa yang dibuat-buat.
Arkan langsung menyikut lengan Keira.
"Itu salah Keira, Ma. Dia yang nyuruh Arkan ganti popok pas mata Arkan masih merem lima watt. Namanya juga ngantuk wajar kalau kebalik. Yang penting kan tidak bocor," bela Arkan mencari pembenaran.
Keira melotot tidak terima disalahkan.
"Enak aja. Kamu yang masang ya kamu yang salah. Lagian aku sudah gendong dia sambil nyanyi sampai suara aku serak," balas Keira sengit.
Mama Rina mengangkat tangan kanannya meminta mereka diam.
"Sudah cukup. Jangan ribut di depan anak. Meskipun Jojo cuma boneka, tapi dia punya perasaan digital. Tapi ya sudahlah. Mama lihat grafiknya stabil lagi menjelang subuh. Dan sensor suhunya mendeteksi ada dua suhu tubuh manusia yang memeluknya erat. Itu poin plus buat kalian."
Arkan dan Keira bernapas lega. Setidaknya usaha mereka berpelukan semalam membuahkan hasil positif di mata sensor canggih itu.
"Jadi kesimpulannya, kalian lulus masa percobaan tahap satu. Mama cukup puas melihat kerja sama kalian. Mama dan Papa memutuskan untuk pulang hari ini. Kasihan kucing Mama di rumah tidak ada yang kasih makan salmon," putus Mama Rina akhirnya.
Kalimat itu bagaikan musik terindah di telinga Arkan. Dia refleks berdiri dan bersorak girang.
"Alhamdulillah! Eh maksud Arkan hati-hati di jalan, Ma. Arkan pasti bakal kangen banget sama Mama," ucap Arkan meralat ekspresi bahagianya yang terlalu vulgar.
Papa Wijaya yang sedang meminum kopinya hanya tersenyum maklum. Beliau tahu persis bagaimana rasanya diawasi oleh istrinya sendiri selama dua puluh empat jam nonstop.
Satu jam kemudian, mobil orang tua Arkan akhirnya meninggalkan pekarangan rumah. Keira melambaikan tangan sampai mobil itu menghilang di tikungan komplek. Begitu mobil itu hilang, Arkan langsung menjatuhkan dirinya ke sofa ruang tamu dengan posisi terlentang.
"Merdeka! Akhirnya bebas! Gue bisa main PS lagi sepuasnya tanpa takut dikomentari," seru Arkan lega.
Keira masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintu. Dia melihat suaminya yang terkapar di sofa. Namun ada yang aneh. Wajah Arkan terlihat sangat merah. Bukan merah karena malu atau marah, tetapi merah yang tidak wajar. Keringat dingin juga membasahi dahinya padahal AC ruangan menyala cukup dingin.
Keira mendekat dan duduk di tepi sofa.
"Lo oke Arkan? Muka lo merah banget kayak udang rebus," tanya Keira khawatir.
Arkan membuka matanya sedikit. Tatapannya sayu.
"Gue oke kok, Ra. Cuma agak pusing dikit. Efek begadang jagain Jojo sama efek bahagia karena Mama pulang. Gue mau siap-siap ke kantor dulu ya. Ada rapat penting," kata Arkan berusaha bangun.
Namun baru saja dia mengangkat kepalanya, Arkan kembali jatuh terhempas ke bantalan sofa. Kepalanya berputar hebat seolah ada gempa bumi lokal.
"Arkan?" Keira panik. Dia segera menempelkan punggung tangannya ke dahi Arkan.
Panas sekali. Suhu tubuh Arkan pasti di atas tiga puluh delapan derajat.
"Badan lo panas banget! Lo demam tinggi, Arkan! Jangan sok kuat mau ke kantor. Hari ini lo libur," perintah Keira tegas.
"Enggak bisa, Ra. Gue CEO. Kalau CEO enggak masuk nanti saham anjlok. Gue harus profesional," racau Arkan dengan suara serak. Dia masih berusaha berdiri dengan kaki gemetar.
Keira menahan bahu Arkan dan mendorongnya kembali tidur.
"Diem di situ. Saham enggak bakal anjlok cuma gara-gara lo sakit sehari. Yang ada lo pingsan di ruang rapat terus bikin malu karyawan. Nurut sama gue atau gue panggil Mama balik ke sini," ancam Keira.
Mendengar ancaman Mama akan dipanggil balik, nyali Arkan langsung ciut. Dia pasrah berbaring kembali.
"Jangan panggil Mama. Gue nyerah. Gue sakit. Kepala gue rasanya mau pecah, Ra. Tulang gue linu semua. Kayaknya gue kena kutukan boneka Jojo," keluh Arkan mulai mendrama.
Keira menggelengkan kepala.
"Itu bukan kutukan boneka. Itu akumulasi dari lo makan sambal sekilo terus yoga ekstrem terus begadang semalaman. Daya tahan tubuh lo ambruk. Tunggu di sini gue ambil termometer sama kompres," kata Keira lalu beranjak pergi.
Hari itu Keira terpaksa izin tidak masuk kantor dengan alasan urusan keluarga mendesak. Dia tidak tega meninggalkan bayi besar ini sendirian di rumah. Apalagi Arkan kalau sakit sifat manjanya naik sepuluh kali lipat.
Keira kembali membawa baskom air hangat, handuk kecil, dan termometer. Dia menyelipkan termometer ke ketiak Arkan. Arkan menurut seperti anak kucing yang sakit.
"Tiga puluh sembilan koma dua derajat. Tinggi banget," gumam Keira melihat angka di termometer.
"Kita ke dokter ya? Gue takut lo kenapa-kenapa," ajak Keira.
Arkan menggeleng lemah. Dia menarik selimut sampai menutupi hidungnya. Matanya berair.
"Enggak mau ke dokter. Takut disuntik. Dokter itu jahat, Ra, jarumnya gede. Gue di rumah aja sama lo. Lo rawat gue ya?" pinta Arkan dengan suara sengau.
Keira menghela napas. Sisi CEO garang yang kemarin melabrak Rio hilang tak berbekas digantikan oleh sisi bocah lima tahun.
"Iya gue rawat. Sekarang lo tidur. Gue mau bikin bubur," kata Keira.
Dia meletakkan kain kompres di dahi Arkan. Arkan memejamkan mata menikmati sensasi dingin di dahinya yang berdenyut.
"Jangan lama-lama ya, Ra. Gue takut sendirian. Kalau ada malaikat pencabut nyawa datang, bilangin gue lagi cuti sakit," pesan Arkan ngawur.
Keira tidak menanggapi omongan ngelantur itu dan langsung menuju dapur. Dia berkutat dengan beras dan panci. Keira bukan koki handal, tetapi untuk membuat bubur ayam sederhana dia cukup percaya diri. Dia memasak bubur dengan kaldu ayam, jahe, dan sedikit garam. Sengaja dia buat tidak terlalu berbumbu agar aman untuk perut Arkan yang baru sembuh dari tragedi sambal.
Setengah jam kemudian, Keira kembali ke kamar dengan nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air putih. Arkan masih terpejam tapi keningnya berkerut menahan sakit.
"Arkan bangun dulu. Makan sedikit biar bisa minum obat," panggil Keira lembut sambil menepuk pipi suaminya.
Arkan membuka mata perlahan. Dia berusaha duduk dibantu oleh Keira yang menumpuk bantal di punggungnya.
"Suapin," pinta Arkan manja sambil membuka mulutnya.
Keira menyendokkan bubur itu dan meniupnya sebentar sebelum menyuapkannya ke mulut Arkan. Arkan menerima suapan itu lalu mengunyahnya perlahan. Tiba-tiba wajahnya berubah masam.
"Enggak enak. Hambar. Kayak makan lem kertas," komentar Arkan jujur tapi menyakitkan.
Keira menahan keinginan untuk menjejalkan mangkok ke mulut Arkan.
"Lidah lo lagi pait, Arkan. Orang sakit emang gitu rasanya. Ini bubur enak kok, gue udah cobain tadi. Udah telen aja jangan banyak protes. Ini obat bukan kuliner," omel Keira.
Arkan cemberut tapi tetap membuka mulutnya lagi.
"Kasih kecap dikit kek, Ra. Atau kerupuk. Ini beneran nyiksa batin gue," tawar Arkan.
"Enggak boleh. Lo lagi sakit radang tenggorokan juga kayaknya, suara lo serek gitu. Kerupuk bikin batuk. Makan yang halus-halus dulu," tolak Keira tegas.
Dengan penuh perjuangan, Keira berhasil memasukkan sepuluh suap bubur ke perut Arkan. Setelah itu dia memberikan obat penurun panas.
"Pait Ra obatnya," rengek Arkan setelah menelan pil itu.
"Namanya obat ya pait. Kalau manis namanya janji lo pas ngelamar gue," sindir Keira sambil membereskan nampan.
Arkan tertawa kecil meski suaranya parau. Dia meraih tangan Keira dan menahannya agar tidak pergi.
"Jangan pergi dulu. Duduk sini sebentar. Gue kedinginan," kata Arkan. Badannya mulai menggigil efek demam yang sedang bertarung melawan obat.
Keira meletakkan nampan di meja nakas lalu duduk di tepi ranjang. Dia membetulkan letak selimut Arkan.
"Gue di sini kok. Enggak ke mana-mana," ucap Keira menenangkan.
Arkan menggenggam tangan Keira erat. Panas dari tangan Arkan menjalar ke kulit Keira.
"Ra, maaf ya gue ngerepotin. Padahal gue janji mau jagain lo, malah gue yang tumbang," gumam Arkan pelan, matanya mulai terpejam karena efek obat yang mengantuk.
"Enggak apa-apa. Gantian. Kemarin lo udah jagain gue dari serangan Clara dan Sasha. Sekarang giliran gue jadi garda terdepan ngelawan virus di badan lo," jawab Keira sambil mengusap rambut Arkan yang lepek oleh keringat.
Arkan tersenyum tipis. Sentuhan tangan Keira di kepalanya terasa sangat nyaman. Lebih ampuh daripada obat tidur manapun.
"Lo tau enggak, Ra? Dulu gue pikir nikah itu nyeremin. Kebebasan gue bakal ilang. Tapi ternyata nikah sama lo asik juga. Ada yang ngomelin gue kalau gue salah. Ada yang bikinin bubur hambar pas gue sakit," racau Arkan setengah sadar.
Keira tersenyum geli. Bubur hambar masih saja dibahas.
"Tidur Arkan. Lo mulai ngelantur," bisik Keira.
"Jangan tinggalin gue ya, Ra. Sampai gue sembuh. Sampai gue tua. Sampai gue ompong," gumam Arkan makin pelan hingga akhirnya dengkuran halus terdengar.
Keira menatap wajah suaminya yang tertidur pulas. Wajah yang biasanya tengil itu kini terlihat rapuh dan polos. Keira membungkuk dan mencium kening Arkan yang panas.
"Cepet sembuh, Bayi Besar. Rumah ini sepi kalau lo enggak berisik," bisik Keira tulus.
Dia tidak beranjak dari tempat duduknya, tetap membiarkan tangannya digenggam erat oleh Arkan sepanjang siang itu. Di luar matahari bersinar terik, tetapi di dalam kamar itu ada kehangatan yang berbeda. Kehangatan dua hati yang semakin terpaut oleh keadaan.