Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYO BAWA DIA KE RUMAH KITA!
Bhumi 😈 : seharusnya ini sudah lama saya lakukan
Mata Thalia membulat begitu melihat foto yang dikirim Bhumi padanya. Ia yang sedang mengobrol bersama Indah dan Julian pun tidak sadar berdecak kesal.
Cuaca yang sedang hujan siang itu tidak lantas meredakan panasnya dada Thalia. Perubahan raut wajah Thalia disadari dengan cepat oleh Julian.
"Ada apa, Tha?" tanya Julian, menyentuh punggung tangan Thalia yang berada di meja.
Thalia mengangkat wajahnya dan tersenyum canggung. Baru menyadari bahwa ia tak sengaja mengumpat di depan Indah. Jika hanya Julian, Thalia mungkin akan bersikap biasa saja.
"Pembahasan pentingnya udah selesai, kan? Aku udah bisa pulang?" Thalia menatap Julian dan Indah bergantian.
Indah sempat terdiam lama. Kemudian, mengangguk cepat. "Boleh kok, Mbak. Ini nanti biar aku yang urus."
Thalia tersenyum lebar pada Indah. Kemudian menatap Julian. "Jul? Ngomong sama Indah aja, ya nanti konsep fotonya gimana. Aku udah harus pulang."
Julian mendesah pelan. Bukan karena harus menunda pembahasan photoshoot untuk produk skincare yang baru, tetapi karena Thalia yang sepertinya enggan berbagi cerita dengannya.
"Kamu tolong ambil catatan di meja Bu Meira ya, Ndah." Tatapan Julian tetap tertuju pada Thalia.
Indah yang mengerti suasana di antara Thalia dan Julian kurang kondusif pun mengangguk. Tanpa menunggu lama, Indah segera pergi.
Tinggallah Thalia dan Julian yang berada di ruangan Julian. Tidak biasanya Thalia merasakan tegang saat berhadapan dengan Julian. Namun, meskipun Thalia sedang menatap layar ponselnya, ia jelas tahu bahwa sekarang mata Julian tertuju padanya.
"Mau sampai kapan, Tha?" tanya Julian, lembut.
Thalia mengulas senyum di wajah tenangnya. "Ini nggak ada kaitannya sama kamu, Jul. Kali ini biarkan aku selesain semuanya sendiri, ya."
Julian menghela napas panjang. Ia pun mengubah posisi duduknya jadi menghadap Thalia.
"Aku nggak apa-apa kamu menolak lamaranku. Tapi kenapa kamu harus menjauhiku begini? Tentang Jemia juga. Kamu nggak bilang perihal Bhumi yang sudah tahu tentang Jemia."
Nada kecewa itu membuat Thalia tercekat. "Jangan gitulah, Jul. Aku nggak pernah jauhin kamu. Tapi apa yang kamu bilang ke aku kemarin buat aku canggung."
Julian memegang bahu Thalia. Kemudian mengulas senyum hangat seperti biasanya. Kalau tahu akhirnya akan membuat Thalia tidak nyaman, Julian akan memilih untuk menyimpan perasaannya itu.
Kebahagiaan dan kenyamanan Thalia adalah prioritasnya.
"Jangan serius begitu. Anggap aja yang kemarin hanya angin lalu. Yaa anggap aku cuma iseng dan capek karena disuruh Mama buat nikah."
"Susah sih tapi ya udahlah. Aku harus pura-pura nggak tahu aja."
Embusan napas lega Thalia terdengar. Wanita itu lalu memeluk Julian. Pelukan hangat layaknya seorang sahabat. Ucapan terima kasih Thalia atas kesediaan Julian menemaninya selama ini.
"Udah, jangan terharu begitu. Nanti dilihat Jemia loh." Julian terkekeh, mengusap lembut punggung Thalia.
Mendengar nama Jemia, Thalia pun mengingat sesuatu. Ia harus lekas ke tempat Jemia.
"Aku pulang dulu, ya." Thalia mengurai pelukannya pada Julian.
"Aku antar, ya. Masih hujan lebat loh ini. Kamu akan kesulitan cari taksi."
Thalia menggeleng. "Kamu di sini aja. Kan tadi belum selesai. Lagian taksinya udah dapat kok."
Julian hendak protes, tetapi Thalia dengan cepat bersuara, "Diam di sini aja, Jul. Tenang aja, kali ini aku bisa sendiri."
"Yaaa...." Julian pasrah, dengan wajah masam. Tidak terima Thalia menolak bantuannya.
Thalia tertawa melihat reaksi Julian. Wanita itu mengacak rambut Julian dengan jahil. Kemudian segera meraih tasnya.
"Udah jangan cemberut. Aku duluan, ya. Bye, Julombo!"
"Apaan itu! Nggak banget!"
Tawa Thalia semakin keras. Ia pun akhirnya pergi meningalkan ruangan tersebut.
***
Thalia masuk ke rumah dengan berlari kecil. Mengabaikan rambut dan bajunya yang sedikit basah karena hujan. Salahnya sendiri karena tidak menunggu sopir taksi tadi memayungkan dirinya.
Thalia bisa lebih lega karena mobil hitam milik Bhumi tidak terdapat di depan rumah. Artinya Bhumi sudah pulang dan itu lebih baik menurut Thalia daripada harus berdebat dengan pria itu di depan Jemia.
"Ya ampun, Bu Thalia kok hujan-hujan begini?" Bi Asih yang melihat majikannya kehujanan itu sangat panik.
"Jemia mana, Bi?" tanya Thalia langsung. Matanya menyapu seisi ruangan dan tidak menemukan Jemia di ruang tengah.
Bi Asih terlihat cemas. "Non Mia ngambek, Bu. Sekarang dia lagi tidur di kamar."
"Ngambek? Ada apa?" kedua alis Thalia tertaut, menatap Bi Asih dengan bingung. "Ini dia lagi sama Mbak Rina, ya?"
Belum sempat Bi Asih menjawab, suara pintu kamar Jemia pun terbuka dan membuat Thalia menoleh.
Wajah bingungnya berubah terkejut. Meskipun Bhumi sudah mengirimkan foto kebersamaannya dan Jemia, Thalia tidak mengira Bhumi akan berada di rumahnya hingga sekarang.
"Kamu basah-basah begini? Ayo ganti baju dulu!" Bhumi yang baru saja selesai menidurkan Jemia melangkah mendekati Thalia dengan cemas.
Bhumi menerima handuk kecil yang baru saja Bi Asih berikan untuknya. Dengan lembut Bhumi mengeringkan rambut Thalia.
Thalia menepis itu. Kemudian, menarik tangan Bhumi dan melangkah cepat menuju kamarnya.
Pintu kamar lekas ia kunci. Begitu Thalia berbalik, matanya menatap Bhumi dengan marah. Wajahnya mengeras.
"Baju kamu masih ba—"
"Kamu ngapain di sini?" sela Thalia datar.
"Menemui putri saya. Apa lagi?" Suara santai Bhumi membuat Thalia menggeram kesal. "Kamu kenapa terlihat marah begini?"
Thalia mengabaikan rasa dingin tubuhnya karena bajunya yang lembab. Bahkan tetesan air yang berasal dari beberapa helai rambutnya pun tidak ia pedulikan.
"Kamu lancang, Bhumi!" desis Thalia.
Bhumi mendesah panjang. Ia jelas khawatir dengan penampilan Thalia yang basah tersebut. Namun, tatapan tajam dan kepalan tangannya membuat Bhumi paham bahwa Thalia sangat marah dengan kedatangannya.
"Jemia putri kandung saya. Di mana letak lancangnya saya?" Bhumi melipat tangannya di dada. Wajahnya datar, mencoba tak bereaksi dengan kemarahan dan kekhawatirannya pada Thalia.
Thalia benci Bhumi. Sangat!
"Kamu mau ambil Jemia, kan? Kamu pasti mau umumin kehadiran Jemia untuk kekuasaan kamu, kan?"
Bhumi melangkah mendekati Thalia. Pikiran wanita itu sungguh di luar akalnya.
"Saya tidak pernah berencana mengambil Jemia, Thalia. Kamu dan dia adalah hal yang paling berharga dalam hidup saya. Bagaimana bisa saya memisahkan kalian berdua?"
Gemertak gigi Thalia terdengar. Bibirnya pucat.
"Kamu bohong!" Thalia memukul dada bidang Bhumi. "Aku hanya kamu nikahi karena balas dendam. Dan Jemia... Dia hanya akan kamu gunakan untuk alat. Kamu jahat, Bhumi! Kamu jahat!"
Rasa dingin itu semakin menyergap tubuhnya.
Bhumi menggeram kesal. Wanita mungil di depannya itu terus meracau hal yang konyol.
"Kenapa sulit sekali untuk kamu mempercayai saya? Bahkan sejak awal, kamu lah yang menciptakan semua kebohongan ini."
"Aku hanya ingin melindungi Jemia dari kamu. Aku nggak mau apa yang terjadi padaku akan Jemia alami juga. Kamu nggak tahu gimana sakitnya hanya dijadikan alat oleh ayah kamu!" Napas Thalia semakin memburu. Dadanya kembang kempis karena amarah.
Namun, air matanya mulai membuat matanya berkaca-kaca.
Bhumi tercekat. Ia tidak pernah tahu sisi lemahnya seorang Thalia. Bhumi semakin mendekat. Diangkatnya dagu wanita itu. Kemudian, diusapnya air mata itu dengan jempol.
"Saya akan membawa Jemia tinggal di rumah kita."
*
*
*
Terima kasih untuk bantuan kalian, ya 😊
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr
kurang ka,
coba gimana rasanya ntar pas ketemu langsung, Jemia menolak km sebagai Papanya.. atau reaksimu saat Jemia malah berdoa untuk Papa yg katanya udah di Surga... 🤭