NovelToon NovelToon
Brautifully Hurt

Brautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Negosiasi Para Pria

Begitu Rendra pulang malam itu, rumah terasa kembali sunyi. Tapi Dinda tahu, keheningan itu hanya jeda sebelum badai pertanyaan.

Pagi harinya, ia dipanggil ke ruang tengah. Rani duduk tegak, tangan di pangkuan, tatapannya cemas, seperti sedang mengukur berapa banyak kebenaran yang sanggup ia terima. Seno berdiri di dekat jendela, memegang rokok di sela jarinya.

"Kenapa wajah suamimu sampai begitu kemarin, Din?" Tanya Seno. "Dan kenapa kamu tidur berhari-hari di apartment Tania?" Lanjutnya.

Dinda duduk perlahan, merasakan jantungnya berdegup cepat. Tidak ada cara manis untuk cerita ini. Sekali ia buka, semua akan berubah.

Ia mulai bicara. Tentang kontrak yang ia temukan, hitam di atas putih. Yang menjelaskan bahwa pernikahannya dulu bukan hanya soal balas budi, tapi transaksi antara Brata dan Rendra. Saham. Posisi. Legitimasi. Dinda hanya alat untuk mencapai itu semua. Lalu tentang perkelahian Rendra dengan Bima di depan rumah, bukan cuma pertengkaran kecil, tapi amarah yang lepas kendali.

Rani mendengarkan dengan wajah pucat, tangannya perlahan mencengkeram ujung kain baju.

Dinda buka juga kotak masa lalu Rendra yang paling kelam. Tentang traumanya karena kematian ibunya. Tentang bagaimana Rendra tumbuh dengan luka yang tidak pernah sembuh, dan bagaimana luka itu membentuk pria yang ia nikahi sekarang.

Dan yang paling berat, tentang kebiasaan Rendra di masa lalu yang suka 'menyewa' perempuan untuk memuaskan diri. Bukan rumor, tapi bukti yang ia dengar sendiri melalui rekaman suara dari Namira.

Setiap kata yang keluar terasa seperti duri, tapi ia tahu tidak ada gunanya lagi melindungi reputasi suaminya.

Rani dan Seno saling berpandangan, wajah mereka tegang. Tak ada komentar, hanya keheningan yang terasa berat.

Seno membuang puntung rokoknya ke asbak dengan gerakan yang terlalu keras. Rahangnya mengencang. Rani hanya bisa menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca.

Akhirnya, Dinda menunduk sedikit. Suaranya hampir hilang, "Dan... ada kemungkinan Dinda lagi hamil."

Keheningan setelahnya berbeda. Lebih pekat. Seno memejamkan mata, menghela napas panjang, sementara Rani menatap putrinya lama-lama, seperti berusaha memahami bagaimana semuanya bisa sampai di titik ini.

Ini bukan lagi soal mereka setuju atau tidak. Ini soal hidup Dinda yang sudah tidak akan sama lagi, apa pun yang terjadi nanti.

Seno masih berdiri di dekat jendela, punggungnya sedikit membungkuk. Setelah Dinda selesai bicara, ia tidak langsung menanggapi. Hanya tatapannya yang jatuh ke lantai, lama sekali, seperti mencari kata-kata yang tepat tapi tidak menemukannya.

"Ayah kira... ini akan baik buat kamu." suaranya pelan, berat. "Ayah pikir, keluarga Pak Brata bisa jaga kamu. Bisa buat hidup kamu lebih aman dan nyaman. Ternyata Ayah salah."

Dinda menatap ayahnya. Ada gurat lelah di wajah Seno, bukan sekadar marah, ini rasa bersalah.

Rani menghela napas panjang, lalu meraih tangan Dinda, "Sekarang yang penting kamu aman dulu. Masalah Rendra, masalah keluarganya... nanti kita pikirin pelan-pelan." Matanya tajam, tapi genggamannya hangat.

"Kalau kamu hamil, kita pastikan kamu sehat. Itu prioritas."

Seno mengangguk, "Ayah nggak peduli lagi soal hutang budi. Kalau memang dia menyakiti kamu... kamu nggak usah kembali ke sana."

Ruangan itu hening lagi. Bukan hening yang memojokkan, tapi hening yang seperti memberi izin padanya untuk bernapas tanpa takut dihakimi.

Dinda merasakan air mata mengalir di pipinya, tapi kali ini bukan karena sedih. Ini karena lega. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa tidak sendirian.

...***...

Setelah mengirimkan surat pembatalan kontrak secara tertulis melalui email kepada Brata, Rendra langsung menghubungi ayahnya lewat telepon.

Tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol 'call'. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia gugup seperti ini saat akan bicara dengan ayahnya.

"Pa--" suaranya keluar lebih pelan dari yang ia inginkan. "Saya mau batalin kontraknya. Sudah saya kirim lewat email, tolong dikonfirmasi."

Brata menanggapi dengan nada tegas, "Kenapa? Ini sudah jadi kesepakatan yang menguntungkan semua pihak."

Rendra menarik napas panjang sebelum menjawab, "Dinda sudah tau. Dia ninggalin saya. Dia minta cerai."

Hening sejenak.

"Gimana bisa kamu sebodoh itu?!" Suara Brata meninggi. "Kamu sudah punya posisi, istri, dan panggung. Tinggal mainkan peran. Kenapa harus ada drama lain?!"

"Saya nggak tau lagi harus gimana. Saya cuma mau dia nggak benci saya." Suaranya turun, hampir seperti bisikan.

Lalu Brata tertawa, pendek, tanpa humor. "Kamu dengar diri kamu sekarang? Kamu bukan remaja yang lagi patah hati, Rendra!" Nadanya mengejek, tapi ada sesuatu yang lain di sana. Kekecewaan. "Kalau nggak ada kontrak itu, posisimu bergantung sepenuhnya pada sikap Papa, Dewan Komisaris, dan Investor. Kamu bisa ditendang kapan aja dari posisi itu."

"Saya bisa pertahankan posisi saya tanpa kontrak itu." Rendra berusaha terdengar yakin, tapi jelas ada keraguan pada suaranya.

"Dengan apa? Dengan skill? Kerja keras?" Brata mendengus. "Kamu pikir itu cukup? Di level ini bukan cuma kerja keras yang kamu butuhkan! Kamu harus punya power, harus stabil. Kamu nggak bisa punya cacat!"

Rendra diam. Tidak bisa membantah.

"Jangan bilang kamu jatuh cinta sungguhan sama dia." Ujar Brata tidak percaya.

Rendra tidak menjawab.

"Astaga." Brata mendengus.

Melihat putranya tidak berdaya seperti ini membuatnya kesal luar biasa. Dia jadi seperti sapi yang ditusuk hidungnya hanya karena seorang perempuan. Bukan tanpa alasan Brata memberinya nama 'Narendra'. Dia dipersiapkan jadi raja. Untuk bisnis dan warisannya, juga untuk orang-orangnya. Raja harus kuat. Emosional bukan sikap laki-laki kuat.

Kemudian ia melanjutkan, "Ya, boleh aja. Tapi pakai juga kepalamu. Ini bukan cuma soal drama cinta kalian! Ada kepentingan perusahaan dan politik besar di balik ini. Kalau kalian sampai cerai, semuanya bisa berantakan!" tegas Brata.

Rendra menunduk sejenak, lalu berkata, "Saya akan berusaha buat dia maafin saya."

Brata membalas dengan nada tegas, "Kamu atur sendiri. Yang jelas, kamu harus buat dia kembali. Kalau nggak bisa, biar Papa yang urus."

Rendra menggeretakkan giginya. Dia kenal ayahnya. Brata akan memakai semua cara untuk mengejar keinginannya. Dia tidak akan peduli pada keadaan orang lain, ia bisa saja memaksa dan menyakiti Dinda.

"Jangan ikut campur." Desisnya, "Hubungan saya dan Dinda, itu urusan saya."

"Selama itu mempengaruhi kepentingan Papa, itu juga urusan Papa." Brata menjawab dingin, lalu menutup teleponnya.

Rendra menatap layar ponselnya yang menjadi gelap. Napasnya berat. Tangannya masih gemetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang ia tahan.

Ia melempar ponsel ke sofa, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

...***...

Keesokan harinya, Rendra, Brata, dan Seno memutuskan bertemu di rumah pribadi Brata di Menteng. Sejak pagi, Seno bersikap kaku pada Brata, matanya selalu mengukur setiap gerak-gerik sang presiden.

Rendra masuk ke ruang tamu dengan langkah tenang, menyapa keduanya, lalu duduk di samping Brata. Kini, ayah dan anak itu menghadapi Seno, suasana di sana penuh ketegangan.

Wajah Seno kaku, matanya bergeser dari Brata ke Rendra, lalu kembali ke Brata. "Saya mau minta penjelasan soal kontrak pernikahan yang disebut Dinda." katanya datar.

Brata tersenyum tipis, seolah pertemuan ini bukan interogasi, tapi sekadar reuni santai. "Seno, dunia bisnis kadang... memerlukan kesepakatan yang tidak semua pihak nyaman mendengarnya di awal. Saya pikir, pernikahan Dinda dan Rendra akan menguntungkan kedua keluarga. Dan nyatanya mereka berdua akhirnya saling mencintai, jadi kita tidak perlu membicarakan kontrak itu lagi." Nadanya halus, tapi setiap kata terasa diukur. "Kalau pun ada miskomunikasi, itu bisa kita perbaiki." Lanjutnya.

"Miskomunikasi?" Seno mengulang, suaranya meninggi setengah nada, "Itu perjanjian tertulis. Dan isinya jelas bukan tentang membahagiakan anak saya."

Brata hanya mengangkat alisnya dan tetap tersenyum, "Tapi sekarang mereka memiliki perasaan yang sama. Mereka tinggal menyelesaikan masalah rumah tangganya. Kontrak itu--"

"Sudah saya batalkan." potong Rendra, suaranya tegas.

Brata menoleh padanya, tatapannya sekilas tajam, lalu kembali datar.

Seno menatap Rendra, menunggu.

Rendra menarik napas dalam, "Saya menikahi Dinda karena kontrak, itu memang benar. Awalnya cuma karena saya mau saham Mandhala. Tapi sekarang... saya nggak peduli saham, nggak peduli kontrak. Saya sudah kirim surat pembatalannya ke Papa kemarin."

Lalu ia menatap Seno lekat, "Saya cuma mau Dinda kembali. Bukan karena perjanjian, tapi karena saya cinta sama dia. Dan saya rela kehilangan semua yang pernah saya kejar di awal, asal dia mau pulang."

Seno terdiam. Brata masih duduk dengan senyum tipisnya, tapi jelas ada ketegangan di udara, seperti ada pertarungan sunyi antara kata-kata manipulatif Brata dan pengakuan tulus Rendra.

"Apa jaminannya kamu nggak akan sakiti Dinda lagi?" Tanya Seno tajam.

"Nggak ada janji yang bisa hapus semua salah saya, Yah. Saya nggak mau bohong. Dinda berhak marah, berhak nggak percaya. Tapi saya bisa buktikan dari tindakan saya nanti. Mulai hari ini nggak ada rahasia, nggak ada kebohongan. Semua yang Dinda mau tau, saya akan jawab. Semua yang dia minta, saya akan jalani. Dia boleh uji saya."

Seno masih menatapnya, rahangnya mengeras.

Rendra menambahkan, suaranya lebih rendah, "Sekarang Dinda lagi hamil. Anak itu bagian dari saya, dan saya nggak akan biarkan dia jalani ini sendirian. Kalau saya sakiti dia lagi, saya rela Ayah sendiri yang ambil dia dari saya untuk selamanya."

Kata-kata itu membuat Brata yang sejak tadi tenang mengamati, menurunkan senyum tipisnya.

Sedangkan Seno berusaha menilai ketulusan hati Rendra. Sepertinya ia serius. Rendra tampaknya bertentangan dengan Brata demi Dinda. Ia sadar perasaan Rendra pada Dinda tidak lagi transaksional. Ada perasaan yang tulus di sana. Ia juga realistis. Dari awal Seno membiarkan perjodohan ini terjadi karena alasan hutang budi dan karena mereka "keluarga kuat". Bagi Seno keselamatan dan perlindungan Dinda adalah harga mati. Selama Rendra masih punya pengaruh atau sumber daya untuk menjaga Dinda dan anak yang akan lahir, itu cukup untuk alasan bertahan. Tapi ia tidak akan memaksakan apapun lagi pada Dinda. Kali ini, ia akan membiarkan putrinya yang memutuskan.

Dari perspektif orang tua, pikiran Seno bisa dimengerti. Tapi caranya menilai situasi, masih menempatkan hubungan dalam kerangka transaksional.

Dan pertemuan ini memang dibuat untuk kepentingan Dinda. Perasaan Rendra padanya juga nyata, tapi pola lama yang menempatkan Dinda sebagai objek keputusan pria-pria di sekitarnya belum hilang. Persetujuannya tetap terpinggirkan.

...***...

1
Ecci Syafirairwan
🥰
Roxy-chan gacha club uwu
Ceritanya asik banget, aku jadi nggak tahan ingin tahu kelanjutannya. Update cepat ya thor!
PrettyDuck: Ditunggu ya kakk. Aku biasanya update jam 2 siang 🥰🥰
total 1 replies
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
PrettyDuck: Aa thank you kakak udah jadi semangatku untuk update 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!