Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Sementara itu, di rumah orang tua Alin, suasana sore menjelang malam terasa tegang. Alin mondar-mandir di depan pintu, langkahnya tak beraturan, ekspresinya kesal bercampur gelisah.
“Aaaargh! Kenapa sih, Mas Jodi gak datang-datang juga?! Ini udah waktunya dia pulang kan? Tadi dia bilang sendiri mau jemput aku. Tapi lihat nih, udah hampir sejam aku nunggu, masih juga belum kelihatan!” gerutunya sambil menatap jalanan kosong di depan rumah.
“Sayang, kamu kenapa mondar-mandir dari tadi?” tanya Mama Wina lembut, mendekat dengan senyum tipis.
“Alin lagi nunggu Mas Jodi, Ma. Dia udah janji mau jemput, tapi sampai sekarang gak nongol juga,” jawab Alin dengan nada jengkel.
“Mungkin dia masih di rumah sakit, Lin. Kamu tahu sendiri kan pekerjaannya? Dia pasti sibuk,” ujar Mama mencoba menenangkan.
“Selalu alasan itu, Ma. Sibuk, sibuk, sibuk! Semua orang juga sibuk!” Alin mendecak keras, kemudian menatap kosong ke arah pagar. “Mas, kamu mau bikin aku kecewa lagi ya?” gumamnya lirih tapi getir.
“Kalau begitu, coba kamu hubungi lagi. Siapa tahu dia lupa,” saran Mama lembut.
Alin menghela napas berat. Ia membuka tas, mengambil ponsel, lalu menekan nomor suaminya dengan cepat. Namun beberapa detik kemudian, wajahnya berubah tegang.
“Gak bisa dihubungi, Ma. Nomornya gak aktif,” katanya pelan, tapi matanya mulai berkaca-kaca.
Mama Wina tampak ikut cemas. “Semoga gak terjadi apa-apa sama suami kamu, Lin. Kalau begitu, apa sebaiknya kamu pulang sendiri saja?”
Alin langsung menggeleng keras. “Gak mau. Alin maunya dijemput sama Mas Jodi. Titik.” ujarnya tegas, nada suaranya meninggi tanpa sadar.
Mama Wina terdiam, memandangi putrinya yang kini tampak dikuasai emosi. Napas Alin tersengal pelan, tangannya berkacak di pinggang, matanya menatap kosong ke arah jalan.
“Ya sudah, terserah kamu saja, Lin. Tapi Mama gak suka, ya, kalau kamu marah-marah begitu,” ucap Mama Wina hati-hati.
“Siapa yang marah-marah, sih, Ma?” sahut Alin cepat, nada suaranya meninggi sedikit, seperti refleks membela diri.
Mama Wina menghela napas panjang, menatap anaknya dengan campuran lelah dan khawatir. “Iya, iya… sudah. Mama cuma tanya.”
Ia diam sejenak, lalu menatap Alin lagi dengan nada yang lebih lembut.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu masih belum juga menjenguk ibu kamu, Lin? Kamu tahu, kemarin Mbak Erin hubungi Mama lagi. Katanya, ibu kamu terus menanyakan kamu, kapan kamu mau datang.”
Alin langsung memutar tubuhnya, ekspresinya berubah kaku. “Aduh, Ma… bisa gak berhenti bahas wanita itu? Beneran deh, itu tuh bikin mood Alin rusak.”
“Astaga, Alin! Ibu kamu itu cuma mau ketemu kamu, apa susahnya sih?” suara Mama Wina meninggi, nadanya campuran antara kesal dan putus asa. “Luangin waktu sebentar aja buat datang, masa itu aja gak bisa?”
Alin menunduk, menarik napas panjang sebelum menjawab. “Iya, iya, nanti Alin ke sana, kok…” ucapnya pelan, lalu menatap ibunya dengan tatapan jenuh. “Tapi Alin gak mau kalau sendirian. Alin mau sama Mas Jodi. Mama tahu kan, Alin gak nyaman kalau cuma sendiri.”
Mama Wina menghela napas panjang, menatap putrinya yang kini tampak seperti anak kecil yang sedang ngambek, padahal hatinya sedang rapuh. “Alin, sampai kapan kamu mau terus kayak gini?”
Namun Alin tak menjawab. Ia hanya diam, menatap lantai, berusaha menyembunyikan sesuatu di balik matanya, rasa takut yang bahkan ia sendiri tak tahu dari mana asalnya.
Jujur saja, jauh di lubuk hatinya, Alin masih menyimpan bara yang belum padam, kebencian pada ibu kandungnya… dan pada seseorang yang namanya bahkan tak sanggup ia sebut. Setiap kali bayangan masa lalunya muncul, dadanya terasa sesak, seolah waktu sengaja menyeretnya kembali ke neraka yang dulu pernah ia tinggali.
Hari ketika ia tahu akan diangkat anak oleh keluarga terpandang adalah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Saat itu, ia merasa seolah pintu surga terbuka untuknya, akhirnya ia bisa keluar dari kehidupan kelam yang menjerat.
Dan sejak hari itu pula, ia membunuh dirinya yang lama.
Mengganti nama, mengganti takdir, mengganti segalanya.
Masa lalunya ia kubur dalam-dalam, bersama semua luka yang tak ingin ia ingat lagi.
Satu-satunya hal yang masih ingin ia genggam dari masa lalunya hanyalah satu, impian untuk memiliki Jodi.
Itu bukan sekadar keinginan, tapi obsesi yang tumbuh dari luka dan kesepian.
Ia sudah kehilangan segalanya sekali, dan kali ini… ia tak akan membiarkan itu terulang.
Jika untuk memiliki Jodi ia harus menempuh jalan gelap, maka ia akan melangkah tanpa ragu.
Bahkan jika artinya… dulu ia harus mengorbankan seseorang.
...----------------...
Sementara itu dirumah sakit jiwa Harapan Insani.
“Baiklah, Sus,” ucap Jodi pelan, tapi nada suaranya terdengar dingin,terlalu tenang untuk disebut wajar. Ia menatap Suster Risa tanpa berkedip, sorot matanya menusuk seolah menembus pikiran lawan bicaranya.
“Kalau besok orang bernama Damar itu datang lagi…” ujarnya sambil mengetukkan jari di meja, pelan tapi berirama, menahan emosi yang jelas bergolak di balik wajah datarnya.
“Segera beritahu saya. Jangan biarkan dia mendekat ke ruang Miranda. Sekalipun hanya untuk melihat dari jauh.”
Ia berhenti sejenak, pandangannya beralih ke jendela, lalu kembali pada Suster Risa dengan tatapan yang lebih gelap.
“Dan satu lagi, Sus…” suaranya merendah, nyaris seperti ancaman yang disamarkan.
“Jangan biarkan siapa pun tahu soal ini.”
Begitu Suster Risa menunduk dan keluar dari ruangan, Jodi bersandar di kursinya.
Suara langkah sepatu suster menjauh di lorong, perlahan tenggelam dalam keheningan rumah sakit malam itu.
Ruangan kembali sunyi, hanya terdengar dengung halus pendingin ruangan dan detak jam dinding yang terasa terlalu keras di telinganya.
Jodi menatap berkas di meja,nama Miranda tertulis jelas di sudut kertas itu. Ia menyentuhnya perlahan, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh dan berharga.
“Damar…” gumamnya pelan.
Nama itu kini menari di kepalanya, mengusik pikirannya seperti suara yang tak mau diam.
Siapa sebenarnya dia?
Kenapa datang diam-diam?
Dan yang paling mengganggu, kenapa perasaan Jodi seolah… terancam?
Ia meremas kertas di tangannya. Rahangnya mengeras, napasnya terdengar berat.
“Tidak ada yang boleh membawanya pergi,” bisiknya pelan, matanya menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya sendiri.
“Tidak dia… tidak siapa pun.”
Dalam pantulan kaca, Jodi melihat sosoknya sendiri, dengan mata yang merah, lelah, tapi penuh sesuatu yang lebih gelap dari sekadar rasa sayang.
Rasa memiliki.
Tangannya perlahan bergerak ke dada, menekan jantungnya yang berdetak terlalu cepat.
“Apa yang sebenarnya aku rasakan ini…?” ucapnya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Namun tak ada jawaban.
Hanya keheningan, dan tatapan kosongnya yang semakin dalam, seperti seseorang yang mulai kehilangan arah antara cinta, obsesi, dan kegilaan..
......................
Lorong rumah sakit malam itu terasa lengang. Hanya suara langkah Jodi yang terdengar pelan di antara pantulan cahaya lampu neon. Sudah larut, tapi entah kenapa, langkahnya tak membawanya ke pintu keluar, melainkan ke arah ruang rawat Miranda.
Dari luar, Jodi bisa melihat sosoknya , duduk di kursi dekat jendela, mengenakan cardigan abu-abu, rambutnya tergerai lembut. Ia tampak memandangi langit malam yang bertabur bintang, seolah sedang berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat.
Jodi berhenti di depan pintu, menatap pemandangan itu dalam diam. Ada sesuatu yang lembut namun kuat terpancar dari wanita itu, sesuatu yang sulit dijelaskan tapi membuatnya enggan berpaling.
Perlahan ia mengetuk pintu.
Tok… tok…
Miranda menoleh, senyum kecil muncul di wajahnya begitu melihat siapa yang datang.
“Dokter Jodi,” sapanya lembut.
Jodi masuk perlahan. “Kamu belum tidur?” tanyanya, berusaha terdengar santai, meski di dadanya ada debar yang tidak semestinya.
Miranda menggeleng. “Aku tidak bisa tidur. Langit malam ini terlalu indah untuk dilewatkan.”
Ia menatap kembali ke arah jendela. “Sudah lama aku tidak melihat bintang.”
Jodi menatapnya, dan untuk sesaat, ia kehilangan kata-kata.
Ada ketenangan dalam suaranya, tapi juga kesepian yang dalam.
“Sekarang kamu bisa melihatnya sebanyak yang kamu mau,” ucap Jodi akhirnya. “Artinya kamu sudah jauh lebih baik, Mira..”
Miranda menoleh, menatapnya, matanya bening, teduh, tapi mengandung sesuatu yang sulit ditebak, antara kesadaran dan mimpi, antara kenyataan dan delusi.
“Mas Dokter…” ucapnya pelan, suaranya bergetar lembut. “Kenapa dokter begitu baik sama Mira? Selalu datang, selalu peduli… Dokter kan tahu, kalau Mira… suka sama Mas Dokter.”
Deg.
Kata-kata itu menembus Jodi seperti anak panah.
Ia terpaku, tidak tahu harus menatap ke mana.
Untuk sesaat, ruangan itu seolah menjadi sunyi total, hanya terdengar detak jam di dinding dan napas mereka berdua yang saling berkejaran.
“Mi-mira” Jodi berusaha mengatur nada suaranya, tapi entah kenapa ia justru tidak bisa berkata apa-apa.
Jodi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya justru semakin berantakan.
Kadang Miranda menatapnya sebagai Jodi, dokter yang merawatnya.
Namun di lain waktu, tatapan itu berubah… lembut, penuh cinta, seolah ia sedang menatap suaminya. Gala.
Dan di antara dua dunia itu, Jodi tersesat.
Ia tahu batas yang harus dijaga, tapi setiap kali Miranda memanggilnya Mas Dokter dengan suara selembut itu, setiap kali mata itu mencari dirinya, rasanya seperti ada bagian dari dirinya yang ikut tenggelam ke dalam delusi milik Miranda.
"Sial… kalau begini terus," Jodi pikir, mungkin suatu hari ia sendiri yang akan gila..
Satu hal yang ia tahu, ada sesuatu yang berbeda.
Bersama Miranda, Jodi merasa tenang. Tidak ada nafsu, tidak ada tuntutan.
Hanya ketenangan… dan rasa ingin melindungi dan menjaganya.
Sementara di pikirannya, bayangan Alin muncul singkat, bersama segala keributan, teriakan, dan cengkeraman penuh gairah yang tak pernah memberi kedamaian.
Jodi mengusap wajahnya, menyadari sesuatu yang menakutkan namun tak bisa ia pungkiri,
ia mulai takut pulang.
Karena di sisi Miranda, ia menemukan ketenangan.
Sementara bersama Alin, yang tersisa hanyalah panas, hasrat, dan kebohongan yang terus menekan dadanya..
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...