NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KINGSGUARDS : SUSTER YUKO' PEACEFUL PLACE

Pagi di Niflheim selalu diawali dengan sorotan cahaya keemasan yang memandikan kota megah itu, membuat kubah-kubah Gereja besar tampak berkilauan. Di dalam dinding Gereja Niflheim, Gereja tempat Suster Yuko mengabdi, ketenangan yang mendalam telah terbangun jauh sebelum lonceng jam pertama berbunyi.

Suster Yuko sudah berada di kapel utama, jubah hitam panjangnya yang dihiasi aksen emas dan untaian rantai perhiasan tradisional membalut tubuhnya, memberinya aura wibawa yang lembut. Rambut hitam pendeknya tergerai rapi, dan matanya yang tenang menatap ke altar, memancarkan kedewasaan dan ketenangan batin yang menjadi ciri khasnya. Beliau bukan hanya biarawati, tetapi juga tiang penyangga spiritual bagi banyak orang.

Setelah menyelesaikan doa paginya, Suster Yuko beranjak ke halaman samping Gereja. Di sana, sudah terdengar tawa dan celoteh riang dari anak-anak yang dirawat Gereja.

"Selamat pagi, Suster Yuko!" sapa salah satu anak laki-laki kecil dengan antusias, berlari mendekat.

Suster Yuko tersenyum hangat—senyum yang mampu menenangkan bahkan badai terdahsyat—sambil mengelus kepala anak itu.

"Selamat pagi juga, anak-anakku," jawabnya, suaranya lembut dan menenangkan. "Apakah kalian sudah sarapan dengan baik?"

Beberapa anak mengangguk, yang lain menunjukkan mangkuk kosong mereka sebagai bukti.

"Bagus sekali," kata Suster Yuko, lalu pandangannya beralih ke deretan tanaman obat di sudut halaman. "Sekarang, siapa yang mau membantu Suster menyiram dan merawat kebun kecil kita hari ini? Kita harus memastikan tanaman-tanaman itu tumbuh kuat, sama seperti kalian."

Beberapa anak segera mengangkat tangan, bersemangat untuk mendapatkan tugas. Suster Yuko dengan sabar membagikan tugas dan mengawasi mereka, sesekali memberikan instruksi atau membantu mengangkat kaleng air yang terlalu berat.

Menjelang tengah hari, setelah anak-anak kembali ke ruang kegiatan mereka, seorang tentara muda berseragam Shirayuki Sakura (lambang militer terlihat jelas di bahunya) datang ke gerbang Gereja. Ia memberi hormat dengan tegas saat melihat Suster Yuko.

"Suster Yuko," sapanya dengan suara hormat, "Saya datang atas perintah Kapten Hatsuaki. Beliau mengirimkan persediaan bahan makanan tambahan untuk Gereja dan juga sebotol ramuan pemulih yang dibuat oleh tabib militer. Beliau berharap Suster dan semua yang ada di sini sehat selalu."

Suster Yuko berjalan mendekat, ketenangan di wajahnya tidak pernah pudar. Ia tahu bahwa ini adalah bentuk terima kasih dan kasih sayang Hatsuaki—anak yang ia rawat sejak bayi—yang kini telah menjadi perwira militer di Shirayuki Sakura.

"Terima kasih, Nak," ujar Suster Yuko, menerima persediaan itu dari tentara tersebut. "Tolong sampaikan pada Hatsuaki bahwa ia tidak perlu terlalu khawatir pada kami. Kasih sayang dan perhatiannya sudah lebih dari cukup. Katakan padanya untuk fokus pada tugasnya dan selalu menjaga dirinya. Gereja ini akan selalu mendoakan keselamatannya."

Tentara itu mengangguk, terkesan oleh wibawa dan kehangatan Suster Yuko. "Pesan Suster akan saya sampaikan. Permisi, Suster."

Setelah tentara itu pergi, Suster Yuko mengatur bahan makanan dan ramuan tersebut, memastikan semuanya disimpan dengan baik. Kemudian, ia duduk di meja kayunya yang sederhana, di mana sebuah buku besar tergeletak terbuka. Ia mulai menulis laporan inventaris dan jadwal kegiatan mingguan Gereja.

Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana namun rapi, yang merupakan salah satu warga Niflheim, menghampiri Suster Yuko dengan wajah cemas.

"Suster Yuko," kata wanita itu, suaranya bergetar, "Suamiku... dia sakit lagi, dan persediaan ramuan penyembuh kami habis. Aku tahu Suster selalu memiliki nasihat yang bijak. Apa yang harus kulakukan?"

Suster Yuko menutup bukunya dan mengalihkan perhatian penuhnya pada wanita itu, tatapannya penuh kasih dan empati.

"Duduklah di sini sebentar, Nyonya," ajak Suster Yuko dengan nada meyakinkan, menunjuk kursi di hadapannya. "Ketenangan adalah obat pertama. Mari kita bicarakan dulu tentang kondisinya. Ingatlah, Nyonya, bahwa kepanikan tidak akan menyembuhkan. 'Dalam kekacauan gejolak dunia tengah, ketenangan batin adalah benteng terkuat kita.'"

Suster Yuko kemudian dengan sabar mendengarkan keluh kesah wanita itu, memberikan nasihat tentang perawatan dasar dan cara mendapatkan pertolongan medis dari tabib kota. Akhirnya, dengan hati-hati, ia mengambil botol ramuan pemulih yang baru dikirim Hatsuaki.

"Ambillah ini, Nyonya," kata Suster Yuko sambil menyerahkan ramuan itu. "Ini adalah hadiah. Gunakan dengan bijak untuk suamimu. Dan yang paling penting, pertahankan keyakinan dan kekuatan Nyonya. Kehadiranmu yang tenang akan memberinya kekuatan lebih dari ramuan apa pun."

Wanita itu menerima botol ramuan itu dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Suster Yuko. Saya sungguh tidak tahu harus berbuat apa tanpamu."

Suster Yuko hanya tersenyum, senyum tulus yang memancarkan kekuatan dari hati yang penuh kasih. "Pergilah dengan damai, Nyonya. Dan jangan lupa, di Niflheim yang cerah dan megah ini, kita semua adalah satu keluarga. Bantuan selalu ada bagi mereka yang mencarinya dengan hati terbuka."

Seiring matahari mulai condong ke barat, Suster Yuko kembali ke kapel. Ia berdiri sendirian di tengah kemegahan Gereja, memancarkan aura ketenangan di tengah-tengah kota yang sibuk, sosok wanita kuat dan tulus, teladan kebaikan yang tak lekang oleh waktu.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hari menjelang sore di Niflheim. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca patri Gereja besar mulai memudar, mewarnai interior batu dengan nuansa ungu dan jingga yang hangat. Meskipun diliputi bayangan, suasana di dalam Gereja terasa sangat nyaman dan damai, seolah dilindungi oleh kedamaian abadi.

Suster Yuko duduk di bangku kayu dekat jendela besar, memegang sebuah buku tua berhalaman tebal. Dia tidak benar-benar membaca; matanya yang tenang tertuju pada halaman, tetapi pikirannya berkelana pada tugas-tugas harian dan doa yang tak terucapkan. Aroma dupa yang tersisa dari ibadah sore masih tercium samar, menambah ketenangan.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki yang ragu-ragu mendekat dari lorong utama. Langkah itu berhenti tepat di sampingnya.

Suster Yuko menoleh dengan gerakan lembut, menemukan seorang pria paruh baya berdiri di sana, mengenakan pakaian pekerja kasar dari Niflheim. Ekspresi wajahnya tampak lelah dan dilanda kekhawatiran yang mendalam.

"Suster Yuko," bisik pria itu, suaranya serak. "Maaf mengganggu ketenangan Anda. Saya… saya hanya butuh sebentar."

Suster Yuko menutup bukunya dengan pelan dan meletakkannya di sampingnya. Ia memberi isyarat agar pria itu duduk di sebelahnya.

"Duduklah, Saudaraku," kata Suster Yuko, nadanya menenangkan seperti air mengalir. "Gereja ini selalu terbuka untuk hati yang membutuhkan kedamaian. Tidak ada yang namanya gangguan di sini. Apa yang membebani pikiranmu?"

Pria itu duduk dengan canggung, memainkan topi yang ia pegang di tangannya. "Ini tentang panen, Suster. Musim dingin datang lebih awal dari perkiraan, dan kekhawatiran melanda para petani. Kami takut persediaan makanan kami tidak akan cukup sampai musim semi." Ia menghela napas berat. "Kecemasan itu... itu menghancurkan tidur saya."

Suster Yuko mendengarkan dengan penuh perhatian, membiarkan keheningan mengisi jeda setelah pria itu berbicara. Matanya memancarkan empati yang tulus.

"Aku mengerti beban yang kau rasakan," kata Suster Yuko perlahan. "Kekhawatiran akan kelangsungan hidup adalah hal yang nyata dan berat. Namun, izinkan aku bertanya padamu. Apakah kekhawatiranmu hari ini dapat mengubah cuaca esok hari?"

Pria itu terdiam, menggelengkan kepalanya. "Tidak, Suster. Tentu saja tidak."

"Maka," lanjut Suster Yuko, suaranya penuh kebijaksanaan, "jangan biarkan kekhawatiran atas hal yang tidak dapat kau ubah mencuri kekuatan yang kau butuhkan untuk menghadapi hari ini. Fokuskan kekuatanmu, dan kekuatan komunitasmu, untuk melakukan apa yang bisa dilakukan. Lindungi apa yang sudah kau panen. Bagi dan kelola persediaan dengan bijak."

Ia meletakkan tangannya di atas tangan pria itu dengan sentuhan lembut namun tegas.

"Jangan biarkan rasa takut menguasai akal sehat. Bahkan di malam yang paling gelap, kita masih dapat menyalakan obor. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan Niflheim tanpa harapan, dan tidak akan meninggalkan umat-Nya tanpa jalan keluar. Kau adalah orang yang kuat, jangan lupakan itu."

Wajah pria itu tampak lebih rileks, seolah beban yang ia pikul telah sedikit terangkat. Ia menatap Suster Yuko dengan rasa terima kasih yang mendalam.

"Terima kasih, Suster Yuko," katanya dengan suara yang lebih mantap. "Nasihat Anda... benar-benar seperti embun yang menyejukkan. Saya merasa sedikit lebih baik. Saya tahu apa yang harus saya lakukan sekarang."

Suster Yuko tersenyum. "Pergilah dengan ketenangan, Saudaraku. Lakukan bagianmu hari ini, dan serahkan sisanya pada kekuatan yang lebih besar. Jika kesulitan datang, Gereja ini akan selalu berdiri bersama rakyat Niflheim."

Pria itu berdiri, membungkuk hormat, dan kemudian melangkah menjauh, langkahnya kini terasa lebih pasti.

Suster Yuko kembali menatap cahaya yang memudar, ketenangan kembali menyelimuti dirinya. Ia mengambil kembali bukunya, tetapi alih-alih membaca, ia hanya menikmati kedamaian di dalam Gereja. Baginya, melayani sesama dengan kebijaksanaan dan kasih sayang adalah doa yang paling indah. Kehangatan hatinya membuat sudut Gereja itu terasa nyaman, bahkan saat bayangan malam mulai turun.

...

...

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!