"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malah Makin Marah
Malam itu, langit Surabaya seperti berhiaskan ribuan bunga api. Suara letusan beruntun membelah udara, menyulap gelap malam menjadi lautan warna merah, biru, ungu, dan keemasan, semuanya berpadu di atas gedung tinggi tempat Arsen dan Luna berdiri.
Luna berdiri di sisi balkon, angin malam meniup rambutnya. Tatapan matanya menari bersama kilau cahaya di langit, dan tawa kecilnya terdengar renyah setiap kali ledakan cahaya membentuk pola yang indah.
“Lihat, Pak!” serunya, bertepuk tangan kecil dengan mata berbinar. “Cantik sekali! Seperti hujan cahaya….” Bicaranya kadang-kadang lebih banyak formal, mungkin karena belum terbiasa.
Dari sisinya, Arsen menatapnya dalam diam. Ada sesuatu di pandangannya yang membuat dia tidak bisa berhenti memandang. Ia menanggalkan jas hitamnya, lalu menyampirkannya ke punggung Luna dengan gerakan lembut.
“Agak dingin,” ucapnya singkat.
Perempuan itu menoleh lalu tersenyum. “Kok aku, kalau ba-mas maksudnya, masuk angin gimana? Untuk ....”
“Saat ini aku bukan Boss mu.”
Luna memutar bola mata, sudut matanya itu memicing tapi kemudian dia tersenyum. Selama empat tahun ini, dia yang selalu menjaga Arsen, jadi mungkin, ... Ah tidak, Luna takut jantungnya berdebar kembali.
Mereka berdiri berdampingan, tanpa banyak bicara, hanya membiarkan langit bicara lewat gemuruh dan kilau warna. Untuk sesaat, waktu seperti berhenti. Dunia seolah menyusut menjadi hanya dua orang di atap yang tinggi, menatap langit yang sama.
Namun ketenangan itu terganggu ketika ponsel Arsen bergetar di saku celananya. Ia sempat mengabaikannya, tapi getaran itu terus berlanjut, disertai nada dering yang khas.
“Ibu Ratu.”
Arsen menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat telepon tersebut.
“Ya, Bu,” ucapnya tenang, tapi pandangan matanya berubah dingin.
“Arsen! Di mana kamu sekarang? Pulang sekarang juga!”
Oh Tuhan, Arsen menghela napasnya. Dia benar-benar tidak tahu kenapa ibunya tiba-tiba merepet seperti ini.
“Bu, apaan sih, aku cuma ....”
“Jangan banyak alasan! Pulang. Sekarang juga. Dan bawa istri kamu itu. Kalau tidak, aku pastikan kamu akan menyesal. Paham?!!!”
Terdengar bunyi klik keras, lalu sambungan terputus begitu saja.
Arsen menatap layar ponselnya beberapa detik, sebelum akhirnya menyimpannya kembali ke saku.
“Astaga.”
Luna yang sedari tadi mencuri curi pandang, perlahan menurunkan tangannya. Senyum di wajahnya sirna karena wajah sang suami yang kembali serius.
“Ada apa, Mas?” tanyanya pelan. “Apa Mas harus pergi? ... Lagi?”
“Heum. Ibu minta aku buat pulang.” Hanya itu saja, dia tidak menceritakan kalau ibunya sudah tahu tentang pernikahan mereka.
Meskipun agak sulit, Luna berusaha untuk tersenyum, meski matanya memantulkan cahaya kembang api yang kini terasa agak pahit.
“Kalau begitu, pergi aja, Mas. Aku enggak papa.”
Tapi, pria itu tetap diam. Ada jeda panjang di antara mereka. Sebelum akhirnya Arsen semakin mendekati sang istri.
“Luna,” katanya pelan. “Aku ingin membawamu pulang. Tapi… sekarang bukan waktu yang tepat.”
“Enggak papa, Mas. Aku ngerti. Pergi aja dulu, sebelum Ibu makin marah.”
Lagi-lagi, Arsen menatap wajah itu lama, Tapi akhirnya, ia mengangguk. “Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumssalam.”
Luna berdiri mematung di tempatnya, menatap punggung Arsen yang semakin menjauh.
Kembang api masih bertebaran di langit, tapi entah kenapa, semua warnanya kini terasa pudar. Ledakannya hanya menyisakan gema kosong yang mengiris telinga.
Perlahan, ia mengembuskan napas panjang, menatap ke langit untuk terakhir kalinya. “Ternyata, enggak seindah tadi,” gumamnya lirih.
Beberapa menit kemudian, ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi pemesanan taksi online.
“Padahal, apa susahnya kalau anter aku pulang dulu.”
“Dek!” Arsen tiba-tiba kembali, muncul di depan Luna dan tiba-tiba langsung memeluknya. Luna sampai tertegun, tidak tahu harus bagaimana.
“Sorry, aku antar pulang dulu.”
Seketika senyum di wajah Luna mengembang. Dia membalas pelukan Arsen dan sekarang, pria itulah yang terdiam.
Ternyata lebih hangat pemiliknya daripada jasnya, begitulah pikir Luna.
** **
Setelah mengucapkan salam, Arsen masuk ke dalam rumah besar milik orangtuanya.
Pria itu melangkah malas menuju ruang tengah yang di sana masih duduk ibunya.
“Aku pulang.”
“Masih inget pulang kamu, Arsen? Kenapa akhir-akhir ini kamu jarang di rumah, Padahal ibu tahu kalau kamu enggak ada urusan kantor di luar kota.”
“Ada apa sih, Bu? Apa yang mau Ibu ributin, bilang aja langsung. Aku mau istirahat.”
“Cih.” Bu Monik berdecih sebal. “Katanya kamu udah nikah? Sama siapa? Katanya cewek miskin yang ibunya gila?”
“Bu ....”
Plak!
Satu tamparan pelak mendarat di pipi Arsen, tapi pria itu terlihat biasa saja. Ya toh yang menampar dia juga sudah keriput. Jadi, dia harus mengalah.
“Ibu udah bilang, cari jodoh yang bener? Bisa-bisanya kamu nikah sama perempuan enggak jelas. Dia lahir di luar nikah? Astaghfirullah ....”
“Dia juga miskin banget!” lanjut Arsen menambahkan.
“Apa!” kaget Bu Monik, dia memukul bahu anaknya berkali-kali sampai akhirnya berhenti karena capek sendiri. “Kenapa sih kamu enggak mau denger apa kata Ibu?” gumamnya sambil menangis.
“Terus Ibu mau kayak gimana? Ngeduda seumur hidup?!”
“Arsennnnn!” bentak Bu Monik.
“Aku capek, Bu!” balas Arsen membentak. Pria itu sudah tidak tahan karena selalu dipojokkan seperti ini. “Kurang apa aku selama ini, apapun yang Ibu minta aku kasih, tapi kenapa semuanya masih kurang, Heumm? Aku nyaman sama dia, terus salahnya di mana?”
“Asal usulnya Arsen, masa sih kamu mau jadiin anak haram buat jadi ibu dari anak-anak kamu, terus kamu mau kalau anak-anak kamu punya nenek gila?”
“Emang siapa yang bilang aku mau punya anak?”
Deg!
Bu Monik buru-buru beranjak, matanya menatap tajam Arsen yang juga mendongak menatapnya.
“Udah cukup, Bu. Enggak ada yang bisa aku kasih lagi. Udah ....”
Arsen beranjak dari duduknya, dia berbalik tapi tiba-tiba Bu Monik memekik.
“Ceraikan dia sekarang juga, Arsen. Atau keluar dari rumah ini!”
Pria itu tersenyum menyeringai, dia kembali pada ibunya, menatap sang ibu dengan senyum mengejek.
“Kalau aku bilang aku bisa ngusir Ibu gimana?”
“Apa?”
Di pojok rumah itu, sosok Zea malah gemetar ketakutan. Bukan ini yang dia mau, kenapa Om-nya susah sekali diurus. Kenapa ibunya juga dilawan?
“Astaga .... Nenek bisa masuk rumah sakit kalau kayak gini caranya.”
jadi maksudnya apa ya?????