Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sandiwara diruang putih
Lorong rumah sakit selalu punya aroma yang sama, campuran antiseptik dan udara dingin yang buat dada Gue sesak. Tapi kali ini, rasa sesaknya beda.
Bukan cuma karena udara, tapi karena pikiran yang udah penuh sama hal yang nggak bisa Gue ubah. Langkah Gue aja berat untuk balik ke ruangan Mama.
Gue baru aja selesai nganter Adrian ke depan lobi, setelah debat kecil yang ujung-ujungnya buat Gue ngalah. Sekarang, kepala Gue masih penuh dengan omongannya yang santai, sementara hati Gue... masih berat sama semuanya.
Begitu sampai di depan pintu kamar Mama, Gue berhenti. Pintu itu nggak tertutup rapat, sedikit terbuka. Dari celahnya, Gue bisa liat tiga sosok di dalam. Papa duduk di kursi dekat jendela, Mama bersandar lemah di ranjang, dan di antara mereka... Daryl.
Gue refleks narik napas panjang.
Dia berdiri dengan gaya santainya yang khas, senyum tipis di wajah, dan nada suaranya sekilas lebih mirip orang yang lagi pamer brosur ketimbang seseorang yang peduli, lengkap dengan gestur tangan yang keliatan dilatih di depan kaca.
Bahkan caranya berdiri pun kayak udah diatur buat keliatan paling siap, paling bisa diandalkan dan paling bohong.
"Semua bisa dibereskan, Om, Tante. Saya udah atur beberapa langkah buat sementara, biar perusahaan nggak goyah. Tenang aja, semua aman," katanya dengan suara yang menenangkan.
Mama mengangguk pelan. "Kamu benar-benar perhatian banget. Tante jadi ngerasa tenang kalau kamu yang pegang kendali."
"Alya harus banyak belajar dari kamu. Kedewasaanmu itu luar biasa. Om bisa liat masa depan perusahaan ini di tangan yang tepat." Papa juga ikut menimpali.
Perlahan, Gue ngerasain sesuatu nyangkut di tenggorokan. Kata-kata Papa barusan rasanya kayak tamparan, bukan yang buat sadar, tapi yang ninggalin perih lama.
Kayak peringatan halus bahwa posisi Gue udah digeser pelan-pelan, tanpa mereka sadar... dan tanpa Gue sempat bertahan.
Daryl menunduk sopan, pura-pura rendah hati. "Saya cuma berusaha yang terbaik, Om. Saya nggak akan biarin usaha keluarga ini jatuh."
Gue pengen ketawa, pengen banget. Tapi bukan ketawa lucu, ketawa getir.
Gue udah tau bakal kayak gini. Gue udah siap dari awal, bahwa setiap kali Daryl buka mulut, orang-orang bakal percaya. Karena dia selalu ngomong pakek nada yang penuh keyakinan dan ekspresi yang bisa buat siapapun luluh.
Tapi tetep aja, liat Mama dan Papa duduk di situ, ngeliatin dia kayak malaikat, itu sakit.
Gue akhirnya dorong pintu perlahan, masuk tanpa suara.
Tiga pasang mata langsung nengok. Daryl yang paling cepat nyambut, senyum ramahnya langsung nongol, kayak semua yang terjadi antara kami tadi nggak pernah ada.
"Kamu akhirnya udah balik. Tadi aku sempat khawatir, takut kamu kelelahan," suaranya lembut, terlalu lembut.
Gue cuma berdiri di ambang pintu, nahan diri buat nggak muter balik. Tanpa menjawab Gue hanya meliatnya datar.
"Sini, Nak. Daryl ternyata besuk sambil membawa kabar baik buat kita." Mama langsung bersuara.
Nada lembut Mama biasanya buat Gue tenang. Tapi kali ini, malah buat telinga Gue berdenging.
Gue jalan pelan, duduk di kursi seberang ranjang Mama. Tatapan Gue cuma ke arah tangan Mama yang pucat, berusaha nggak liat ke arah Daryl. Tapi dari sudut mata, Gue bisa liat dia masih berdiri tegak, percaya diri, dengan aura orang baik yang buat semua orang terkecoh.
"Daryl barusan jelasin rencana bagus. Kayaknya ini solusi yang kita butuh. Papa pikir, nggak ada salahnya kasih dia wewenang penuh untuk sementara waktu." Papa mulai ngomong lagi, nadanya serius tapi penuh harapan.
Gue langsung mendongak. "Maksud Papa, semua keputusan diserahkan ke dia? Kenapa? Bukannya Papa udah percaya sama aku?"
Daryl buru-buru angkat tangan. "Oh, nggak sepenuhnya begitu, Alya. Aku cuma bantu mengatur arus sementara. Semua tetap di bawah kendali keluarga kok."
Tapi Gue tau, itu cuma permainan kata. Dia emang jago ngomong tanpa bohong secara langsung, tapi tetap memutar fakta.
"Kalian percaya aja gitu sama dia setelah semua yang terjadi?" Gue akhirnya ngomong, berusaha menahan nada suara biar nggak meledak.
Mama menatap Gue pelan. "Alya, jangan keras kepala. Kamu kan tau, Daryl ini udah banyak bantu kita. Dia nggak kayak yang kamu pikir."
Gue nyengir kecil, tapi pahit. "Kalian yang nggak mau liat apa yang sebenarnya terjadi?"
Keheningan jatuh di ruangan itu. Daryl tetap tenang, bahkan sempat merapikan jasnya. "Aku ngerti kamu lagi banyak tekanan. Tapi aku nggak pernah bermaksud nyakitin siapa pun. Aku cuma pengen bantu," katanya dengan nada teduh dan tatapan mata yang terlalu tenang untuk seseorang yang baru aja dijatuhin tuduhan.
Kata-katanya manis, tapi rasanya kayak racun di udara.
Gue pengen banget nonjok wajahnya, tapi Gue tau nggak akan ada gunanya.
"Nak, mungkin kamu lagi capek. Mama nggak mau kamu terus mikirin hal buruk. Daryl di sini cuma mau nolong." Mama langsung memotong dengan nada yang lemah tapi tegas,
Gue nyaris ketawa sarkastik.
Gue cuma pengen marah, tapi waktu liat Mama pucat dan masih berusaha tersenyum, semua amarah itu kayak ketahan di tenggorokan.
"Terserah Mama sama Papa. Tapi kalau nanti semuanya jatuh, jangan ngomong aku nggak pernah ngingetin."
Papa menghela napas panjang, kayak udah malas debat. "Papa tau kamu sayang sama perusahaan ini, tapi kamu juga harus belajar percaya. Dunia bisnis butuh orang kayak Daryl."
Daryl cuma menunduk sopan lagi, tapi dari raut wajahnya, Gue tau, dia menang.
Gue pengen banget keluar dari ruangan itu, tapi kaki Gue kayak nempel di lantai. Gue cuma duduk di sana, jadi penonton di tengah sandiwara yang disutradarai Daryl dengan sempurna.
Dan ketika Daryl akhirnya berpamitan, nyium tangan Mama, lalu jabat tangan Papa, Gue cuma bisa berdiri diam, pura-pura nggak peduli padahal dada Gue panas banget.
Begitu dia lewat di depan Gue, dia sempat berbisik pelan, cukup buat Gue aja yang denger.
"Santai aja. Semuanya di bawah kendali." nada suaranya penuh kemenangan.
Gue cuma bisa membalas dengan tatapan datar, walau tangan Gue udah mengepal di sisi badan.
Begitu pintu menutup di belakangnya, Gue akhirnya tarik napas panjang. Mama masih nyender lemah, Papa duduk diam di kursinya. Nggak ada yang ngomong.
Dan di momen ini, yang hilang bukan cuma hati nurani Daryl, tapi juga kepercayaan keluarga Gue.
Gue cuma bisa menatap langit-langit ruangan ini lama-lama, nahan napas biar air mata nggak jatuh.
Rasanya kayak sendirian di tengah orang yang dulu paling Gue percaya. Sekarang, semuanya benar-benar nggak sama lagi.