Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. PULANG?
Aruna membuka matanya perlahan, cahaya tipis yang menembus kisi-kisi jendela kamar menyapa pandangannya yang masih buram. Rasa berat di kepala seakan masih menggantung, tetapi napasnya kini lebih teratur dibanding tiga hari terakhir. Suara burung yang bersahutan dari kejauhan, aroma dedaunan basah setelah embun malam, dan kelembutan kain sprei yang menyelimuti tubuhnya membuat Aruna sadar bahwa ia masih berada di kediaman Gubernur Van der Capellen.
Beberapa detik ia hanya berbaring, membiarkan kesadarannya kembali sepenuhnya. Baru kemudian, samar-samar ia mendengar suara langkah tergesa mendekat.
"Non Aruna! Syukur alhamdulillah, Non sudah membuka mata." Itu suara salah satu babu perempuan, lirih namun sarat kegembiraan.
Tak lama, pintu kamar terbuka lebih lebar. Bayangan tubuh jangkung Van der Capellen muncul di ambang pintu, sorot matanya penuh kelegaan.
"Aruna, kau sudah siuman," kata Van der, suaranya menggetarkan udara di ruangan itu.
Aruna menoleh perlahan, tatapannya bertemu dengan mata Van der. Ada seberkas cahaya lega, bahkan kelembutan yang jarang ia lihat dari sosok gubernur yang biasanya begitu tegas. Sejenak, Aruna hanya bisa diam, suaranya belum sanggup keluar. Tenggorokannya kering, bibirnya pecah-pecah karena panas yang menahan tubuhnya berhari-hari.
Melihat itu, Van der memberi isyarat. Salah seorang babu segera mendekat, membawa semangkuk air hangat dan sendok. Dengan cekatan, ia membasahi bibir Aruna sedikit demi sedikit lalu seteguk demi seteguk air kemudian disentuhkan ke mulutnya, hingga kerongkongan Aruna tidak lagi sekaku tadi.
"Terima kasih," Aruna berbisik, suaranya lemah namun tulus.
Van der menghela napas lega. "Kau membuat semua orang di rumah ini cemas, terutama aku," ucapnya, duduk di kursi dekat ranjang. "Tiga hari lamanya kau terbaring tanpa sadar. Tabib berkata tubuhmu terlalu letih, jiwamu terbebani rasa takut dan cemas yang kau tahan seorang diri."
Aruna terdiam, matanya menerawang. Ada perasaan hangat yang muncul, bukan hanya karena tubuhnya baru saja selamat dari demam panjang, tetapi juga karena perhatian yang begitu nyata dari orang-orang di sekelilingnya. Ia merasakan genggaman lembut di tangannya; tangan besar Van der, kokoh namun penuh ketulusan, seakan hendak memastikan ia tetap berada di dunia nyata.
Hari-hari pemulihan Aruna berlangsung dalam suasana penuh perhatian. Setiap pagi, seorang babu membawakan bubur hangat yang dimasak dengan rempah lembut agar tubuhnya cepat pulih. Siang hari, ia ditemani membaca atau mendengar kisah ringan yang dibacakan oleh salah seorang pelayan yang pandai bercerita. Malamnya, Van der kerap datang, sekadar duduk menemani atau memastikan suhu tubuh Aruna tidak naik lagi.
"Gubernur memperhatikan Nyai, bahkan tidak pernah pergi dari sisi Nyai selama Nyai sakit," bisik seorang babu suatu malam sambil merapikan selimut Aruna. Kalimat itu membuat hati Aruna bergetar.
Perlahan, rona wajahnya kembali. Pipi yang sempat pucat kini mulai memerah. Tubuhnya yang lemah mulai sanggup bergerak.
Hingga pada suatu pagi yang cerah, ketika mentari mengintip malu-malu di balik dedaunan trembesi, Van der sendiri mengajak Aruna keluar ke taman.
"Kau perlu merasakan matahari," ucapnya sambil menopang lengan Aruna dengan hati-hati.
Langkah-langkah kecil Aruna mengiringi sang gubernur, melewati lorong panjang hingga akhirnya tiba di taman belakang. Udara pagi terasa segar, embun masih menggantung di ujung rumput. Burung-burung beterbangan rendah, kicauannya berpadu dengan desir angin.
Aruna duduk di kursi rotan yang sudah disiapkan di bawah pohon flamboyan. Matanya memejam, menikmati sentuhan hangat matahari di wajahnya. Ada rasa damai yang merambat pelan, seakan tubuhnya benar-benar kembali ke pelukan alam.
Van der duduk di sampingnya, diam sejenak, lalu menatap gadis itu dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Aruna," suaranya pelan namun jelas, "bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"
Aruna membuka matanya perlahan, menoleh. "Tentu, Tuan."
Van der menatap jauh, seakan sedang mengumpulkan kata-kata. "Apakah kau ingin kembali pulang?"
Pertanyaan itu menghantam Aruna seperti angin kencang yang datang tiba-tiba. Dadanya seakan terhenti sesaat. Pulang. Kata sederhana itu justru terasa begitu berat. Pulang berarti kembali ke tanah asalnya, ke zaman yang jauh di masa depan, ke segala luka, kerinduan, dan mungkin juga kehilangan yang pernah membuat Aruna putus asa untuk pulang.
Aruna tak langsung menjawab. Pandangannya teralih pada bunga-bunga mawar yang merekah di sisi taman, pada kupu-kupu yang hinggap sebentar lalu pergi. Seakan mencari jawaban pada keindahan alam yang terhampar.
Van der memerhatikan dengan seksama. Ia melihat kegelisahan itu jelas di mata Aruna, dan dari sorotnya ia menyadari bahwa sakit panjang yang dialami gadis itu bukan hanya karena tubuhnya yang rapuh, melainkan karena beban batin yang terlalu lama dipendam.
"Aruna," suara Van der kembali lembut, "aku tahu sakitmu ini bukan semata karena tubuhmu lelah. Ada sesuatu yang kau simpan erat di dalam hati. Beban itu terlalu berat untukmu seorang diri."
Aruna menggigit bibirnya, suaranya bergetar. "Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana, Tuan. Ada saat di mana aku ingin sekali kembali, pulang ke tempat asalku. Tapi aku tidak bisa, aku tidak tahu caranya kembali."
Van der menghela napas panjang, sorot matanya teduh. "Tidak tahu caranya kembali? Kau ingin pulang ke tempat kelahiranmu, 'kan? Kenapa tidak bisa kembali?"
"Tempatku pulang ... berada sangat jauh, amat sangat jauh, Tuan. Bisa dikatakan aku sendirian sekarang, tidak punya rumah atau tempat untuk pulang," kata Aruna dengan nada sedih.
"Oh, Aruna. Aku membawamu ke sini, ke rumah ini artinya ini adalah tempatmu untuk pulang. Aku membawamu ke sini bukan ingin mengambil kebebasanmu, tapi ingin melindungimu dari para mata jahat di luar sana. Ini rumahmu. Jika kau tidak punya tempat untuk pulang, rumah ini dan orang-orangnya adalah tempatmu untuk pulang," kata Van der lembut.
Aruna menunduk, jemarinya saling meremas. Pertanyaan itu terus bergaung di dalam benaknya; sebuah tempat untuk pulang.
Aruna menoleh padanya, menatap wajah yang dipenuhi ketegasan namun juga kelembutan.
"Kenapa Tuan begitu peduli padaku? Aku hanyalah seorang gadis asing di negeri ini. Aku tak membawa apa-apa, tak berarti apa-apa di mata banyak orang. Tetapi Tuan memperlakukan aku seolah-olah aku penting," tanya Aruna.
Van der tersenyum samar, sorot matanya berubah lembut. "Karena kau memang penting, Aruna. Kehadiranmu membawa arti, bukan hanya bagiku tetapi juga bagi orang-orang di sekitarmu. Para babu merasa nyaman karena kebaikanmu. Warga desa yang kau bantu. Aku sendiri merasakan rumah ini menjadi lebih hidup sejak kau ada. Jangan pernah merendahkan dirimu hanya karena kau merasa tak memiliki apa-apa."
Aruna terdiam, dadanya bergetar. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, antara syukur, haru, dan ketakutan yang masih menyelimuti.
"Maaf membuat Anda khawatir. Mungkin aku hanya merasa sedikit gelisah karena berada di tempat baru tiba-tiba selama beberapa bulan ini," kata Aruna jujur.
Van der menghela napas panjang. Ia menatap mata Aruna dengan kesungguhan yang membuat gadis itu tak kuasa mengalihkan pandang.
"Ingatlah aku tidak akan menahanmu, Aruna. Yang kuinginkan hanyalah kau bahagia dan sehat. Jika kebahagiaanmu ada di tanah asalmu, maka pulanglah. Tetapi jika kau merasa bisa menemukan hidup baru di sini, maka bertahanlah. Yang terpenting adalah jangan lagi menanggung beban itu sendirian. Katakan apa pun yang kau inginkan, aku akan berikan," kata Van der serius.
Kata-kata itu menyalakan percikan kecil dalam dada Aruna. Untuk pertama kalinya sejak ia jatuh sakit, ia merasa bebannya sedikit terangkat. Meski belum menemukan jawaban pasti, setidaknya ia tahu ada seseorang yang memberinya kebebasan untuk memilih tanpa paksaan.
Aruna terdiam lama, lalu akhirnya menarik napas dalam. "Terima kasih karena telah melakukan banyak hal baik untukku, Tuan. Jujur awalnya aku sangat takut ketika Anda memintaku menjadi wanita Anda dan juga seorang Nyai di rumah ini. Takut kalau aku jadi pemuas nafsu. Takut apa yang akan terjadi padaku ke depannya. Takut kalau aku akan terperangkap. Tapi Anda justru menghormatiku dengan tidak melakukan hal yang aku tidak inginkan. Terima kasih atas hal itu."
"Aruna, aku tertarik padamu bukan karena nafsu. Tapi ketika aku mendengar ada seseorang yang berhasil memperbaiki satu desa, itu yang membuatku tertarik. Kau wanita hebat. Keinginanku sebagai Gubernur Hindia Belanda adalah membuat makmur pribumi. Para pemimpin sebelum aku melakukan metode paksa, tapi aku ingin yang datang bukan paksaan. Tapi suka rela. Seperti katamu, kalau warga sehat dan kenyang mereka juga akan bekerja lebih baik," kata Van der.
"Aku tahu, Tuan. Aku tahu. Kau dan aku memiliki idealisme yanh serupa, dimana sama-sama ingin menyelamatkan yang susah. Dan aku tahu ada banyak orang yang tidak suka dengan idealisme kita, mengatakan kalau kita terlalu naif untuk dunia nyata," ucap Aruna.
Van der mengangguk penuh pengertian. "Benar, dan ketika aku menemukan orang yang memiliki idealisme yang sama denganku. Tentu aku menghormatinya. Dan itu dirimu."
"Anda selalu bertanya apa yang aku inginkan? Aku ingin membantu. Di tempat Anda berasal di dataran Eropa, Anda pasti mendengar istilah dokter bukannya tabib. Ilmu yang aku punya adalah kedokteran, dan aku ingin membantu dalam hal itu di sini. Tapi alat-alat sangat terbatas, sedangkan untuk beberapa penyakit perlu pembedahan tidak bisa hanya mengandalkan ramuan herbal," kata Aruna.
Van der terkejut mendengar hal itu. "Dokter? Bagaimana bisa? Di Hindia Belanda belum ada yang bergelar dokter. Apakah kau berasal dari daratan Eropa? Britania? Perancis?"
"Tidak, Tuan. Aku putri pribumi. Namun berasal dari tempat yang sangat jauh. Aku tidak bisa mengatakan detailnya karena Anda akan menganggapku gila. Mungkin suatu hari nanti," kata Aruna santai.
"Kau benar-benar penuh kejutan, Aruna," ucap Van der yang kembali merekahkan senyum.
Seketika, suasana menjadi lebih ringan. Burung-burung yang beterbangan seolah ikut merayakan kejujuran kecil itu. Matahari pun terasa lebih hangat, menyentuh kulit Aruna dengan kelembutan.
Siang itu, para babu menyambut Aruna kembali ke ruang makan kecil di kediaman gubernur. Mereka tersenyum, beberapa bahkan menitikkan air mata lega melihat gadis itu sudah mampu duduk tegak dan makan sendiri. Aruna merasa hatinya diliputi syukur.
Saat sendok pertama bubur hangat menyentuh lidahnya, Aruna sadar bahwa hidupnya memang tengah diberi kesempatan baru. Mengerti bahwa Tuhan menempatkan ke zaman ini pastilah memiliki alasan.