Amira menikah dengan security sebuah pabrik di pinggiran kota kecil di Jawa Timur. Awalnya orang tua Amira kurang setuju karena perbedaan status sosial diantara keduanya tapi karena Amira sudah terlanjur bucin maka orang tuanya akhirnya merestui dengan syarat Amira harus menyembunyikan identitasnya sebagai anak pengusaha kaya dan Amira harus mandiri dan membangun bisnis sendiri dengan modal yang diberikan oleh orang tuanya.
Amira tidak menyangka kalau keluarga suaminya adalah orang-orang yang toxic tapi ia berusaha bertahan sambil memikirkan bisnis yang harus ia bangun supaya bisa membeli rumah sendiri dan keluar dari lingkungan yang toxic itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Dewi membuka rancangan baju milik ibunya dan dia membuat sendiri rancangan baju untuk menambah koleksi baru yang akan diluncurkannya.
Dewi bekerja hingga larut malam. Kemudian membaca satu amplop lagi yang belum dibukanya. Amplop yang ditujukan untuknya bertuliskan “untuk anakku Dewi.”
“Dewi anakku sayang kalau kau membaca surat ini mungkin ibu sudah tiada.
Ibu mempersiapkan ini semua untuk masa depanmu. Rumah yang sudah ibu bangun diatas tanah yang ibu beli sudah ibu hibahkan ke kamu, jagalah warisan ibu ini baik-baik janganlah kau jual apapun alasannya karena rumah ini tempatmu berpulang dimanapun kau nanti akan merantau.
Ini buku tabungan milik ibu yang sudah ibu persiapkan untukmu. Ibu percaya kau bisa meneruskan bisnisnya ibu. Semua isi tabungan ini milikmu. Supaya tidak menimbulkan masalah ambilah uangnya melalui ATM dan pindahkan ke rekening pribadimu pin nya adalah tanggal lahir mu.
Berhati-hatilah dalam menjalani kehidupan mu kedepannya, jangan mudah percaya pada orang sekalipun itu keluargamu sendiri. Mandirilah walaupun nantinya kau memiliki suami karena perempuan yang memiliki penghasilan sendiri tidak akan mudah ditindas oleh laki-laki atau pun keluarganya.
Ibu yang selalu mencintaimu.
Dewi membaca surat dari ibunya sambil menangis. Ternyata ibunya tidak pilih kasih terhadap dia dan saudara tirinya dari perkawinan ibunya yang terdahulu. Dia sudah salah paham.
Dewi memeluk surat dari ibunya lalu menyimpannya di tempat yang bisa dia kunci sehingga tidak ada seorang pun yang akan mengambilnya kecuali dirinya.
Lelah setelah semua yang terjadi akhirnya dia membaringkan tubuhnya di kasur miliknya. Rumah yang dibangun ibunya adalah rumah untuk usaha butik kecilnya ruang tamu sekaligus ruang untuk display pakaian yang dijual cukup luas. Dibaliknya pantry bersih untuk membuat minuman untuk tamu penting, ruang kerja, dua kamar tidur, dan ruang cuci jemur. Dapur kotor dan meja makan jadi satu dengan rumah induk.
Pagi-pagi Dewi bangun, dia tidak sempat memasak untuk semua orang. Kali ini dia membeli sarapan nasi pecel untuk seluruh anggota keluarganya.
Dewi sarapan di rumahnya sendiri untuk menghindari drama dengan saudara seayahnya.
Dia mengunci pintu dengan seksama, mengeluarkan mobil dan bersiap untuk pergi berbelanja bahan pakaian di kota Solo.
“Aku akan ke ATM dulu untuk memeriksa isi saldo rekening ibu.” Batinnya
Mata Dewi terbelalak saat mengetahui jumlah saldonya.
“Ya Tuhan ibu, aku tidak menyangka ibu menyimpan uang sebanyak ini untukku. Terimakasih bu ini bahkan lebih dari yang kubayangkan.” Dewi terisak pelan lalu mengambil uang secukupnya untuk perjalanannya hari ini.
Mobil yang dikendarai Dewi berhenti didepan rumah mbak Lah yang sudah menunggunya di teras depan rumahnya.
“Selamat pagi mbak Dewi, mbak e ternyata tepat waktu, disiplin seperti ibunya.” Puji mbak Lah.
“Selamat pagi mbak Lah, sudah lama nunggunya?” Tanya Dewi.
“Belum mbak saya baru saja keluar dari rumah nunggu mbak e datang.” Jawabnya.
“Saya tadi malam memeriksa buku sketsa milik ibu. Ada beberapa yang belum di buat, lalu saya menambahi beberapa sketsa. Selesai berbelanja besok kita bisa langsung kerjakan mbak Lah.” Ucap Dewi.
“Iya mbak saya siap kapan saja.” balas mbak Lah.
Mereka mengunjungi beberapa produsen batik di kota itu dan membeli semua yang dibutuhkan. Mereka juga berbelanja aneka benang, jarum dan benang obras.
Matahari telah berada tepat diatas kepala mereka. Tiba saatnya mengisi perut sebelum pulang ke rumah.
Selat solo yang merupakan kuliner khas kota itu sekaligus makanan favorit ibunya Dewi almarhumah menjadi menu makan siang mereka ditutup dengan dessert es campur dengan isi beragam buah, cendol dan manisan kolang-kaling.
“Kita pulang dan setelah unboxing belanjaan hari ini kita istirahat full mbak Lah. Nanti mbak Lah saya pesankan ojek online saja ya.”
“Iya mbak tidak apa-apa. Besok saya kerja naik motor saya sendiri.”
Sesampainya dirumah Dewi. Saudara tirinya telah menunggunya.
“Mana mobilnya aku mau pakai,” cegat Dena sambil menengadahkan tangannya meminta kunci mobilnya.”
“Tadi malam kan aku sudah bilang kau sudah tidak aku ijinkan lagi memakai mobil ibuku. Ini mobil pribadi ibuku yang dibeli dengan hasil kerja keras ibuku.” Tolak Dewi.
“Itu harta gono-gini ayahku dan ibumu aku memiliki hak didalamnya.” Ketus Dena.
“Tapi ayahmu tidak mempermasalahkan gono gini kok, kau sudah dapat motor dari ibuku kan? Ya sudah anak tiri cukup motor saja jangan nglunjak minta mobil ini untuk anak kandung ibuku.” Tak mau mengalah juga Dewi.
“Motor itu dibelikan ayahku,” jerit Dena
“Ayahmu mana punya uang untuk beli motor semahal itu. Gajinya untuk makan saja tidak cukup boro-boro beli motor.” Jawab Dewi.
“Jangan menghina ayah kau ya, ayahku itu ayahmu juga.” Teriaknya lagi.
“Aku tidak menghina ayah, aku bicara kenyataan.” Balas Dewi.
“Cepat berikan kunci mobilnya perempuan jalang. Kau itu tidak pantas naik mobil. Perempuan hamil tanpa suami lebih pantas mengurung diri dirumah daripada kluyuran ga jelas.” Terakhir Dena dengan emosi meluap.
Dewi menggeretakkan giginya dan mengepalkan tangannya.
“Mbak Lah tolong keluarkan barang-barangnya dari bagasi dan masukkan ke dalam rumah. Kunci rumah ada didalam tasku.” Perintah Dewi sambil menyerahkan tasnya kepada mbak Lah.
Dewi menghampiri Denaya dengan tangan terkepal. Lalu dengan geram dia menegaskan.
“Sudah kukatakan kalau aku tidak akan membiarkan kau memakai mobil ibu kandungku. Biarpun aku wanita yang seperti yang kau katakan paling tidak aku bisa menghidupi diriku sendiri dan tidak menjadi benalu terus menerus macam dirimu. Aku ingin tahu bagaimana kau bisa membayar kuliahmu sepeninggal ibuku. Sedangkan ayahmu hanya pegawai rendahan di sekolah negeri. Bahkan hingga saat inipun statusnya belum pegawai negeri.” Desis Dewi dengan kemarahan yang hampir meledak.
Dena menatap nanar dan menutup mulutnya seolah tersadar dengan kenyataan ada dihadapannya. Dewi menatapnya tajam dan meneruskan perkataannya.
“Masih mau bergaya kuliah memakai mobil? Bensin motor saja minta-minta boro-boro bensin mobil.” Ejek Dewi.
Dewi tidak ingin berpanjang lebar dia meninggalkan Dena yang masih terperangah ditempatnya berdiri.