"sudahlah mas, jangan marah terus"
bujuk Selina pada suaminya Dante yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil dan sangat possesif..
"kau tau kan apa yang harus kau perbuat agar amarahku surut"
ucap Dante sambil membelakangi tubuh Selina..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mamana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sarapan pagi Mas Dante
Pagi itu Dante terbangun lebih awal dari Selina. Udara kamar masih lembap dengan sisa dingin malam, dan cahaya matahari menembus tirai, menyapu wajah Selina yang masih terlelap dalam dekapannya.
Dante jarang terlihat lembut. Di luar sana ia dikenal keras kepala, berwajah dingin, bahkan galak pada siapa pun yang berani mendekati Selina. Namun pagi ini, hanya ada ia dan perempuan yang perlahan menembus pertahanannya. Tatapannya melembut, menelusuri garis wajah Selina yang damai.
Perlahan, Dante menunduk. Bibirnya singgah di kening Selina, sebuah ciuman ringan yang penuh janji. Detak jantungnya berdentum cepat, seakan menegaskan sesuatu yang sudah ia putuskan.
“Sel...” bisiknya, suara rendah yang nyaris tenggelam di udara. “Aku akan mendapatkanmu hari ini.”
Ucapan itu tidak sekadar janji, melainkan tekad. Tekad seorang pria yang selalu tampak garang, namun menyimpan sisi liar yang hanya Selina mampu bangkitkan.
Dante kembali memeluk Selina erat-erat, menutup matanya sejenak, seolah menyimpan energi untuk hari yang akan menuntut keberaniannya. Ia tahu, di balik ketegarannya, ada kegelisahan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Tapi satu hal pasti pagi itu ia bersumpah dalam hati, bahwa Selina akan benar-benar menuruti perintahnya, tanpa ada yang bisa menghalangi .
Karena eratnya dekapan itu, Selina sontak terbangun dari tidurnya. Matanya yang masih sayu menatap wajah Dante di hadapannya.
“Mas…” ucapnya lirih.
“Ya, Sel… tidurlah lagi. Hari masih sangat pagi,” jawab Dante pelan, lalu kembali mengecup kening istrinya dengan penuh rasa. Tangannya yang kekar masih melingkari tubuh Selina, enggan melepaskan.
Selina mencoba melepaskan dekapannya, tapi dekapan itu terlalu kuat.
“Mas, lepasin… aku mau buat sarapan untuk kita. Nanti kau terlambat,” desahnya.
“Kita sarapan di luar, pagi ini. Kau ikut ke kantor, ya,” sahut Dante datar tapi tegas.
Selina terkejut mendengar ucapan Dante. Ingatannya melayang pada kejadian hari lalu, saat Dante nekat menyetubuhinya di ruang pribadinya di kantor, sebuah kenangan yang membuat wajahnya panas setiap kali teringat.
“Mas… apa kantor tidak… aku tidak mau ke sana lagi,” ucapnya ragu.
Dante mengusap pipinya lembut. “Ayolah, Sel. Aku tidak akan melakukan apa pun padamu. Aku hanya akan memandang wajahmu saja,” suaranya lirih namun masih menyimpan tenaga.
“Bohong kau, Mas…” Selina menahan senyum kecil yang campur aduk. “Kalau kau benar-benar ingin… lakukan sekarang saja. Asal kau tidak memintaku melakukannya di kantor lagi…”
Dante memiringkan senyumnya yang nakal, senyum khasnya yang hanya Selina tahu artinya. Jari-jarinya meraba pelan punggung Selina, masih menahan tubuhnya erat-erat.
“Akhirnya… hari ini aku mendapatkanmu lagi, kan, Sel…”
Kata-katanya berat namun hangat, seolah menjadi pengikat suasana pagi itu. Tatapan Dante berubah, dari yang keras menjadi penuh hasrat. Dan Selina hanya bisa terdiam di dalam pelukannya, di antara genggaman seorang pria yang di luar tampak galak, namun di dalam hanya punya satu sisi: liar, penuh cinta, dan selalu menginginkannya.
Pagi itu, meski Selina berusaha menahan diri, pada akhirnya ia kembali terhanyut dalam dekapan Dante. Tatapan mata suaminya yang tajam sekaligus hangat membuat pertahanannya runtuh. Ia tahu, kerasnya Dante di luar hanyalah tameng, sementara di balik itu ada cinta yang selalu menuntut ruang untuk mengalir.
Selina menarik napas panjang. Ia menatap dalam ke mata Dante, seakan hendak berkata bahwa dirinya tak sanggup menolak lebih lama. Lalu perlahan, ia meraih leher Dante, membiarkan dirinya semakin dekat.
“Mas…” suaranya bergetar, tapi ada ketegasan di sana. “Pagi ini… aku serahkan diriku lagi padamu.”
Dante menatapnya dengan sorot mata puas bercampur haru. Senyum liarnya muncul, tapi di balik itu ia menunduk penuh kelembutan, seolah menghargai keputusan Selina. Bibirnya menempel di kening, pipi, lalu bibir istrinya, menyalurkan rasa yang sudah tak bisa ia bendung.
Dekapan itu semakin rapat. Tubuh Selina melebur dalam pelukan Dante, seakan hanya ada mereka berdua di dunia ini. Setiap sentuhan, setiap helaan napas, menjadi bahasa cinta yang tak perlu dijelaskan lagi.
Di luar, orang mengenal Dante sebagai pria galak, penuh amarah, bahkan ditakuti. Namun pagi itu, hanya Selina yang melihat sisi lain dirinya, liar dalam cinta, haus akan kedekatan, dan tak pernah cukup hanya dengan sekadar memandang.
Pagi itu, sekali lagi Selina menyerahkan tubuhnya bukan karena terpaksa, melainkan karena cinta, cinta yang membuatnya yakin, betapa pun keras dan liar Dante, ia adalah rumah yang selalu ia pilih untuk pulang.