Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Berkunjung ke rumah keluarga nenek
Keesokan paginya, setelah sarapan, Velora dan Arvenzo bersiap meninggalkan resort. Hari itu mereka akan melakukan perjalanan ke Osaka, kota tempat keluarga dari pihak nenek Arvenzo tinggal.
“Nenekku bernama Ayaka Nakamura,” jelas Arvenzo di dalam mobil ketika sopir yang disediakan hotel mengantar mereka ke bandara. “Beliau sudah lama meninggal, tapi adiknya masih tinggal di rumah keluarga di Osaka.”
Velora menoleh, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Berarti kita bakal ketemu kerabat jauh kamu, ya?”
Arvenzo mengangguk pelan. “Iya. Aku sudah kontak mereka sebelumnya. Mereka tahu kita akan datang.”
Setelah melewati proses check-in, mereka naik pesawat menuju Osaka. Penerbangan hanya sekitar satu jam, tapi bagi Velora, perjalanan itu terasa istimewa. Ia sesekali menoleh ke jendela, melihat gumpalan awan yang berarak di langit biru, sementara Arvenzo duduk di sampingnya, tenang namun sesekali melirik Velora yang tampak bersemangat.
Sesampainya di Bandara Kansai, mereka disambut udara yang lebih hangat dibanding Tokyo. Dari bandara, mereka naik taksi menuju sebuah rumah tradisional Jepang bergaya lama, dengan pintu geser kayu, taman kecil, dan batu kerikil rapi di halaman depan.
Begitu sampai di rumah tradisional keluarga di Osaka, pintu geser kayu terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah.
“Selamat datang Arvenzo, pasti ini istri Arvenzo, kan?” sapanya hangat menatap Velora lembut.
Arvenzo menunduk sopan. “Hai, obaasan (nenek). Ini istriku, Velora.”
Wanita itu tersenyum lebar, lalu menatap Velora penuh kehangatan. “Panggil aku Nenek Sachiko saja, Nak. Aku adik dari mendiang nenek Ayaka. Jadi secara garis keluarga, aku juga nenekmu sekarang.”
Velora tersenyum kikuk tapi hangat, lalu membungkuk kecil. “Baik, Nenek Sachiko. Senang sekali bisa bertemu dengan keluarga besar suami saya.”
Tak lama, seorang pria berusia sekitar tujuh puluhan ikut keluar dari dalam rumah, berdiri di samping Sachiko. Wajahnya teduh dengan senyum ramah. “Dan aku, Kenji Takahashi,” ujarnya sambil terkekeh kecil. “Suami Sachiko. Mulai hari ini, anggap saja aku juga kakekmu, Velora-san.”
Velora menunduk sopan. “Terima kasih, Kakek Kenji. Saya senang disini karena diterima dengan baik.”
Tak lama kemudian, seorang wanita muda dengan wajah lembut muncul, diikuti seorang pria. “Saya Emiko Takahashi, putri Nenek Sachiko. Ini suamiku, Hiroshi Tanaka.”
Velora tersenyum dan menunduk lagi. “Senang sekali bisa berkenalan dengan Bibi dan Paman.”
Dari belakang mereka, dua remaja muncul sambil menunduk sopan.
“Ini anak-anak kami,” jelas Emiko. “Yang laki-laki Ren Tanaka, kelas dua SMA. Dan adiknya, Yumi Tanaka, masih SMP.”
“Konnichiwa (halo),” sapa Ren singkat.
“Yoroshiku onegaishimasu oneesan (senang berkenalan denganmu, kak),” ucap Yumi dengan senyum malu-malu.
Velora ikut membalas dengan ramah. “Konnichiwa, senang bertemu dengan kalian.”
Suasana menjadi lebih hangat. Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu yang beralaskan tatami. Nenek Sachiko menyajikan teh hijau hangat dan wagashi, sementara Velora menatap sekeliling dengan kagum. Rumah itu masih terawat indah, dengan nuansa tradisional Jepang yang kental.
Arvenzo duduk di samping Velora, sesekali mengusap lembut punggung tangannya. “Aku bisa merasakan suasana nenek Ayaka masih ada di sini,” katanya pelan.
Velora menoleh, lalu mengangguk sambil tersenyum tipis. “Pantas tempat ini terasa hangat mungkin karena cinta keluargamu masih ada di dalamnya, Ar.”
...****************...
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga, mereka memutuskan untuk pergi ke Dōtonbori. Ren yang sudah terbiasa mengendarai mobil mengambil kemudi, sementara Yumi duduk di kursi penumpang depan.
Arvenzo dan Velora duduk di kursi belakang, tangan Velora digenggam lembut oleh suaminya. Lampu-lampu kota Osaka mulai terlihat dari jendela saat mobil melaju pelan, menyusuri jalanan yang tak terlalu padat.
“Sayang, nikmati aja pemandangannya,” bisik Arvenzo, suara lembutnya membuat Velora sedikit terkejut.
Velora menoleh, pipinya memerah. “Kamu tadi manggil aku, sayang?”
Arvenzo tersenyum tipis. “Iya. Salah kalau aku manggil istriku begitu?”
Velora menunduk malu, jantungnya berdebar. “Aku nggak nyangka aja.”
Ren menoleh lewat kaca spion sambil tertawa kecil. “Wah, Kak Arvenzo romantis juga ya, hehe.”
Yumi ikut menimpali, menyelipkan kata-kata Indonesia seadanya, “Kak Velora pipinya merah banget! Lucu deh!”
Ren dan Yumi memang mengerti dan bisa berbicara bahasa Indonesia walaupun hanya sedikit.
Velora makin salah tingkah, menutup wajah sebentar, lalu menatap Arvenzo. “Hahaha, kalian ini ngomong apa sih? Aku jadi makin malu.”
Arvenzo hanya tersenyum, menatap Velora dalam diam. “Kalau sama kamu, aku nggak perlu dingin dan kaku lagi. Kamu istriku, jadi wajar kan kalau aku panggil sayang?”
Velora tersenyum tipis, pipinya masih memerah. Suasana di mobil terasa hangat, penuh tawa dan kebersamaan.
Di luar jendela, lampu-lampu kota Osaka berkilau, mengiringi perjalanan mereka. Jalanan mulai ramai, dan udara malam yang sedikit dingin membuat Velora menarik sweater hangatnya lebih rapat. Ia mencondongkan kepalanya ke pundak Arvenzo, merasa nyaman dan aman di samping suaminya.
“Aku senang bisa jalan-jalan kayak gini sama kamu, Ar,” ucap Velora lirih.
Arvenzo meremas tangan Velora lembut. “Aku juga, Vel. Malam ini biar terasa spesial buat kita berdua.”
Tak lama kemudian, cahaya neon raksasa Dōtonbori mulai terlihat. Sungai yang membelah kawasan itu memantulkan lampu-lampu warna-warni, menambah kesan magis.
“Wow...” Velora tak kuasa menahan decak kagumnya. “Cantik banget...”
Arvenzo menatapnya, senyum tipis terukir di wajahnya. “Seperti biasanya, aku suka melihatmu tersenyum.”
Ren dan Yumi ikut bersorak kecil. “Ayo cepat turun, Kak! Banyak makanan enak di sana!”
Mobil berhenti di pinggir jalan, dan mereka semua keluar. Suasana malam Dōtonbori begitu hidup lampu neon besar, aroma street food menggoda, dan suara hiruk-pikuk pengunjung.
Velora menggenggam tangan Arvenzo lebih erat, bersemangat sekaligus kagum melihat keramaian malam itu. Arvenzo menatapnya, senyum tipis tetap terukir, bahu Velora menempel ke lengannya, seolah mereka berdua tenggelam dalam kebersamaan malam itu, sementara Ren dan Yumi berjalan di depan, antusias mengajak mereka mengeksplorasi Dōtonbori.
Mereka berhenti di gerobak yang menjual corn dog Jepang dan kushiage sayuran, tusukan sayuran goreng renyah yang baru matang.
Velora menggigit satu tusuk, matanya melebar. “Wah... renyah banget!” serunya sambil tertawa.
Arvenzo ikut mencicipi, lalu menyuapkan satu kushiage ke Velora. “Hati-hati panas, sayang,” ucapnya sambil tersenyum, Velora menahan tawa saat menggigit.
Saat berjalan lagi, mereka menemukan gerobak kue-kue panggang manis. Velora mengambil satu kue, tapi tak sengaja menumpahkan sedikit gula di tangannya.
Arvenzo cepat mengambil tisu dan membersihkannya, sambil bercanda, “Hati-hati, jangan sampai terbang ke jalan!”
Velora tersipu sambil tertawa.
Di sebuah sudut yang penuh lampu neon, Arvenzo menatap Velora. “Vel, mari kita foto bareng sebentar, biar jadi kenangan malam ini.”
Alih-alih pose romantis, mereka hanya berdiri santai, Velora makan kushiage, sementara Arvenzo pura-pura memotret dirinya sendiri dan Velora dengan kamera ponsel. Mereka tertawa melihat hasilnya foto candid dengan ekspresi lucu Velora ketika kushiage hampir jatuh, Arvenzo yang membuat wajah konyol, dan lampu neon yang berwarna-warni di belakang mereka.
Arvenzo kemudian meminta Yumi memotret mereka. “Yumi-san, tolong ambilkan foto kami sebentar,” ucapnya dalam bahasa Jepang.
Yumi mengangguk, tersenyum, dan menekan tombol kamera.
Velora menatap hasil fotonya, tersenyum malu-malu. “Lucu juga, ya,” katanya sambil menatap Arvenzo.
“Ini baru foto yang nyata,” jawab Arvenzo sambil menepuk lembut tangannya. “Biar kita ingat malam ini bukan cuma romantis, tapi juga seru dan penuh tawa.”
Mereka terus berjalan, mencicipi street food lainnya, sesekali berhenti untuk foto candid, atau saat bereaksi lucu karena makanan panas atau manis. Lampu neon, aroma makanan, dan tawa mereka membuat malam itu terasa hangat dan menyenangkan lebih hidup dan natural dibanding hanya berpose manis.
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭