Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Uluran Tangan
"Mengapa kamu tega melakukan ini Deb? Selama ini apa kurangku ke kamu? Kamu kasbon aku kasih, kamu minta pelanggan banyak juga aku kasih. Tapi sekarang, lihatlah apa yang kamu lakukan? Kamu membakar warung milikku yang menjadi sumber penghidupanku."
Di kantor polisi terdekat, Helena meluapkan apa yang menjadi amarahnya di hadapan Debby. Ia benar-benar tidak menyangka jika Debby tega melakukan hal itu. Padahal selama ini Debby seringkali ia bantu ketika sedang ada di dalam kesulitan.
"Maafkan aku Mi. Aku khilaf."
Debby berujar lirih sembari menundukkan wajah. Entah mengapa kali ini ia benar-benar merasa sangat bersalah sekali terhadap Helena. Rasa jengkel yang sempat ia rasakan ketika mendapatkan ketidakadilan dari Helena hingga membuatnya gelap mata melakukan hal ini, kini semua musnah berubah menjadi rasa bersalah.
"Khilaf? Kamu bilang khilaf?" tanya Helena dengan nada sinis. "Kamu khilaf sampai membakar dua tempat? Itu bukan khilaf Debby, tapi memang kamu sengaja merencanakan."
"Maaf Mi..."
"Coba katakan padaku, apa yang membuatmu tega melakukan hal itu?"
Kepala Debby kian tertunduk. Sungguh kali ini hatinya dirundung sebuah perasaan yang tidak bisa ia jabarkan.
"Aku marah sama Mami karena Mami lebih mementingkan anak baru itu sehingga membuat aku lama menganggur dan tidak memiliki pemasukan."
"Apa? Hanya gara-gara itu?" teriak Helena seakan tak percaya. "Okelah, aku bisa menerima alasanmu jika kamu merasa aku tidak adil. Tapi kenapa kamu juga membakar kos Ranum? Padahal selama dia bekerja denganku, tak sekalipun kamu berinteraksi dengannya kan?"
Debby kian menunduk dalam. Hanya karena merasa tersaingi membuatnya tidak berpikir panjang, hingga akhirnya hanya penyesalan yang tersisa.
"Aku merasa tersaingi dan iri Mi. Apalagi setelah dia dikasih kalung berlian om Pai."
"Astaga ya Tuhan," ucap Helena sembari geleng-geleng kepala. "Tak kusangka hatimu begitu kotor Deb. Sekarang terimalah segala konsekuensinya. Aku tidak akan pernah membantumu lagi. Karena kali ini perbuatanmu sungguh di luar nalar."
"Tapi ini semua rencana mami Laura, Mi. Aku hanya menjalankan perintah."
Laura yang juga berada di ruangan ini seketika terhenyak mendengar ucapan Debby. Jika seperti ini membuat posisinya juga tidak aman.
"Bohong, itu semua tidak benar!" pekik Laura. "Ini semua memang rencana Debby, Pak. Saya sudah memberikan nasihat bahwa ini semua akan berbahaya, tapi Debby tetap saja melakukan aksinya."
Demi keselamatannya, Laura mengambil jalan pintas dengan memberikan kesaksian palsu. Padahal, ini semua adalah rencananya.
Debby terperanjat. "Bohong Pak. Yang dikatakan oleh mami Laura itu bohong. Aku hanya diperintah, sedang yang memiliki rencana adalah mami Laura."
Debby tidak mau kalah. Sekuat tenaga ia meyakinkan polisi bahwa ia hanya diperintah. Mati-matian ia menyeret Laura untuk ikut bertanggungjawab atas kejahatan yang mereka lakukan.
"Bohong Pak! Jangan percaya, dia itu pembohong! Saya sudah memperi..."
"Hentikan!" teriak komandan polisi menghentikan perdebatan antara Laura dengan Debby. "Sebelum ada keterangan yang benar, kalian berdua akan kami tahan."
"Tapi Pak..."
"Maaf Pak, apa saya sudah diperbolehkan untuk pulang? Saya rasa keterangan yang saya berikan sudah cukup."
Helena semakin dibuat pusing oleh perdebatan antara musuh dan mantan pekerjanya itu. Wanita itu ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini.
"Karena pelaku dan otak kejahatan sudah ditemukan, bu Helena boleh pulang."
Helena mengangguk. Ia bangkit dari posisinya dan mulai mengayunkan tungkai kakinya. Tiba di hadapan Laura, sejenak ia hentikan langkah kakinya.
"Meskipun kamu sudah merencanakan sesuatu untuk menghancurkanku, namun pada akhirnya kamu juga yang kalah, bukan?" bisik Helena di depan Laura. "Selamat membusuk di balik jeruji besi, Laura!" sambung Helena dengan gelak tawa lirih.
Laura terhenyak, matanya melotot. "Kamu??"
Helena tak lagi menghiraukan ucapan Laura. Ia kembali melangkah pelan dan mulai meninggalkan tempat ini. Helena membuang napas kasar, sembari memutar otak, ia harus bangkit lagi untuk melanjutkan kembali hidupnya.
***
"Ya ampun Hel, mengapa ini semua bisa terjadi?"
Pai yang baru saja pulang dari luar kota segera menemui Helena ketika berita kebakaran lokalisasi itu sudah sampai di telinganya. Ia merasa memiliki hubungan emosi dengan Helena dan juga warung miliknya sehingga ia merasa bersimpati atas kejadian yang menimpa salah satu teman sekolahnya ini.
"Entahlah Pai, hanya karena rasa iri dan rasa tidak mau tersaingi, membuat Debby gelap mata melakukan hal ini."
"Lantas, setelah ini apa yang akan kamu kerjakan Hel?"
Helena mengendikkan bahu. Karena sampai saat ini pun ia sama sekali belum memikirkan bagaimana langkah ke depannya.
"Lantas nasib Ranum bagaimana Hel? Apa ia masih bersamamu?"
Helena menganggukkan kepala. "Masih Pai, Ranum masih ada bersamaku. Ia juga kebingungan mencari pekerjaan."
Pai nampak diam sesaat. Mendengar Ranum tak lagi memiliki pekerjaan membuatnya semakin iba dengan wanita itu. Terlebih saat ini Ranum pasti sangat memerlukan pekerjaan untuk persiapan melahirkan.
"Aku akan membantumu Hel!"
"Membantuku? Bagaimana caranya Pai?"
Pai menghela napas dalam-dalam untuk kemudian ia hembuskan perlahan. Pikirannya sejenak berkelana di saat ia pergi ke luar kota beberapa hari yang lalu. Ada satu kejadian di mana ia mengalami sebuah kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawanya. Dari kejadian itu pulalah yang membuatnya tersadar untuk menjadi manusia yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Aku akan membukakan satu usaha untukmu," ucap Pai mengutarakan rencananya. "Tapi kali ini bukan warung remang-remang."
Helena sedikit terperangah. "Bukan warung remang-remang? Lantas warung apa Pai? Kamu tahu sendiri kan kalau passion ku menjalankan bisnis warung remang-remang. Tapi sekarang kamu membukakan bisnis bukan warung remang-remang, bagaimana bisa aku menjalankannya?"
"Kita ini sudah tua Hel. Kapanpun Tuhan bisa menjemput kita pulang ke pangkuanNya. Apa kamu mau pulang ke pangkuan Tuhan dengan pekerjaanmu itu? Padahal masih banyak pekerjaan lain yang jauh lebih baik," ucap Pai yang terdengar begitu bijaksana.
Dahi Helena mengernyit. Ia menatap wajah teman sekolahnya ini dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Pai, kamu baik-baik saja kan? Maksudku kamu tidak sedang mengigau kan?"
Pai menggeleng-gelengkan kepala. "Aku benar-benar dalam keadaan baik, Hel. Bahkan aku sadar sesadar sadarnya."
"Tapi kamu aneh Pai, tidak seperti Pai yang aku kenal. Mendadak kamu seperti Pak ustadz yang sedang memberikan ceramah di pengajian," seloroh Helena asal.
Pai hanya tersenyum simpul. "Bagaimana? Mau atau tidak? Kalau kamu mau, aku langsung bukakan untukmu."
"Usaha apa sih yang mau kamu tawarkan?" tanya Helena penasaran.
"Warung makan, Hel. Kebetulan warung makan yang ada di sekitar pabrikku sudah tutup. Akan aku bukakan kamu warung makan di sana. Di sana juga banyak kontrakan-kontrakan para pekerja, jadi aku yakin warung yang akan kamu kelola ramai setiap harinya."
Helena nampak hening memikirkan dan menimbang-nimbang tawaran Pai.
"Kamu tenang saja. Kamu tinggal mengelola dibantu dengan Ranum dan Asri. Sedang untuk tukang masaknya nanti bisa aku carikan orang-orang di sekitar pabrikku yang membutuhkan pekerjaan. Bagaimana? Kamu setuju?"
Helena masih nampak hening memikirkan tawaran Pai. Entah apa yang membuatnya masih kebingungan dan masih ragu untuk mengatakan iya. Padahal semua serba enak, dia hanya tinggal buka dan mengelolanya saja.
"Di samping itu aku juga memikirkan Ranum, Hel. Saat ini Ranum sedang mengandung. Aku ingin Ranum menghidupi anaknya dari hasil pekerjaan yang baik dan halal."
Helena terkesiap, ternyata sampai sejauh itu Pai memikirkan hal ini. Tidak hanya tentang untung rugi tapi juga kebaikan dan keberkahan dalam setiap usaha mencari rezeki.
Helena menghela napas dalam. Kali ini ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Pai. Lagipula saat ini ia benar-benar sudah buntu memikirkan bagaimana caranya melanjutkan hidup. Karena dari kejadian kebakaran itu benar-benar sudah memusnahkan semua yang ia miliki.
"Baiklah Pai, aku terima tawaranmu. Jadi kapan bisa kita mulai?"
Pai tersenyum penuh arti. Akhirnya dengan jalan ini ia bisa menyelamatkan Ranum dari jalan yang keliru.
"Besok, besok kita akan mulai!" jawab Pai begitu bersemangat.