NovelToon NovelToon
Bintang Untuk Angkasa

Bintang Untuk Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Balas dendam pengganti
Popularitas:885
Nilai: 5
Nama Author: Intro_12

Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.

Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.

Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semangkuk Sup

Kamar Langit kini rasanya berbeda.

Dulu, setiap kali Talita masuk ke ruangan itu, semuanya terasa datar. Ia hanya mengganti baju Langit sebagaimana mestinya, seolah sekadar menyelesaikan kewajiban tanpa hati. Tangan bekerja, pikiran melayang, dan perasaan kosong.

Namun hari ini… tidak lagi.

Talita menunduk saat jarinya menyentuh kancing hem putih Langit. Ada debar halus yang menyelinap ke dadanya, pipinya bersemu merah. Senyum kecil yang ia tahan justru makin mencuat, seolah hatinya enggan berbohong pada wajahnya sendiri. Ia tak kuasa menyembunyikan riuh yang tengah menggemuruh. Dan Langit… lelaki itu pun sama. Pandangan matanya lebih lembut dari biasanya, seperti ingin bicara tapi tak terucap.

Di ambang pintu, Angkasa berdiri. Ia datang hanya untuk memastikan keadaan kakaknya. Tapi pemandangan yang tertangkap matanya membuat darahnya naik ke kepala.

Talita dan Langit.

Duduk terlalu dekat.

Bergelagat seperti dua orang kasmaran.

“Menjijikkan…” batin Angkasa.

Bibir Talita yang tersenyum malu-malu, baginya tampak seperti senyum orang gila. Ia ingin meneriaki, ingin mengacak-acak pemandangan itu agar hilang dari pandangan matanya.

“Talita!” suara Angkasa menggelegar, membuat Talita tersentak. “Kalau sudah selesai, jangan cuma melototin Langit! Masih banyak kerjaan. Cuci piring! Pel lantai! Siram tanaman! Ingat, kamu itu bukan cuma perawat di rumah ini. Kamu juga ART.”

Nada suaranya kasar, penuh tusukan. Talita menunduk, merasa seperti baru saja dipermalukan.

Sementara Angkasa melangkah pergi dengan wajah mengeras, hatinya justru terasa lebih kusut.

^^^^

Di ruang kerjanya, Angkasa duduk terpaku di balik meja. Seharusnya ia menekuni berkas-berkas penting, menyiapkan pertemuan esok hari. Tapi pikirannya tak bisa fokus.

Bayangan Talita dan Langit terus menyelinap.

Apa yang mereka lakukan sekarang? Hanya berdua di rumah? Jangan-jangan mereka...

Gambaran itu membuatnya muak.

“Pak, besok siang kita ada jadwal pertemuan dengan Pak Hendra dari Diamond Corp. Juga dengan El Mariachi.” Ragiel masuk membawa catatan.

Angkasa hanya mengangguk singkat.

Ragiel mengernyit, merasa tuannya tak benar-benar mendengar. Ia pun mengulang lebih jelas, “Besok kita bertemu El Mariachi untuk membicarakan berita itu. Kita bisa tahu siapa dalang di balik kabar bohong yang menyudutkan anda.”

Namun Angkasa tetap diam. Matanya kosong menatap meja, wajahnya menegang, seakan ada badai yang berputar dalam pikirannya.

Ragiel semakin bingung.

Biasanya Angkasa sigap, selalu punya rencana. Tapi kali ini… sikapnya terlalu sulit ditebak.

^^^^^

Di taman belakang, suasana sore begitu tenang. Angin lembut menyapu permukaan kolam renang, menimbulkan riak-riak kecil. Bintang tampak sibuk dengan pesawat mainannya, berlari berkeliling, mulutnya bergumam menirukan suara mesin jet.

Di sisi lain, di kursi taman yang teduh, Talita duduk dengan sabar. Di tangannya ada mangkuk sup hangat buatan sendiri. Dengan hati-hati ia menyuapkan sendok demi sendok ke bibir Langit. Lelaki itu menerimanya perlahan, wajahnya masih pucat tapi matanya penuh rasa terima kasih.

“Kalau boleh tahu, kira-kira… kapan Tuan siap belajar jalan?” tanya Talita lembut, suaranya seperti angin sore yang menyentuh air.

Langit terdiam sejenak. Ia menunduk, lalu menggeleng pelan.

Talita tersenyum, bukan senyum basa-basi, melainkan senyum yang benar-benar hangat.

“Kalau begitu… Talita akan tetap menemani Tuan sampai sembuh. Jangan khawatir.” Ia meletakkan mangkuk di meja kecil, lalu meraih kaki Langit, memijatnya perlahan. “Kalau nanti Tuan sudah merasa siap, bilang saja. Talita akan bantu Tuan jalan. Nggak papa pelan-pelan, nggak papa kalau jatuh, tertinggal pun nggak masalah. Yang penting Tuan harus semangat. Harus senang. Pokoknya, nggak boleh sedih-sedih lagi. Biar semuanya menyenangkan.”

Kata-kata sederhana itu seperti menyentuh ruang kosong di dada Langit. Hangat. Damai. Seperti ada sesuatu yang selama ini hilang, kini kembali ia rasakan.

‘Nggak papa pelan-pelan. Nggak papa tertinggal’

Ingatan Langit pun melayang.

Dulu, di panti asuhan, ia dikelilingi banyak anak. Memang seperti keluarga besar, tapi hatinya terasa kosong, sepi. Sampai akhirnya keluarga Zibrano datang. Mereka membawanya pulang, menyematkan nama Zibrano di belakang namanya, sebagai pertanda bahwa Langit sah menjadi anak mereka. Keluarga ini memberinya segalanya. Kemewahan, fasilitas, pendidikan, apapun yang Langit mau.

Awalnya Langit kira ia benar-benar beruntung. Hidup dalam rumah megah, tidur di ranjang empuk, pakaian bermerk, makanan mewah. Tapi kenyataannya… berbeda.

Berita bahwa Langit masuk dalam keluarga itu tersebar luas, masyarakat yang iri mulai mencibirnya, bertanya tentang kelayakannya menjadi anggota keluarga yang erat dengan kesempurnaan itu. Secara tidak langsung, masyarakat mendesak Langit untuk menjadi sempurna, atau jika tidak, ia akan diolok-olok masyarakat, dengan satire bahwa ia pantas gagal karena hanya anak pungut.

Langit memaksa dirinya untuk bisa ini, bisa itu. Les menumpuk, ranking harus selalu pertama, tak boleh lengah sedikit pun. Harus sempurna dalam segala hal. Sampai harus bisa dan wajib mewujudkan cita-citanya, pilot maskapai international. Semua demi satu alasan, membuktikan bahwa ia layak. Layak disebut keluarga Zibrano.

Dan kini… di taman sederhana, dengan sup hangat buatan seorang perempuan yang bukan siapa-siapanya, Langit merasakan sesuatu yang jauh lebih mahal dari segalanya.

‘Tidak masalah jika gagal.’ Seolah mengatakan bahwa Langit boleh berhenti sejenak dari kerja kerasnya mengejar validasi. Itu sungguh nyaman.

^^^^

Sementara itu, dari arah dapur, Angkasa baru saja masuk rumah. Tujuannya sederhana, hanya ingin mengambil minum. Tapi langkahnya terhenti begitu melewati pintu kaca yang menghadap taman.

Pandangannya langsung mengeras.

Talita.

Langit.

Dan....Bintang ikut di sana, tertawa-tawa dengan pesawat mainannya.

Seolah-olah taman belakang itu adalah panggung kecil, dan mereka sedang memainkan drama keluarga bahagia. Drama yang bagi Angkasa terasa menyebalkan.

Ia melangkah cepat, membuka pintu kaca dengan hentakan. Talita menoleh kaget, sementara Langit menegakkan badan.

Tanpa banyak bicara, Angkasa meraih mangkuk sup di meja. Ia menatap isinya, lalu menatap Talita dengan raut wajah marah bercampur jijik.

“Jadi… untuk dia kamu masak sup seenak ini?” suaranya datar, dingin, tapi penuh bara. “Selama ini aku tidak pernah sekali pun merasakan masakan kamu yang begini.”

Talita mengerjap, tak sempat menjawab.

Dengan gerakan kasar, Angkasa menuang sup itu ke tanah, tepat di samping kursi. Cairan panas bercampur dengan tanah basah, aroma hangatnya terbuang percuma.

“Kerjaan rumah masih berantakan, tapi kamu malah seneng-seneng di sini!” Angkasa membentak.

Talita berdiri, tangannya berkacak pinggang. “Jangan seenaknya buang makanan! Itu bikin repot, harus masak lagi, nyuci panci lagi. Kamu kira gampang?”

“Gampang atau nggak, itu kerjaanmu!” balas Angkasa cepat.

Talita mendengus. “Oh, jadi sekarang aku ART, perawat, juru masak, tukang kebun, semua jadi satu? Bagus. Besok sekalian aja aku jadi satpam depan!”

^^^^

Angkasa masuk ke ruang kerjanya dengan langkah berat, pintu ditutup agak keras hingga menimbulkan gema. Napasnya masih tersengal, dada naik-turun, seakan amarah tadi belum habis. Ia langsung duduk di kursinya, membanting tubuh ke sandaran, lalu memijit pelipis.

“Kenapa juga aku harus buang sup itu…” gumamnya lirih, suara bercampur geram.

Ia menunduk, kedua tangannya mengepal di atas meja. Di kepalanya masih terbayang Talita yang tersenyum lembut ke arah Langit, cara perempuan itu menyuapkan sendok dengan sabar, pijatan kecil di kaki Langit, bahkan kata-kata bodoh yang terlalu manis untuk diingat “nggak papa kalau jatuh… yang penting harus senang… nggak boleh sedih-sedih lagi.”

Angkasa mendengus kasar.

“Apaan sih itu? Kalimat murahan…” ujarnya, tapi entah kenapa dadanya justru terasa semakin sesak.

Ia bangkit dari kursi, berjalan mondar-mandir. Tangannya menyambar pulpen, lalu melemparnya lagi. Ia menarik napas, mengembuskannya keras-keras.

“Dasar perempuan gila… kerjaan rumah aja nggak beres. Malah sibuk manjain orang sakit. Apa gunanya semua itu? Hah?” suara Angkasa meninggi, meski ruangan sepi dan hanya dia seorang.

Namun makin lama ia menggerutu, makin aneh rasanya. Ada sesuatu yang menusuk, tak bisa ia akui.

“Cuma sup… cuma sup. Kenapa juga aku harus marah besar begitu?” Angkasa menutup wajah dengan kedua tangannya, mencoba menekan pikirannya sendiri.

Sekilas ia membayangkan, bagaimana jika sup itu disajikan untuknya? Bagaimana rasanya kalau Talita yang menyuapkan dengan tatapan lembut itu bukan ke Langit… tapi kepadanya?

Angkasa langsung menggeleng cepat. “Gila! Aku nggak butuh itu!”

Ia menghempaskan diri ke kursi, menatap langit-langit dengan rahang mengeras. “Aku bukan… bukan cemburu. Mana mungkin aku cemburu sama perempuan seperti dia.”

Tapi semakin ia menyangkal, bayangan wajah Talita makin jelas di kepalanya. Senyum hangat itu… tawa kecilnya… bahkan ekspresi keras kepala saat membalas bentakannya.

Angkasa menunduk lagi, menekan meja dengan kedua telapak tangan.

“Ini bukan cemburu,” bisiknya pelan, hampir seperti membujuk dirinya sendiri. “Ini cuma… aku muak. Ya, cuma muak.”

1
Asih S Yekti
lanjut , cerotanya bagus aku suka
Asih S Yekti
penulis baru tp bagus kok g banyak tipo penyusunan bahasanya juga bagus
Intro: Trimakasiih.. /Smile/
total 1 replies
Ceyra Heelshire
kasian banget /Whimper/
Intro
Hai, ini karya pertama ku..
makasih sudah mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!