NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:473
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23

"Dok, tolong anak saya!” teriak seorang wanita dengan wajah panik, berlari ke arah Diandra sambil menggandeng perawat yang mendorong brankar kecil.

Tanpa menunggu penjelasan, Diandra langsung bergerak. “Sus, segera bawa ke ruang tindakan!” perintahnya tegas.

Di atas brankar, seorang anak perempuan berusia dua tahun terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, napasnya pendek-pendek. Detik itu juga, fokus Diandra hanya tertuju pada pasien kecilnya. Ia segera mengenakan sarung tangan, memeriksa pernapasan, denyut nadi, lalu memberi instruksi cepat kepada tim medis.

“Oksigen segera dipasang. Cek tekanan darahnya. Sus, tolong siapkan infus,” ucapnya sambil menempelkan stetoskop ke dada bocah itu.

Beberapa menit kemudian, kondisinya mulai stabil. Bocah itu masih lemah, tapi napasnya sudah lebih teratur. Diandra menarik napas lega, lalu menoleh pada sang ibu yang berdiri di pojok ruangan, wajahnya basah oleh air mata.

Namun saat membuka baju kecil bocah itu untuk pemeriksaan lebih lanjut, Diandra tertegun. Ada memar di lengan, lebam samar di perut, dan beberapa bekas biru keunguan di punggung.

Alis Diandra berkerut. “Kenapa ada banyak memar di tubuh anaknya, Bu?” tanyanya dengan nada hati-hati.

Wanita itu sontak menangis semakin keras, suaranya pecah. “Saya… saya nggak tahu harus gimana lagi, Dok….”

Diandra berusaha menenangkan, meraih bahunya lembut. “Tenang dulu, Bu. Tarik napas. Anak Ibu sudah lebih baik sekarang. Ibu bisa jelaskan pelan-pelan."

Sang ibu menunduk, menggenggam ujung dresnya erat-erat. Isak tangisnya terdengar memilukan. Ada ketakutan di matanya, seolah menyembunyikan sesuatu.

Diandra menatapnya lekat, hatinya ikut bergetar. Sebagai dokter, ia pernah menghadapi banyak pasien dan bisa Diandra simpulkan jika anak itu korban kekerasan.

“Bu,” ucap Diandra lembut, menundukkan tubuh agar sejajar dengan wanita itu. “Kalau Ibu belum siap cerita sekarang, tidak apa-apa. Tenangkan diri dulu, ya. Putri Ibu sudah lebih baik, kondisinya stabil.”

Ruangan seketika hening. Hanya bunyi detak monitor jantung anak itu yang terdengar, teratur namun membuat suasana terasa mencekam. Wanita itu menutup wajah dengan kedua tangannya, bahunya berguncang hebat karena tangis yang tak terbendung.

Akhirnya, di sela isakannya, keluar suara bergetar. “Suami saya, Dok… dia sering… dia sering melampiaskan amarahnya ke anak…”

Diandra terdiam, dadanya terasa sesak mendengarnya. Ia menatap bocah kecil di hadapannya yang masih lemah, wajah polos itu sama sekali tidak pantas menanggung luka seperti ini. Dengan hati-hati, ia kembali menatap sang ibu, yang kini menunduk pasrah dengan air mata yang tak kunjung berhenti.

Diandra menatap wanita itu penuh empati, “Kalau begitu, saya harus melaporkan ini ke pihak berwenang. Anak Ibu berhak mendapatkan perlindungan. Dan Ibu… juga berhak hidup tanpa ketakutan.”

Wanita itu langsung mendongak, sorot matanya penuh panik. “Jangan, Dok… tolong jangan…”

Diandra menahan napas, mencoba sabar. “Kenapa begitu, Bu? Kekerasan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Kalau terus dibiarkan, nyawa anak Ibu bisa terancam.”

Wanita itu menggeleng cepat, matanya melebar oleh rasa takut. “Suami saya bukan orang sembarangan. Dia punya banyak koneksi. Kalau sampai tahu saya melapor… dia pasti akan melakukan hal yang lebih buruk. Bukan hanya ke anak saya, tapi juga ke saya.”

Air mata wanita itu kembali jatuh, kali ini dengan isak lebih pelan. Ada keraguan, tapi juga secercah harapan kecil yang mulai tumbuh di matanya.

Diandra meraih tangannya dengan hangat. “Saya akan membantu ibu, sebisa saya. Demi anak Ibu."

Untuk sesaat, wanita itu hanya terdiam. Jemarinya bergetar hebat saat menggenggam jari Diandra, seolah takut melepaskan pegangan terakhir yang ia miliki. Perlahan, Diandra mendekat dan merengkuh ibu muda itu dalam pelukan hangat. Ia bisa merasakan tubuh rapuh itu gemetar, seakan menyimpan ketakutan yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian.

Dari dekat, Diandra menatap wajahnya. Usia mereka tampaknya tak jauh berbeda, namun gurat lelah dan luka batin membuat wanita itu terlihat jauh lebih tua. Hati Diandra mendesah pilu, betapa beratnya beban yang dipikul seorang ibu muda seperti dirinya.

Setelah cukup lama berusaha menenangkannya, Diandra akhirnya berdiri. Ia memberi senyum kecil penuh keteguhan, lalu melangkah keluar ruangan dengan perasaan bercampur: lega karena pasiennya aman, tapi juga waspada dengan kemungkinan buruk yang bisa terjadi.

Begitu keluar, ia langsung berpapasan dengan seorang suster yang berjaga.

“Sus,” ucap Diandra serius, “tolong jangan izinkan siapa pun masuk menjenguk pasien di dalam, ya.”

Suster itu sempat mengerutkan kening, rautnya penuh tanda tanya. “Memangnya kenapa, Dok?”

Diandra menatap lurus, suaranya tegas dan mantap. “Pasien kita korban kekerasan rumah tangga. Saya khawatir suaminya datang. Kalau itu terjadi, kondisinya bisa semakin memburuk.”

Mata suster itu membesar sejenak, lalu ia mengangguk penuh pengertian. “Baik, Dok. Akan saya pastikan tidak ada yang masuk tanpa izin.”

Sebenarnya, ini bukan sepenuhnya tanggung jawab Diandra. Namun, melihat seorang wanita muda dengan anak kecil yang terluka, siapa yang bisa diam saja? Ada sesuatu di dalam dirinya yang tak tega melepas begitu saja.

Siang itu, setelah memastikan kondisi pasien stabil, Diandra berjalan ke kantin rumah sakit. Ia membeli makan siang sederhana nasi kotak hangat dan sebotol air mineral. Bukan hal besar, tapi setidaknya bisa membuat pasiennya merasa diperhatikan.

Dengan langkah tenang, ia kembali ke ruangan. Mengetuk pelan pintu, lalu masuk sambil tersenyum.

“Permisi,” ucap Diandra, mendekat. “Saya bawakan makan siang. Dimakan dulu, ya. Biar ada tenaga.”

Wanita muda itu mengangkat wajahnya. Ada sedikit keraguan, tapi matanya berkaca-kaca saat menerima makanan itu. “Iya, Dok. Terima kasih banyak.”

Diandra tersenyum hangat, lalu menarik kursi dan duduk di sampingnya. “Kita belum kenalan. Saya Diandra.” Ia mengulurkan tangan.

Wanita itu menyambut uluran tangannya pelan. “Saya Kanaya,” jawabnya lirih.

“Senang kenal Mbak Kanaya,” ucap Diandra lembut. “Sepertinya usia kita nggak jauh berbeda, jadi kalau Mbak berkenan, saya panggilnya ‘Mbak’ saja, ya?”

Kanaya mengangguk tipis, senyum kecil akhirnya muncul di wajah pucatnya. “Boleh, Dok.”

Diandra menatapnya penuh iba, tapi juga kagum. Di balik tubuh rapuh itu, ia bisa melihat kekuatan seorang ibu yang berusaha melindungi anaknya.

“Mulai sekarang, Mbak nggak sendiri. Kalau ada apa-apa, langsung bilang ke saya, ya,” ucap Diandra mantap.

Kanaya menunduk, menahan air mata. “Terima kasih, Dok. Kalau bukan karena Dokter… entah apa yang terjadi pada saya dan anak saya.”

Diandra menggeleng pelan, lalu menepuk lembut punggung tangannya. “Yang penting sekarang Mbak dan anak Mbak aman. Itu yang paling utama.”

Kata-kata itu membuat suasana ruangan semakin berat. Diandra bisa merasakan jelas ketakutan yang bersemayam di mata wanita di depannya.

Pelan-pelan, Diandra menarik kursi dan duduk lebih dekat. Ia menatap sang wanita dalam-dalam, suaranya lembut namun penuh ketegasan.

“Bu, saya mengerti ketakutan Ibu. Tapi hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Apa Ibu tega melihat anak Ibu terus menjadi korban kekerasan ayahnya sendiri?” ucapnya hati-hati.

Inilah alasan mengapa Diandra tidak pernah percaya bahwa kekayaan, kekuasaan, dan jabatan bisa membeli segalanya. Sebab, privilese yang seharusnya menjadi berkah justru sering berubah menjadi alat keserakahan dan penyalahgunaan.

Dan kenyataan itu bukan hanya terjadi di luar, tapi juga di keluarganya sendiri. Keluarga Diandra berlomba-lomba merebutkan posisi, menghalalkan segala cara demi status dan kehormatan. Mereka rela menukar harga diri dengan gengsi. Itulah sebabnya Diandra menolak menjadi penerus keluarga bukan karena ia tak peduli, melainkan justru karena ia peduli.

Karena itulah Diandra memilih menyembunyikan identitasnya. Ia ingin dikenal sebagai dirinya sendiri, bukan sekadar bayangan dari nama besar keluarganya.

Diandra lalu menatap wanita di depannya dengan sungguh-sungguh. Suaranya lembut, tetapi tegas, seakan ingin menyalurkan keberanian kepada lawan bicaranya.

"Saya akan mendampingi Ibu, dan saya pastikan ibu akan aman." ucapnya, penuh empati.

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!