Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Ayah, aku akan pergi bersama Axel."
Pemandangan Elira yang sibuk mondar-mandir membuat atensi Cedric yang tengah sarapan terganggu beberapa kali. Putrinya terlihat sibuk sekali. Setelah mengambil tas selempang, ia kembali ke kamar untuk membawa buku catatannya yang tertinggal.
"Nak, kau terlihat begitu bersemangat. Sampai lupa kalau sejak semalam masih enggan berbicara dengan Ayah," sindir Cedric, lalu kembali menyuap sarapannya.
"Aku akan memaafkan Ayah jika mengizinkanku pergi bersama Axel," balas Elira sambil menarik kursi, merebut roti tawar yang sedang Ann beri selai. "Biar aku saja, Bibi."
Ann tersenyum melihat sang nona. "Apa Nona ingin Bibi buatkan sesuatu yang lain?"
Elira menggeleng pelan, senyumnya manis sekali hingga lesung pipinya terbentuk dalam. "Tidak perlu, Bibi. Ini sudah lebih dari cukup."
Kunyahan Cedric melambat. Untuk sekejap, ia seperti melihat Elira yang dulu. "Sayang, apa kau sedang jatuh cinta?" godanya dengan tatapan curiga.
Ann ikut terkekeh kecil, menahan diri agar tak ikut meledeknya.
"Hah, kepo sekali orang tua ini," dengkus Elira dalam hati sambil menggigit roti. "Adakah alasan lain yang membuatku tak bisa bahagia di sisi Axel?" Elira menatap Cedric penuh bangga.
Ann hanya bisa mengangguk setuju. Ia masih ingat jelas betapa dulu Elira menyesali kebodohannya karena mengabaikan lelaki sebaik Axel.
"Ayah," Elira kembali bersuara. "Lupakan Elira yang bodoh itu. Karena sejak insiden itu, aku sudah lebih tahu mana yang harus kupilih."
Cedric menatap putrinya lekat-lekat. Ada rasa bangga, meski ada segunung tumpukkan cemas yang menyesakkan dada. Elira memang terlihat bahagia, tetapi Cedric tahu betul, jika kebahagiaan itu bisa lekas sirna bila Elira terlibat terlalu jauh.
"Elira ..., jangan hanya karena Axel, kau lupa bahwa hidup kita sedang tidak aman."
Elira tersenyum samar mendengar lontaran sang ayah. "Justru karena itu, Ayah. Aku tidak ingin bersembunyi lagi."
"Jadi apa yang kau rencanakan, Nak? Jangan membuat Ayah khawatir." Cedric membuka ponsel, membuka riwayat browsing tentang update terbaru mengenai keluarga Maeven.
"Ssssst. Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan membuat kejutan untuk Ayah." Elira sarapan dengan lahap, membuat Ann yang memperhatikan tersenyum hangat.
Cedric menyodorkan layar ponsel pada sang anak. "Lihat. Kau sedang tidak aman, Elira. Tolong menurut sekali ini saja pada Ayah."
Elira lumayan terkejut melihat itu.
"Jadi ... apakah mungkin ... insiden itu memang bagian dari rencananya?" gumam Elira sambil menghentikan kunyahan, kemudian terkekeh kesal. "Nyalimu memang cukup besar, Arsen. Kau merelakan dilukai hanya karena drama terselebung ini?"
Cedric memperlihatkan gestur khawatir saat putrinya mulai menghardik lagi.
Elira berdecih muak. "Cih. Kau pikir, aku takut dengan gertakan dramatismu itu? TIDAK, BAJINGAN!"
Ann tersenyum kikuk pada tuan besarnya. Elira ini memang kasar sekali.
"Habiskan dulu sarapannya," tegur sang ayah terdengar lelah. Ia merebut kembali ponsel miliknya.
"Aku akan tetap pergi hari ini, Ayah."
Sungguh. Cedric sudah sangat lelah menghadapi putrinya.
Tin!
Klakson mobil Axel terdengar dari luar. Cedric sangat kesal, kenapa anak muda itu bahkan tak meminta izin padanya lebih dahulu?
"Aku akan menghubungimu jika terjadi sesuatu." Elira bangkit dari kursinya. "Berikan ponselku, Ayah. Jika Ayah ingin akun baik-baik saja, berikan ponselku," ulangnya memaksa.
"Ayah akan menghubungimu lewat ponsel milik Axel-"
Elira berdiri hingga menimbulkan suara geseran kursi. "Baiklah. Jangan salahkan aku, jika nanti ada sesuatu yang terjadi padaku membuatmu kesulitan mencari jejakku."
Cedric hanya menatap dan bingung harus mengatakan apa.
"Aku pergi," pamitnya, membuat Ann menatap khawatir nona mudanya. Elira pergi tanpa dicegah oleh Cedric, hingga kini hilang di balik pintu.
"Tuan, apa sebaiknya berikan saja ponselnya?" ujar Ann cemas. "Karena kita tak tahu, apakah Tuan Axel mampu menjaga Nona untuk terus bersamanya."
Cedric menghela panjang. "Aku akan mengikuti mereka."
Ann menatap kepergian Cedric. Sebenarnya ia tak terlalu memikirkan ponsel itu. Namun benar apa yang Elira katakan. Itu benar-benar mencurigakan.