NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Reyhan tertegun.

“Dia tahu batas. Dia tidak akan mencintai seseorang yang... akan mati dalam waktu dekat.”

Reyhan mengernyit. “Apa?”

Nayla tersentak. Ia menutup mulutnya, sadar bahwa kata-kata itu lolos tanpa kendali.

Dan Reyhan mematung. Tatapannya berubah.

“Nayla... maksudmu apa?” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Namun Nayla hanya menggeleng pelan, menahan air mata.

“Aku ingin pulang...” katanya.

Tapi Reyhan menatapnya, tubuhnya membeku. Ia mulai menyadari, semua ini bukan hanya tentang hati. Ada rahasia lain yang jauh lebih gelap… yang disembunyikan Nayla dengan sangat rapat.

Nayla melangkah mundur pelan, mencoba menjauh dari Reyhan. Tapi langkahnya tak stabil. Kakinya terasa lemas. Pandangannya mulai mengabur.

“Nayla?” Reyhan memperhatikan perubahan di wajah wanita itu. “Nayla, kamu kenapa?”

Nayla memegangi sisi perutnya. Rasa nyeri mulai menjalar dari lambung ke ulu hati. Napasnya memburu.

“Aku… aku hanya butuh udara…”

“Nayla!” Reyhan langsung menangkap tubuh Nayla yang limbung. Wajah Nayla pucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Nayla, lihat aku. Hei! Jangan pingsan. Nayla!”

Tapi tubuh wanita itu sudah tidak sanggup bertahan.

Kepalanya terkulai di dada Reyhan, dan napasnya terdengar berat, tersengal-sengal sebelum akhirnya benar-benar tak sadarkan diri dalam pelukannya.

Reyhan menahan tubuh Nayla erat. “Nayla?!”

Paniknya semakin menjadi. Ia menepuk pipi Nayla pelan. “Nayla, bangun! Hey, Nayla, buka matamu!”

Namun tak ada respons.

Reyhan dengan cepat mengangkat tubuh Nayla dalam gendongannya.

Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Tapi satu hal yang pasti…

Nayla tidak baik-baik saja.

Reyhan berjalan cepat menembus kerumunan dengan tubuh Nayla dalam gendongannya. Wajah Nayla yang semakin pucat membuat jantung Reyhan seperti diremas. Napasnya terburu-buru, panik, khawatir, dan marah menjadi satu.

"Siapkan mobil!" teriak Reyhan pada salah satu stafnya yang sedang berjaga di luar aula.

Ara, Arlan, dan beberapa tamu lain ikut keluar menyusul. Arlan berusaha mendekat, namun Reyhan hanya menatapnya tajam.

“Jangan dekati dia,” desis Reyhan dingin, penuh emosi.

“Aku cuma mau membantu—”

Mobil Reyhan akhirnya tiba di depan lobi. Dengan cepat, Reyhan membuka pintu belakang dan masuk bersama tubuh Nayla yang masih tak sadarkan diri di pelukannya.

"Aku akan menyusul!" Arlan berteriak dari belakang.

Reyhan tidak menjawab. Ia hanya memeluk tubuh Nayla lebih erat seolah takut wanita itu akan menghilang jika sedikit saja ia longgarkan pelukannya.

Di dalam mobil, Reyhan memeluk Nayla erat, menepuk pipinya pelan.

“Nayla, tolong jangan seperti ini…” bisiknya lirih. “Kamu boleh marah, kamu boleh benci aku… tapi jangan pingsan seperti ini.”

Napas Nayla lemah. Tubuhnya dingin. Reyhan mengusap rambut wanita itu dengan lembut, penuh rasa bersalah dan ketakutan.

Sesampainya di rumah sakit, ia langsung berlari masuk ke IGD dengan Nayla di pelukannya.

“Pasien kehilangan kesadaran, tekanan darah drop!” seru perawat.

Dokter segera menghampiri. Mereka membawa Nayla ke ruang perawatan darurat. Reyhan hendak mengikuti, namun salah satu suster menahannya.

“Maaf, Tuan. Silakan tunggu di luar dulu.”

Pintu ruang IGD tertutup. Reyhan berdiri di sana, terdiam. Napasnya berat. Tangannya mengepal kuat-kuat. Hatinya berantakan.

Dia menatap pintu itu dengan mata memerah.

Waktu terasa berjalan lambat bagi Reyhan. Ia mondar-mandir di depan ruang IGD, matanya tak lepas dari pintu putih yang tertutup rapat itu. Beberapa kali ia melirik jam tangan, tapi jarum jam seolah tak bergerak. Dadanya sesak.

Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. Seorang dokter perempuan dengan wajah serius melangkah keluar. Reyhan segera menghampiri.

“Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanyanya cepat.

Dokter itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Kami sudah berhasil menstabilkan kondisinya untuk sementara, tapi...”

“Tapi apa?” potong Reyhan dengan nada cemas.

“Apa Anda tidak tahu bahwa istri Anda mengidap kanker hati stadium lanjut?”

Reyhan tercengang. “Apa… yang Anda katakan barusan?”

Dokter menghela napas. “Dia seharusnya dalam perawatan intensif, bukan menghadiri acara seremonial atau menghadapi tekanan emosional seperti tadi. Kanker hatinya sudah menyebar cukup luas. Kalau dia terus memaksakan diri seperti ini, tubuhnya bisa kolaps sewaktu-waktu. Dan saya tidak yakin… dia akan punya banyak waktu lagi.”

Reyhan menatap dokter itu, matanya membelalak, seluruh tubuhnya membeku.

Kanker?

Dia bahkan tidak tahu. Tidak ada yang memberitahunya.

Dokter menepuk bahunya pelan. “Untuk malam ini dia akan dipindahkan ke ruang rawat. Dia masih butuh istirahat penuh. Tapi tolong, jangan biarkan dia stres lagi.”

Reyhan mengangguk lemah.

Tubuhnya terasa tak bertulang saat ia perlahan berjalan ke kursi tunggu dan duduk. Tangannya mengusap wajahnya dengan kasar.

Nayla menyembunyikan ini darinya…

Tangis perlahan mengambang di pelupuk matanya, tapi ia tahan. Ia hanya memejamkan mata, mencoba menenangkan napasnya.

Dan ketika pintu ruang rawat terbuka beberapa jam kemudian dan Reyhan diizinkan masuk, dia berdiri, melangkah masuk dengan langkah pelan.

Nayla terbaring di ranjang putih itu. Selang infus menempel di tangan mungilnya. Wajahnya masih pucat, tapi matanya terbuka, dan langsung menatap Reyhan.

Reyhan mendekat. Sunyi di antara mereka.

“Kenapa kamu tidak pernah bilang apa pun, Nay?” suara Reyhan nyaris berbisik.

Nayla terdiam. Bibirnya gemetar, tapi tak ada kata yang keluar.

“Apa kamu kira aku akan tinggal diam setelah tahu semua ini?”

Dia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Nayla dengan hati-hati.

“Aku tidak peduli kalau kamu sedang sakit. Aku tidak peduli kalau kamu cuma punya waktu sedikit. Yang aku peduli… kamu harus hadapi semua ini bersamaku.”

Nayla mulai menangis, air matanya mengalir perlahan ke pelipis. Dia mencoba menarik tangannya, tapi Reyhan menggenggamnya lebih erat.

“Kamu tidak akan dorong aku pergi lagi. Aku akan tetap di sini, Nayla. Sampai kapan pun. Sampai kamu sembuh.”

Tangis Nayla pecah. Dia membiarkan dirinya lemah. Di depan Reyhan.

Dan Reyhan tahu… malam itu, dia tidak hanya bertekad untuk menemani Nayla, tapi juga untuk memperjuangkan hidup wanita yang paling ia cintai.

Arlan membuka pintu ruang perawatan dengan tergesa. Wajahnya menunjukkan kepanikan yang tak bisa disembunyikan. Ia segera menghampiri Reyhan yang berdiri di sisi ranjang Nayla.

“Nayla… bagaimana kondisinya?” tanyanya cemas.

Reyhan menoleh, sorot matanya tajam dan penuh emosi. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Nayla dan menarik Arlan keluar.

“Kau tahu tentang penyakitnya?”

Arlan terdiam sejenak, kemudian mengangguk perlahan. “Ya, aku tahu.”

“Kapan?” tanya Reyhan lagi, suaranya dingin namun bergetar menahan amarah.

“Dua hari yang lalu,” jawab Arlan jujur. “Aku tidak sengaja melihat Nayla di rumah sakit beberapa kali. Saat itu dia terlihat sangat lemah. Aku sempat berpikir untuk menghampirinya, tetapi ia masuk ke ruang pemeriksaan lebih dahulu.”

Arlan menarik napas dalam, lalu melanjutkan, “Kebetulan dokter yang menanganinya adalah temanku. Setelah Nayla keluar, aku bertanya padanya. Awalnya dia tidak ingin membocorkan apa pun, tetapi setelah tahu aku mengenal Nayla, dia merasa perlu memberitahu karena... Nayla datang sendirian, dan kondisinya memburuk.”

Reyhan mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. “Dan kau menyembunyikan itu dariku?”

“Aku ingin mengatakan yang sebenarnya,” ujar Arlan cepat, “tetapi tadi Nayla memohon padaku untuk tidak melibatkan siapa pun. Termasuk dirimu. Dia takut kamu akan semakin terluka.”

Reyhan menunduk, menatap wajah Nayla yang tampak pucat tak berdaya di atas ranjang. “Dia berbohong padaku,” bisiknya. “Dia mengatakan bahwa dia mencintai pria lain… dan pria itu adalah kau.”

Arlan memejamkan mata sesaat. “Dia melakukan itu agar kamu melepaskannya. Supaya kamu tidak ikut menderita.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya terdengar suara mesin pemantau detak jantung yang berdetak tenang namun menghantui.

Reyhan menghela napas berat.

“Jika saja aku tahu lebih awal…”

“Kini kamu tahu,” kata Arlan pelan. “Jangan tunggu semuanya terlambat. Nayla mencintaimu. Bahkan jika ia tidak pernah mengakuinya dengan jujur.”

Luka di hatinya belum sembuh, namun kini ia sadar… perempuan itu tidak pernah berhenti mencintainya. Ia hanya mencoba menyelamatkannya dengan cara yang menyakitkan.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!