NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:898
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23 takdir tak pernah lupa jalan pulang

Embun masih melekat di dedaunan. Angin pantai membawa aroma asin dan damai yang anehnya mulai menenangkan Makes.

Sudah sebulan sejak ia menetap di Bali. Kantor cabang Willson Group mulai memasuki tahap pembangunan akhir—gedung dua lantai itu berdiri di atas lahan yang dikelilingi oleh sawah, jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Makes ingin memulai sesuatu yang berbeda. Lebih manusiawi, lebih tenang... lebih jujur.

Setiap pagi, ia tiba lebih awal dari staf lain, membawa laptop dan catatan di tangannya. Fokus. Diam. Namun diamnya kini bukan dingin, tapi lebih seperti keteguhan seorang pria yang kehilangan sesuatu dan ingin membangunnya kembali, pelan-pelan.

Hari itu, Alvin—asisten yang kini menetap sementara di Bali bersamanya—membawa beberapa map lamaran yang masuk ke tim rekrutmen sementara.

“Pak, ada beberapa lamaran baru. Karena kantor cabang ini masih baru, kami butuh kandidat untuk tim admin dan asisten manajer logistik.”

Makes mengangguk tanpa banyak bicara. “Letakkan di meja saya. Nanti saya seleksi sendiri.”

**

Zhavira berdiri di depan meja resepsionis co-working space sederhana tempat ia mencetak CV dan portofolionya.

Sudah hampir tiga bulan sejak ia menetap di Bali. Luka di dadanya memang belum hilang, tapi hari-harinya perlahan terasa lebih ringan. Ia mulai makan teratur, tertawa kecil dengan pemilik penginapan, dan setiap sore menikmati matahari terbenam sambil menggambar langit.

Namun ia tahu, hidup tak bisa selamanya berhenti di titik itu. Ia harus mulai bekerja. Berdiri lagi dengan kakinya sendiri.

Setelah mencari lowongan selama seminggu, sebuah proyek perusahaan logistik skala besar menarik perhatiannya. Nama perusahaan itu… cukup familiar.

Willson Group.

Tangannya sempat ragu saat hendak mengklik tombol kirim email. Tapi ia menepis keraguan itu. Dia tidak akan tahu aku ada di sini, pikirnya.

Lagipula, ini hanya tahap awal perekrutan. Dia belum tentu ditugaskan langsung di bawah Makes. Mungkin hanya bertemu HR lokal atau supervisor tim. Yang penting sekarang adalah bergerak maju.

Zhavira mengirimkan lamaran itu. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa hatinya lebih kuat daripada rasa takutnya.

**

Di ruangan kantor yang masih belum sepenuhnya selesai direnovasi, Makes membuka satu persatu berkas lamaran yang Alvin tinggalkan.

Ia memindai nama, pengalaman kerja, lalu catatan pribadi di bagian bawah. Beberapa nama tak menarik perhatian. Namun sebuah map berwarna biru pastel membuatnya berhenti.

Matanya terpaku pada nama di pojok kanan atas:

Zhavira Mesyana

Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.

Tangannya gemetar saat membuka lembar pertama. Dan benar saja—tulisan tangannya, gaya resume-nya, hingga sedikit coretan halus di margin bawah—semuanya milik perempuan yang ia cari selama berbulan-bulan.

Makes mendadak berdiri. Menatap map itu seperti menemukan harta karun, tapi sekaligus menghadapi ledakan emosi yang sudah terlalu lama ia redam.

“Zhavira... kamu ada di sini?”

Ia mendongak. Perlahan, tanpa sadar, seulas senyum muncul di wajahnya—senyum yang hampir ia lupakan caranya. Tapi matanya tetap berkaca-kaca.

**

Zhavira tidak tahu bahwa lamarannya telah dibuka oleh orang yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.

Ia duduk di balkon penginapan, menyesap teh hangat, dan mengelus sampul jurnal kecilnya. Kali ini, ia tak menulis puisi. Ia menuliskan rencana-rencana kerja. Target sederhana. Gaji yang cukup. Hidup yang stabil.

Namun di antara semua daftar itu, ada satu kalimat yang ia tulis tanpa sadar:

“Semoga... aku cukup kuat jika takdir menempatkanku di dekat orang yang pernah membuatku patah.”

**

Keesokan paginya

Alvin mengetuk pintu ruang kerja Makes. “Pak, ini jadwal wawancara tahap awal untuk beberapa posisi admin. Nama-nama ini akan datang siang nanti.”

Makes mengambil dokumen itu. Matanya menelusuri daftar peserta. Dan sekali lagi, namanya muncul.

Zhavira Mesyana

Makes terdiam cukup lama. Kepalanya menunduk.

“Pak... Anda mau saya wawancarai duluan seperti biasa?”

Makes menggeleng. “Tidak.”

Alvin mengernyit. “Lalu siapa?”

Makes menarik napas dalam-dalam. “Biarkan HR lokal yang tangani dulu. Jangan beri tahu siapa pun tentang dia.”

“Baik, Pak.”

Setelah Alvin pergi, Makes bersandar di kursinya. Tangannya mencengkeram pinggir meja, menahan getar di dadanya. Antara ingin bertemu... dan takut menghancurkan harapan perempuan itu sekali lagi.

**

Zhavira tiba 10 menit lebih awal. Ia memakai blazer putih dan rok hitam sederhana. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan gugup yang dalam. Ia duduk di kursi tunggu, menggenggam map dokumennya erat-erat.

Saat namanya dipanggil, ia berdiri. Dan saat membuka pintu ruang wawancara, ia sedikit terkejut melihat yang menyambut bukan HR biasa, tapi seorang wanita muda bernama Rista yang terlihat cukup baru.

Zhavira pun menjalani proses wawancara seperti biasa. Profesional. Jujur. Sopan.

Namun jauh di ruangan sebelah, Makes berdiri di balik dinding kaca transparan, mengamati dari kejauhan. Menyaksikan wanita yang dulu ia kira takkan pernah bisa ia lihat lagi, kini berdiri gagah, tersenyum kecil... bukan untuknya.

Ia tak mendengar suaranya, tapi cukup dengan melihat sorot matanya, Makes tahu—Zhavira berubah.

Lebih kuat. Lebih dewasa. Lebih... jauh darinya.

**

Setelah wawancara usai dan Zhavira melangkah keluar, Makes tetap tak bergerak. Ia hanya berdiri lama, seolah takut menoleh, takut mengacaukan semua dari balik bayang-bayang yang diam-diam ia jaga.

Dan dalam diam itu, ia berjanji satu hal:

"Aku tidak akan mengganggumu. Tapi jika takdir benar-benar memberiku satu kesempatan... aku akan memperjuangkanmu, Zha. Bukan lagi sebagai pria yang menunggu. Tapi sebagai pria yang hadir.”

**

Langkah kaki Zhavira terdengar pelan di lorong kantor yang masih baru direnovasi. Wawancara barusan berjalan lancar. Ia tak berharap banyak, tapi cukup lega karena akhirnya bisa menghadapi semuanya dengan kepala tegak.

Namun ketika ia hendak melewati tikungan menuju pintu keluar…

“Zhavira.”

Langkahnya terhenti. Suara itu…

Dingin. Dalam. Tapi juga rapuh.

Seketika tubuhnya kaku. Jantungnya seperti disambar petir. Dan saat ia menoleh perlahan, di ujung lorong berdiri seorang pria tinggi dalam kemeja biru tua yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.

Makes.

Sama seperti dulu. Tapi dengan mata yang jauh lebih lelah.

Sebelum Zhavira bisa mengambil napas, Makes melangkah cepat. Dan tanpa sepatah kata, ia menggenggam pergelangan tangan Zhavira dan menariknya pelan namun pasti ke arah sebuah pintu ruangan.

“Lepaskan, Makes,” gumam Zhavira, berusaha tetap tenang.

Tapi Makes tidak bicara. Ia hanya membuka pintu ruang kerjanya, lalu membiarkan Zhavira masuk lebih dulu.

Begitu pintu tertutup, suasana menjadi hening. Hanya terdengar deru napas mereka yang berat.

Zhavira berdiri membelakangi Makes. Jemarinya mengepal. Napasnya tak stabil.

“Kenapa kamu di sini?” tanya Makes, akhirnya memecah hening. Suaranya serak, seperti sudah terlalu lama menahan kata-kata.

Zhavira tak langsung menjawab. “Karena aku butuh pekerjaan.”

“Itu alasanmu datang ke proyekku?”

“Aku nggak tahu kamu ada di sini,” jawabnya jujur, masih membelakangi. “Aku melamar karena aku butuh hidup. Bukan karena aku butuh kamu.”

Kalimat itu menampar Makes lebih dari apapun.

Ia melangkah mendekat, tapi masih menjaga jarak. “Aku mencarimu, Zha. Selama berbulan-bulan. Ke rumah orang tuamu. Ke semua tempat yang pernah kamu sebut dalam obrolan kita dulu. Aku bahkan... nyaris menyerah.”

Zhavira menunduk. “Tapi kamu tetap tidak menemukanku, kan?”

“Karena kamu memilih sembunyi.”

“Aku nggak sembunyi,” sahut Zhavira cepat, akhirnya menoleh menatap wajahnya. Mata mereka bertemu, dan saat itu Makes merasa seperti ditelanjangi oleh rasa bersalahnya sendiri. “Aku hanya melindungi diriku. Dari kamu.”

Dari tatapan itu, dari suaranya, dari keheningan yang memotong jarak, Makes sadar—Zhavira yang dulu, yang lembut dan diam dan memaafkan dengan mudah, sudah tak lagi ada.

Yang ada kini adalah Zhavira yang kuat. Tapi dingin.

“Zha... aku tahu aku banyak salah,” ujar Makes, perlahan, setengah berbisik. “Tapi aku nggak pernah berhenti mencintaimu.”

Zhavira tersenyum tipis. Tapi bukan senyum hangat yang dulu ia berikan saat Makes pulang kerja, atau saat mereka makan berdua. Senyum ini getir. Terluka.

“Cinta nggak cukup, Makes. Karena dulu aku juga cinta kamu. Tapi aku tetap pergi.”

“Mau sampai kapan kamu menghukumku?”

Zhavira menatap tajam. “Bukan soal menghukum. Tapi soal bertanya pada diri sendiri—kalau aku kembali sama kamu, apa aku akan bahagia? Atau aku akan kembali jadi orang yang kamu taruh di posisi kedua?”

Makes nyaris bicara, tapi ia bungkam.

Karena ia tahu. di masa lalu, jawaban itu pernah sangat jelas. Dan itu sebabnya wanita di hadapannya berdiri dengan luka yang tak ia lihat dulu.

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!