NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:863
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23•

...Lantai Tujuh Belas...

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, membasahi jalanan Jakarta yang tak pernah tidur. Petir menyambar, sesekali menerangi gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, seolah-olah berusaha meraih langit. Aku, Arya, baru saja pulang dari lembur di kantor, langkah kakiku terasa berat saat memasuki lobi apartemen “The Grand Vista”. Apartemen mewah ini, yang baru kutinggali dua bulan terakhir, memang menjanjikan pemandangan kota yang spektakuler dari lantai tinggi. Tapi malam ini, entah kenapa, aura dingin dan berat terasa begitu pekat.

Aku menekan tombol lift. Pintu perak itu terbuka dengan desisan pelan, memperlihatkan cermin buram dan deretan tombol angka yang diterangi cahaya redup. Seperti biasa, hanya ada satu lift yang berfungsi normal malam ini. Lift satunya lagi selalu dalam perbaikan sejak aku pindah. Entah mengapa, di gedung semegah ini, perawatan lift bisa sebegitu lambatnya.

Kutarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa penat. Jemariku bergerak untuk menekan tombol 17, lantai tempat unitku berada. Namun, sebelum jari-jariku menyentuh angka itu, aku melihat sesuatu. Di cermin lift, di antara bayanganku yang kelelahan, tampak pantulan samar seorang wanita. Rambutnya panjang terurai, menutupi sebagian wajahnya, dan matanya… matanya kosong, menatap lurus ke depan seolah tak melihat apa pun. Aku menoleh cepat, tapi tak ada siapa pun di dalam lift selain diriku.

Jantungku berdebar. Mungkin hanya bayangan dari luar, pikirku, mencoba menenangkan diri. Aku menekan tombol 17, dan lift mulai naik dengan lambat. Angka-angka di atas pintu berganti satu per satu: 3, 4, 5…

Di lantai 9, lift berhenti. Pintu terbuka, dan masuklah seorang pria paruh baya, raut wajahnya tampak tegang. Dia menekan tombol 12. Aku mengenali dia, Pak Rahmat, penghuni di bawah unitku. Dia bekerja sebagai manajer di sebuah bank swasta, selalu terlihat rapi, tapi malam ini kemejanya sedikit kusut dan wajahnya pucat pasi.

“Malam, Pak Arya. Pulang lembur juga?” sapanya, suaranya sedikit serak.

“Iya, Pak Rahmat. Bapak juga baru pulang?” balasku, mencoba terdengar normal.

“Ah, ya… ada sedikit urusan mendadak,” jawabnya, menghindari tatapanku. Dia melirik ke arah cermin, dan aku bersumpah melihat keningnya berkerut seolah melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, dia tak mengatakan apa-apa lagi.

Lift terus bergerak naik. Hening mencekam, hanya suara gemuruh hujan dan desisan lift yang mengisi ruang. Angka 11… 12… Lift berhenti lagi. Pintu terbuka. Pak Rahmat melangkah keluar, buru-buru, bahkan tanpa mengucapkan salam perpisahan. Gerak-geriknya aneh, seperti ingin cepat-cepat menghilang dari sana.

Aku mengerutkan kening. Ada apa dengannya?

Lift kembali naik. Kali ini, lift terasa lebih dingin. Aku menelan ludah, pandanganku kembali tertuju pada cermin. Aku tak lagi melihat bayangan wanita tadi, tapi ada sesuatu yang lain. Di sudut bawah cermin, aku melihat bekas sidik jari yang kotor, seolah-olah seseorang baru saja menempelkan tangan yang berminyak di sana. Padahal, setahuku, petugas kebersihan selalu memastikan lift ini kinclong setiap hari.

Angka 15… 16…

Tiba-tiba, lift bergetar hebat. Lampu di dalamnya berkedip-kedip, lalu padam sepenuhnya, meninggalkan kami dalam kegelapan total. Jantungku mencelos. Aku merogoh ponsel di saku celana, menyalakan senternya. Cahaya redup itu hanya mampu menerangi sebagian kecil dari interior lift.

“Sial!” umpatku. Aku menekan tombol alarm, tapi tidak ada respons. Jaringan ponselku juga hilang.

Dalam kegelapan, aku merasakan hawa dingin yang luar biasa. Bukan dingin AC, tapi dingin yang menusuk tulang, seolah-olah ada embusan napas es di dekatku. Aku mengarahkan senter ponselku ke sekeliling, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Ketika cahaya senterku menyapu cermin, aku melihatnya lagi. Kali ini, bayangan wanita itu sangat jelas. Dia berdiri tepat di belakangku, rambut hitamnya yang panjang terurai menutupi bahu, dan wajahnya… wajahnya putih pucat, dengan mata hitam pekat yang menatapku tanpa berkedip. Tubuhnya tampak tembus pandang, tapi sosoknya begitu nyata, begitu dekat, sehingga aku bisa merasakan napas dinginnya di tengkukku.

Aku berteriak, beringsut mundur hingga punggungku membentur dinding lift. Tanganku gemetar hebat, ponselku terjatuh, dan cahaya senter mati. Kegelapan kembali menyelimuti kami.

“Siapa… siapa kamu?” bisikku, suaraku tercekat di tenggorokan.

Tidak ada jawaban, hanya hening yang memekakkan telinga. Lalu, aku mendengar suara. Suara itu begitu dekat, seperti berbisik langsung di telingaku.

“Dia tidak akan pernah bisa keluar…”

Suara itu lirih, serak, seperti berasal dari tenggorokan yang kering. Aku merasa seolah seluruh oksigen di dalam lift tersedot keluar.

Tiba-tiba, lampu lift kembali menyala, terang benderang. Aku mengerjap, mataku menyesuaikan diri dengan cahaya. Di cermin, tidak ada siapa pun. Aku membalikkan badan dengan cepat, tapi lift itu kosong. Aku sendirian.

Lift kembali bergerak naik, angkanya melonjak langsung ke 17. Pintu terbuka. Aku tidak peduli dengan apa pun lagi, langsung melompat keluar, berlari menuju unitku. Aku memasukkan kunci dengan tangan gemetar, membuka pintu, dan langsung menguncinya dari dalam.

Aku bersandar di balik pintu, terengah-engah, mencoba menenangkan detak jantungku yang menggila. Apa yang baru saja terjadi? Apakah aku berhalusinasi karena terlalu lelah? Atau, apakah arwah wanita itu…

Aku mengambil napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Ketika melewati kamar mandi, pandanganku tak sengaja tertuju pada cermin besar di dinding. Di cermin itu, aku melihat bayanganku sendiri, dengan wajah pucat dan mata ketakutan.

Tapi, ada yang aneh.

Di belakang bayanganku, samar-samar terlihat pantulan pintu lift yang sedikit terbuka. Di dalamnya, terlihat sosok pria paruh baya, Pak Rahmat, berdiri mematung di dalam lift yang kini berwarna kemerahan. Matanya kosong, menatap lurus ke depan, dan di sebelahnya… wanita berambut panjang tadi berdiri, tersenyum ke arahku.

Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku berbalik, melihat ke arah pintu apartemenku. Itu terkunci rapat. Bagaimana mungkin?

Aku kembali menatap cermin, dan kali ini, kengerian sejati menyergapku. Bayanganku di cermin tak lagi ketakutan. Ia tersenyum, senyum dingin yang sama persis dengan senyum wanita itu. Dan dari bibir bayanganku, terdengar suara bisikan.

“Kau akan ikut kami, Arya. Di lantai tujuh belas ini, kita tidak pernah sendirian.”

Aku menjerit, mundur hingga menabrak dinding. Suara bisikan itu bukan lagi dari cermin, tapi dari segala penjuru ruangan, mengelilingiku. Aku merasa seolah ada tangan-tangan tak kasat mata yang menarik kakiku, mencoba menyeretku ke suatu tempat.

Aku mencoba lari, tapi kakiku terasa berat, seolah terikat. Pandanganku kembali ke cermin. Kali ini, aku melihatnya. Di pantulan cermin, aku tidak melihat apartemenku lagi, melainkan interior lift yang sama, dengan Pak Rahmat dan wanita berambut panjang berdiri di sana, menatapku dengan tatapan kosong.

Dan di samping mereka, aku melihat diriku sendiri, dengan mata kosong, senyum dingin, dan kulit pucat pasi. Aku bukan lagi di apartemenku. Aku ada di dalam lift, di lantai tujuh belas, bersama mereka.

Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu yang mengerikan. Setiap kali aku naik lift itu, aku selalu menekan tombol 17, lantai tujuanku. Tapi Pak Rahmat… dia menekan tombol 12. Dia turun di lantai 12. Jadi, mengapa aku melihat dia di dalam lift di cermin, setelah dia turun?

Pikiran itu melintas begitu cepat, diikuti oleh sebuah kesadaran yang mencabik-cabik logikaku. Aku tidak pernah keluar dari lift itu. Setelah lift gelap, dan aku melihat wanita itu, aku pingsan. Ketika sadar, aku mengira aku sudah di unitku.

Semua yang terjadi setelah lampu lift menyala… adalah ilusi. Sebuah tipuan. Aku tak pernah berhasil keluar dari lift itu.

Suara lift berdesis pelan, pintu di cermin perlahan tertutup. Lampu di dalam lift, tempatku berada, mulai berkedip-kedip lagi, lalu padam sepenuhnya.

Dalam kegelapan total, aku mendengar tawa lirih yang datang dari segala arah, tawa yang bukan milikku, bukan milik wanita itu, juga bukan milik Pak Rahmat. Tawa itu adalah tawa dari semua orang yang pernah terjebak di Lantai Tujuh Belas, selamanya.

Di balik cermin, aku melihat diriku yang asli, tergeletak tak sadarkan diri di lantai lift yang gelap, ponsel terlepas dari genggaman. Dan di sampingku, samar-samar, sosok wanita berambut panjang dan Pak Rahmat berdiri, menatapku, menanti… menunggu giliran siapa lagi yang akan terjebak di antara ilusi dan kenyataan, di Lantai Tujuh Belas yang tak pernah ada.

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!