“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Persetan Dengan Perjanjian
Sementara itu, Rayyan sudah tiba di bandara. Saat melihat hanya pria itu yang turun dari mobil, wajah Laureen langsung berubah masam.
“Di mana anak itu? Jangan bilang dia masih sibuk! Aku benar-benar heran dengan mereka. Bagaimana bisa pekerjaan dianggap lebih penting dari segalanya? Lihat saja nanti, aku akan memarahinya!”
Rayyan belum sempat berkata apa pun, tetapi rentetan omelan Laureen sudah meluncur deras. Ia hanya membalas dengan senyum tipis, lalu membukakan pintu mobil untuknya.
Dengan sigap, Rayyan memasukkan semua barang bawaan ke bagasi, lalu membawa Laureen menuju rumah Alex.
“Rayyan, jangan-jangan dia juga lupa hari ini hari apa?”
“Sepertinya begitu, Nyonya. Tuan memang sangat sibuk, dan saya sengaja tidak mengingatkannya.”
“Bagus. Ini akan jadi kejutan untuknya.”
Wajah Laureen yang semula kesal kini berbinar penuh semangat. Begitu mobil memasuki halaman rumah Alex, ia langsung meminta Rayyan mengeluarkan sebuah kotak kado berbungkus rapi dari dalam paper bag miliknya.
Dengan langkah penuh antusias, ia berseru memanggil nama anaknya. “Alex! Alex!”
Alex muncul dari pintu rumah bersama Eve. Saat melihat ibunya membawa kotak kado, wajah Eve mendadak menegang.
“Selamat ulang tahun, Alex,” ucap Laureen dengan senyum penuh arti. “Aku sengaja pulang untuk memberikan ini secara langsung. Tapi kau malah tidak datang menjemputku di bandara.”
Alex membalas dengan senyum tipis, lalu menerima kado itu dari tangan ibunya.
“Aku minta maaf. Aku memang sengaja tidak menjemput karena menyiapkan makan malam spesial bersama istriku.”
“Oh, menantuku,” sahut Laureen hangat, langsung memeluk Eve. Sementara itu, Eve masih memasang ekspresi bingung, seperti seseorang yang tiba-tiba diseret ke dalam drama yang tak ia pahami.
“Bukankah ini hari yang istimewa? Ayo, katakan, kado apa yang sudah kau berikan padanya?” tanya Laureen sambil menatap Eve dengan antusias. “Ah, aku jadi penasaran!”
“A-aku … aku memberikan ….”
‘Sial! Kenapa Alex tidak bilang apa-apa soal kedatangan ibunya hari ini? Dan ulang tahunnya juga?!’batin Eve panik, menyesali ketidaksiapannya.
“Sebenarnya, kadonya masih ada pada saya,” sahut Rayyan tiba-tiba sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya. Ia menyerahkannya langsung pada Eve. “Nyonya Muda menitipkannya tadi.”
Eve terpaku sejenak, masih bingung harus bereaksi seperti apa. Namun, tatapan Rayyan cukup jelas—seolah mengatakan: "Terimalah ini, Nyonya!"
“Ah, ya. Aku ... aku memang sudah memesannya lebih dulu,” ucap Eve tergagap, mencoba menyambung cerita, “tapi aku tidak sempat mengambilnya, jadi aku meminta Rayyan untuk membawakannya.”
Ia menerima kotak itu dengan tangan gemetar—malu, kikuk, tapi diam-diam bersyukur karena Rayyan menyelamatkan wajahnya di saat paling krusial.
Alex menerima hadiah itu sambil tersenyum—senyum tipis yang hanya ia pasang demi ibunya. Namun, hal itu sudah cukup membuat Laureen bersinar senang, seperti dialah yang sebenarnya sedang merayakan ulang tahun.
“Aku akan membukanya nanti,” kata Alex pelan. “Sekarang aku ingin melihat apa yang Ibu bawakan.”
“Oh, tidak!” Laureen cepat-cepat menahan tangannya. “Hadiah dari istri akan selalu lebih istimewa. Kau harus membuka yang ini dulu, Alex.”
Dengan enggan, Alex membuka bungkus kecil itu. Ternyata isinya adalah sebuah jam tangan elegan berwarna gelap, desain klasik yang tampak mahal namun tetap berkelas.
“Bisa kau pasangkan untukku?” tanya Alex mendadak.
Eve menegang. Ia mendekat dengan kaku, tangannya bergetar saat mencoba mengaitkan jam di pergelangan tangan Alex.
“Ah, kalian ini. Sudah menikah tapi masih saja malu-malu seperti pasangan baru jadian.”
Ia tertawa, lalu menggandeng Eve dan mengajaknya ke meja makan. Laureen dengan cepat mencairkan suasana, membuat mereka seolah keluarga bahagia—meski hanya untuk sementara.
Namun begitu makan malam selesai dan semua kembali ke kamar masing-masing, kehangatan tadi menguap begitu saja.
Suasana menjadi dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya.
Alex tidak mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya dingin, sikapnya menjauh. Ia bahkan tidak memalingkan kepala saat Eve mencoba memulai percakapan.
“Alex ….” Suara Eve lirih. “Aku ... aku minta maaf soal tadi. Aku benar-benar tidak tahu kalau hari ini—”
“Itu bukan urusanmu.” Nada Alex tajam. Ia bahkan tak sudi menoleh.
“Tapi kau marah padaku ….”
Tak ada jawaban.
Eve menggigit bibirnya, mencoba menahan sesal yang menyengat di dada. Ia terus mendekat, mencoba memancing respons, tapi Alex tetap bergeming.
Hingga akhirnya—tanpa peringatan—Alex berbalik, menangkap tubuh Eve dan mendorongnya ke dinding. Kedua tangannya menggenggam pergelangan Eve dan mengangkatnya ke atas kepala, menguncinya di sana.
Tatapan mata hitam itu menelusuri wajah Eve, intens dan membara.
Eve membeku. Napasnya tertahan. Jantungnya berdetak begitu cepat, seolah akan meledak. Wajah Alex begitu dekat, napasnya hangat, menyapu kulitnya.
“Persetan dengan perjanjian itu,” desis Alex, serak dan dalam.
Lalu, ia mencengkeram rahang Eve, menarik wajahnya dengan kasar, dan menc!um bibirnya dengan rakus. C!uman itu bukan sekadar sentuhan, tapi seperti amukan—liar, dalam, dan mendalam, seolah ia berusaha menyerap seluruh keberadaan Eve ke dalam dirinya.
Eve hampir kehilangan napas. Dunia seolah runtuh saat bibir Alex menekan begitu kuat, begitu tak terduga.
Lalu, seperti badai yang datang dan pergi tanpa aba-aba, Alex melepasnya. Tanpa sepatah kata pun, ia membalikkan badan dan keluar dari kamar—membiarkan keheningan dan kekacauan emosi menggantung di udara.
Eve terhuyung, jatuh ke tepi tempat tidur sambil terengah-engah. Tangannya menyentuh bibir yang masih panas karena c!uman tadi.
Apa yang barusan terjadi ...? Mereka ... berc!uman?
“Argh…!” Eve menghentakkan kakinya berulang kali, frustasi pada dirinya sendiri. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan kasar.
“Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku tidak langsung menendang anunya tadi? Dia menc!umku—dan pernikahan ini hanya sementara! Dia akan mencampakkanku setelah semua ini selesai. Kenapa aku membiarkannya begitu saja, Eve? Kenapa kau sebodoh ini?!”
Eve mengumpati dirinya sendiri tanpa ampun. Jika bisa, ia ingin mengambil kembali c!uman tadi dan melemparkannya ke wajah Alex. Namun, semakin ia mencoba mengusir ingatan itu, semakin jelas bayangan Alex menindihnya di dinding, napasnya, sorot matanya ….
Tanpa sadar, jemarinya menyentuh bibirnya kembali.
‘Tidak. Tidak, aku tidak boleh memikirkannya. Aku tidak akan terjebak dengan pria mengerikan seperti dia,’ ujarnya dalam hati, meski tubuhnya seolah tidak mau mendengarkan.
Sementara itu, Alex menghindar. Ia pergi ke ruangan tempat ia biasa menyendiri—tempat di mana ia pernah menghukum Eve. Ia mengambil sebotol minuman keras dari lemari kayu dan menuangkannya ke dalam gelas. Alkohol itu meluncur panas ke tenggorokannya, tapi tidak mampu membakar rasa sesal yang lebih panas dari itu.
Seharusnya aku tidak melakukan itu.
Ia mengutuk dirinya sendiri. C!uman tadi melanggar perjanjian. Ia seharusnya bisa menahan diri. Tapi tidak, tidak setelah gadis itu menatapnya seperti itu. Tidak setelah tubuhnya gemetar, bibirnya terbuka sedikit ....
“Aku baru tahu, ada lelaki yang kabur dari istrinya,” ujar suara di ambang pintu.
Alex menoleh. Laureen berdiri dengan tangan menyilang, tatapannya tajam namun mengandung kehangatan seorang ibu. Ia berjalan masuk dan duduk di samping Alex, mengambil gelas dari tangan putranya dan meminumnya tanpa basa-basi.
“Alex,” katanya lembut, “sampai kapan kau akan terus seperti ini? Apa kau tidak ingin memberikan keturunan untuk keluarga ini? Ayahmu ... dia semakin lemah akhir-akhir ini. Kau tahu, dia sangat ingin melihat cucu sebelum semuanya terlambat.”
“Aku sudah mencobanya,” balas Alex datar.
Laureen terkekeh, sinis. “Kau pikir aku bisa dibohongi dengan ucapan semudah itu? Jangan lupa, aku ibumu. Kau bahkan tidak mengambil satu hari pun untuk bulan madu.”
“Aku tidak perlu bulan madu,” balas Alex sengit. “Aku bisa melakukannya kapan saja.”
“Dan kau memilih untuk tidak melakukannya,” potong Laureen tajam. Ia menatap mata putranya. “Dengar, Alex. Aku tahu kau tidak mencintai pernikahan ini. Tapi jangan pernah mempermainkan sesuatu yang sakral. Kadang, hal-hal yang tak kita rencanakan justru adalah takdir yang terbaik.”
Laureen menepuk bahu Alex beberapa kali, lalu berdiri dan meninggalkan ruangan dengan tenang.
Setelah ibunya pergi, Alex kembali terdiam. Kata-katanya menusuk, menggali bagian terdalam dirinya yang penuh konflik. Ia mer3mas gelas di tangannya, lalu membantingnya ke atas meja. Bunyi keras itu menggema, seolah memantulkan amarah yang tak bisa ia ucapkan.
Ia tidak kembali ke kamar malam itu.
Karena bukan hanya tubuhnya yang resah—kepalanya, hatinya, pikirannya … semuanya dipenuhi bayangan Eve.
C!uman tadi … rasa manis itu masih tinggal. Terlalu nyata. Terlalu dalam.
Apalagi ketika Eve menggigit bibir bawahnya secara tak sadar—seakan menyulut semua emosi yang telah ia tekan selama ini.
Dan Eve merasakan hal yang sama. Meskipun Alex belum kembali hingga larut malam, ia tidak bisa tidur. Tidak bisa memejamkan mata, tak bisa tenang.
Ia meraih ponsel di atas nakas. Awalnya ia mencari nomor Manda—namun tangannya berhenti. Jika ia menelepon Manda, wanita itu pasti akan lebih heboh daripada dirinya.
Eve menggeser ke kontak lain, lalu menemukan nama Darren. Ia mengetuk ikon telepon.
“Darren!” panggilnya cepat saat sambungan tersambung.
“Ada apa?” Suara Darren terdengar tenang.
“Apa aku mengganggumu?”
“Tidak. Ada banyak karyawanku di sini. Tunggu sebentar.” Darren meninggalkan ruang kerjanya, naik ke lantai atas yang lebih sepi. “Ya, kau bisa bicara sekarang.”
“Darren … kau tahu, pernikahan ini hanya sementara, kan? Setelah semua selesai… dia akan melepaskanku.”
“Apa kau bertengkar dengan ibu mertuamu?”
“Tidak. Aku tidak … tunggu! Bagaimana kau tahu ibu mertuaku ada di sini?”
Eve duduk tegak. Tatapannya menegang ke arah kosong.
“Aku cuma menebak,” sahut Darren, terdengar terlalu santai untuk sesuatu yang kebetulan.
“Darren, kau berbohong.” Suara Eve tajam. “Ini bukan pertama kalinya kau terdengar seperti orang yang … mengenalnya. Katakan padaku yang sebenarnya. Apa kau … mengenal Alex?”
Keheningan menyusul.
***