"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : POV Kasandra (1)
Sembilan tahun lalu.
"Besok kamu kosongkan jadwal, papa ingin kamu hadir di acara perjodohan ini. Tidak ada bantahan, kalau kamu ingin membuat papa bangga menikahlah dengannya!" ucap papa Kasandra dengan tegas nada bicaranya penuh penekanan tidak ingin dibantah.
"Pa! Aca bisa membanggakan papa dengan karier di politik dan bisnis, please pa... Aca tidak mau menikah muda."
"Menikah muda apanya, umur kamu berapa sekarang? Papa ngga suka lihat kamu keluyuran terus tiap malam. Papa sudah bilang tidak ada bantahan!"
"Papa tahu kan kehidupan istri prajurit seperti apa, Tante Helen sudah jadi bukti, keluarga mereka hidup sangat sederhana. Dia menanggalkan semua kemewahan dari eyang dan memilih hidup sederhana di Plosok Papua, aku tidak mau hidup seperti Tante, Pa," tolakku.
Itulah aku, takut membayangkan pernikahan akan menarik ku ke dunia lain. Dunia yang tidak pernah aku jamah.
Hidup dalam kemiskinan.
"Papa bisa menjamin kehidupanmu bersama Devano jauh lebih baik dari Tante kamu. Devano lulusan Akabri terbaik dan dia anak petinggi. Tidak mungkin dia akan membiarkan kamu hidup susah, Aca. Tidak seperti Tante kamu yang menikahi orang sok idealis seperti Ronan!" Wijaya mendengus.
"Tunggulah sedikit lagi, Pa. Aca bisa membanggakan papa dengan karier Aca sendiri," rengekku.
Di malam yang menegangkan itu, aku terpaksa hadir menuruti kemauan papa untuk berkenalan dengan Devano Anggoro, anak dari sahabat papa.
Restoran mewah menjadi tempat pertemuan dua keluarga. Dari keluargaku hanya aku dan papa, sementara keluarga Devan begitu banyak. Papa dan mama Devan, ketiga kaka perempuan beserta pasangannya ikut memenuhi kursi di meja panjang ruang VVIP restoran Kunstkring di wilayah Jakarta Pusat.
Malam itu, gaun midi berbahan sutra warna navy membalut tubuh ramping ku, sepatu stiletto senada dengan warna dress semakin membuat penampilanku cantik dan menawan.
Sementara pria yang bernama Devan, memakai kemeja berwarna biru muda tanpa dasi dan jas, terlihat apa adanya, bagiku terkesan... kampungan. Tidak menarik. Dia bukan pria idamanku. Aku hanya menatapnya sekali, selebihnya aku lebih banyak memperhatikan bibir gelas berkaki yang ada di hadapanku.
Pria itu sesekali melirik ke arahku, tapi dia terlihat pemalu dan tidak bisa memulai pembicaraan lebih dulu. Aku semakin bosan. Pikiranku menerawang pada sosok yang selalu aku rindukan, Dimas.
Dimas adalah lelaki yang aku impikan, tatapan matanya selalu penuh rasa percaya diri, pemikirannya sangat tajam dan hanya dia yang mampu mengalahkan ku dalam hal berdebat dan adu argumen di dunia bisnis juga politik. Dia adalah kakak kelasku saat kuliah di Fisip UI.
Sayangnya cinta kami terhalang restu papa. Dimas bukan pria kaya, dia anak supir bajaj yang bisa berkuliah karena mengandalkan beasiswa. Meski begitu, Dimas selalu tampil modis dan tidak ingin membuatku malu saat jalan bersamanya. Setelah mendapat penolakan dari papa, Dimas menghilang tidak pernah berani mendekatiku. Aku pikir, ada baiknya keputusan papa. Karena papa khawatir aku hidup susah setelah menikah dengan Dimas.
Aku pun khawatir dengan masa depanku jika memaksa menikah dengan Dimas yang saat itu hanya karyawan kontrak di sebuah perusahaan dengan gaji UMR. Aku membiarkan cintaku terendap di dasar hati.
Kenangan ku dengan Dimas terhenti saat Devan mengajakku keluar restoran untuk mencari udara segar. Aku setuju. Aku mulai bosan dengan obrolan para orangtua yang sedang membanggakan cucu mereka.
"Kamu ada tempat untuk kita datangi malam ini?" tanyanya sopan saat kami sudah berada di dalam mobil.
"The Great Gatsby, di sana ada live music, cocktail di sana banyak pilihan." Kulihat ia mengernyitkan keningnya. "Kamu ngga tau tempat itu?" tanyaku, dia menggeleng dengan menaikan bahunya singkat. "Hahah... Makanya jangan tinggal di hutan terus, sesekali main ke kota." Aku tertawa miris.
'Cowo kampungan kayak gini mau di jodohkan padaku! W+h!'
"Ya! Terserah kamu mau bilang apa, mau menghinaku atau apapun itu, terserah. Masa mudaku habis untuk belajar dan mengejar karier di dunia militer, bukan di dunia malam," sindir Devan padaku. Aku mendengus kesal.
"Kamu pikir aku tidak punya karier dan tidak sibuk belajar, hah?! Aku lulusan Fisip UI dengan predikat cumlaude dan sekarang memimpin dua anak perusahan. Tapi aku tahu caranya menghargai dan menyayangi diri sendiri." Emosiku mulai terpancing.
Pria itu hanya mengulas senyuman tipis sambil fokus menatap jalanan Jakarta yang masih padat.
"Belok kanan, arah SCBD!" bentak ku dengan suara keras saat dia memberi lampu sen kendaraan ke arah kiri.
"Woaahh... santai mbak, aku masih asing jalanan Jakarta, marah hanya membuat riasanmu berantakan nantinya," ejeknya sambil melirik ke arahku.
"Mbak?!" aku mengelengkan kepala, 'Fix deh nggak level sama ni orang.'
Di dalam bar, dia hanya memesan kopi hitam tanpa gula. Aku benci cara dia menyesap kopi hitamnya, norak!
"Aku menolak perjodohan ini. Aku tidak menyukaimu!" Kukatakan jujur apa adanya.
"Aku juga. Impianku menikahi wanita yang aku cintai," ucap Devan dengan tatapan kejujuran.
"Apa kau sudah ada kekasih? Kalau sudah syukurlah, jadikan itu alasan untuk menggagalkan perjodohan ini," tantangku
"Saat ini belum menemukan, tapi aku yakin suatu hari nanti Tuhan akan menghadirkan seseorang yang menjadi tujuan hidupku. Kalau kamu ingin lebih dulu menggagalkan perjodohan silahkan saja," katanya dengan gaya yang santai.
Di balik gayanya yang santai dan pemalu, ternyata dia tegas, penuh pertimbangan dan percaya diri. Entah mengapa jawaban terakhir darinya memberi tantangan untukku, seperti permainan siapa dapat. Aku ingin menaklukan sifatnya yang arogan dan... Unik.
"Bagaimana jika aku ingin melanjutkan?" tantangku.
"Kamu akan menyesali keputusanmu, saat aku menemukan perempuan yang aku cintai, aku akan meninggalkanmu. Ini bukan omong kosong, tapi sebuah peringatan," ucapnya penuh otoritas.
Aku mengeluarkan sebatang nikotin dari handbag, hatiku tidak nyaman dengan apa yang baru saja ia katanya. Ku hisap kuat-kuat lalu menghembuskan asap itu ke wajahnya. Asap itu meliuk dan berkumpul menutupi wajahnya. Dia bergeming. Tatapan matanya mengisyaratkan kalau ia tersinggung dengan sikapku.
Aku menyandarkan tubuh di sandaran sofa dan memicingkan mata menatapnya. "Bagaimana jika berjalannya waktu pernikahan, kamu mulai mencintaiku?"
Dia menurunkan kedua sudut bibirnya ke bawah, seakan mencela pertanyaanku, "itu sebuah jackpot untukmu," katanya. "Sepertinya itu tidak akan terjadi, kamu bukan perempuan yang ada dalam kriteria perempuan idamanku juga mama," lanjutnya.
Perlahan Cinta itu tumbuh
Enam bulan berlalu
Sejak pertemuan malam itu, diantara kami tidak ada usaha untuk saling menghubungi satu sama lain. Egoku dengan Devan ternyata sama-sama tinggi.
Hingga suatu hari mama tiri Devan datang ke rumah menjemput ku untuk mencoba gaun pengantin dan memilih cincin pernikahan. Dari mama Tantri aku tahu alasan Devan selalu menolak menghubungiku karena mama kandung Devan tidak menyetujui perjodohan kami, Devan berhak bahagia dengan pilihannya sendiri, katanya.
Bibit permusuhan mulai mama Kartini sebarkan padaku. Dia juga tidak suka cara berpakaian ku yang tidak mencerminkan calon istri prajurit. Rasanya aku mau teriak di depannya, "Hello, gue juga ngga suka sama anak Lo!"
Dari mama Tantri aku tahu bagaimana karakter mama Kartini, juga cerita perselingkuhan papa Devan dengannya. Aku semakin membenci sosok ibu yang Devan sebut mama kandung, ternyata seorang pelakor.
Seiring berjalan waktu pernikahan, aku merasakan Devan memang sosok lelaki yang baik, bertanggung jawab, terbuka masalah keuangan bahkan ia memberi kebebasan padaku untuk mengakses akun perbankan. Dia sabar menghadapi sikapku yang seenaknya, dia tidak menuntut ku untuk aktif di kegiatan para istri prajurit, dan apapun kesalahanku dia selalu sabar menasehati.
Devan bisa aku andalkan dan menjadi tameng untuk menghadapi sikap papaku yang keras. Begitu juga saat aku dihadapkan aturan militer yang tidak bisa aku ikuti, dia rela menjadi tameng saat istri-istri seniornya protes karena kesalahanku dan pembangkanganku yang tidak mau aktif di kegiatan perkumpulan ibu-ibu perwira.
Tapi dibalik semua sikap dan perlakuan baiknya padaku, aku tahu dia tidak pernah mencintaiku. Tidak pernah sekalipun kata-kata cinta ia berikan padaku. Semua yang ia lakukan hanya sebuah Kewajiban. Tidak lebih.
Tepat di tahun ke delapan pernikahan kami, aku merasakan ancaman Devan waktu itu ia buktikan. Dia memiliki seseorang yang menyita perhatiannya. Dia memilih tidur terpisah dariku demi menatap wajah wanita itu dari ponselnya juga berbalas pesan hingga tengah malam. Dia mulai menyukai Caramel Macchiato dari sebuah cafe kecil di pinggir kota Solo. Setelah aku selidiki, ternyata wanita itu bekerja di sana.
Aku dalam kegamangan.
Satu sisi aku senang rumah tanggaku kemungkinan akan segera berakhir karena aku juga tidak menginginkannya sejak awal. Tapi satu sisi aku merasakan kehilangan.
Kehilangan sikap lembutnya, perhatian yang apa adanya, sikap patuh dan hormatnya padaku, juga caranya melakukan 'aktivitas dewasa' yang selalu membuatku ketagihan, ia selalu memastikan aku bahagia dan terpuaskan.
Aku mulai bersikap baik padanya, agar ia tidak meninggalkanku. Aku benci ditinggalkan saat aku mulai sayang padanya. Aku benci menghadapi kenyataan jika selama ini aku bukan perempuan yang ia inginkan dan yang semakin membuatku benci, mama Kartini menerima wanita itu dengan tangan terbuka.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban