Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Rumah Armando terbakar
Malam datang bersama gelapnya yang pekat. Bulan tak muncul, bintang pun enggan menampakkan diri. Armando berjalan seorang diri dengan wajahnya yang pucat. Tatapannya yang sayu tak beralih dari jari tangannya yang kosong. Menyusuri jalan tak tentu arah tujuan. Sesekali menghapus air mata yang tak berhenti mengalir. “Virgi, apa aku benar-benar telah kehilangan dirimu?”
Langkah Armando terhenti ketika di hadapannya berdiri sosok pria bermantel hitam yang kelihatan memang sengaja menghadang langkahnya. Mengerutkan kening, seperti pernah melihat pria itu, tapi tak tahu di mana.
“Armando Mendoza.” Pria yang tak lain adalah Alessandro Garcia mendekat padanya. Armando hanya diam, menunggu apa yang akan diucapkan pria itu.
“Kenapa dengan jarimu? Kau terus saja memperhatikannya, apa ada yang hilang?” Tersenyum miring, seolah sedang mengejek. “Kau menyesali yang telah hilang, apa menurutmu kamu pantas untuk Virginia?”
Armando tersentak. “Kamu mengenal Virginia? tanya pria itu antusias.
Alessandro tersenyum sinis lalu mendekat ke telinga Armando. “Apa jangan-jangan kamu benar-benar berpikir bahwa Virginia telah meninggal?” bisiknya.
Armando tersentak dan menatap Alessandro penuh tanya. “Apa maksudmu? Jadi sebenarnya Virginia tidak meninggal? Di mana dia? Aku mohon katakan padaku!” Armando berseru sambil memegang dua kerah Alessandro.
Alessandro hanya diam, memperhatikan wajah Armando yang sedang frustasi benar-benar menyenangkan bagi nya.
Melihat Alessandro yang hanya diam menatapnya, sambil tersenyum sinis, Armando melepaskan cekalan tangannya, menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan pria itu.
“Aku mohon, katakan di mana istriku! Di mana Virginia, bawa aku menemuinya. Aku sangat ingin bertemu dengannya.” Armando menangkupkan dua telapak tangannya di depan dada, menatap wajah Alessandro penuh harap.
Alessandro bersedekap dan tersenyum miring. “untuk apa kamu ingin bertemu dengannya? apa agar bisa kembali menyakitinya? tentu saja itu takkan kubiarkan." Alessandro pergi setelah menghempaskan tubuh Armando hingga terjengkang.
Kepala Armando bergerak mengikuti langkah pria yang tak dikenalnya. Tertegun, siapa pria itu? Kenapa terlihat sangat membencinya.
...****************...
Malam semakin larut Armando tak bisa juga terlena. Entah sudah berapa lama iya tak pernah merasakan tidur nyenyak pastinya setelah kepergian Virginia. Bergerak gelisah ke sana kemari, mencari posisi yang nyaman. Namun tak juga ia dapatkan.
Menatap sisi ranjangnya yang biasanya ada Virginia di sana, kosong. Yang berada di sampingnya kini hanya sebuah guling tak bernyawa. Armando mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk guling yang dalam sekejap berubah menjadi wajah Virginia.
“Virginia… ?” Air mata mulai menetes membasahi bantalnya. “Bisakah kamu kembali? Sepanjang hidupku, aku tak pernah membayangkan akan merasakan sesakit ini. Aku mohon … Kembalilah padaku…! Bisakah…?”
“Tuan… Tuan, cepat bangun!”
Armando tersentak, kembali pada kesadarannya. Buru-buru menghapus air mata saat tiba-tiba Matilda masuk ke dalam kamarnya dengan panik. Bahkan terlihat wanita itu datang dengan napas tersengal dan terbatuk-batuk.
“Ada apa? Kenapa lancang masuk tanpa ku panggil?” Armando terlihat tidak suka.
“Tuan, ayo cepat keluar!” Matilda bicara sambil telunjuknya mengarah ke luar kamar. “Di luar … di luar ada kebakaran.” Matilda menepuk-nepuk dadanya, mencoba mengatur napas.
“Apa? Kebakaran?”
Mendengar itu Armando langsung bangkit dan turun dari ranjang, berlari ke luar bersama dengan Matilda.
.
Sampai di luar situasi sudah sangat panik. Armando mendudukkan dirinya di sebuah bangku agak jauh dari kobaran api.
Armando menatap nanar, kobaran api membumbung tinggi. Pemadam kebakaran telah didatangkan tapi tak mampu mengatasi. Tak ada yang bisa diselamatkan. Semuanya habis tak tersisa. Untunglah para pelayan yang tinggal di dalam sempat menyelamatkan diri.
Tak jauh dari lokasi kebakaran, seorang pria dalam mobil hitam, Alessandro Garcia, menatap kejadian dengan mata dingin. “Armando Mendoza kamu tidak pantas memiliki jejak Virginia. Termasuk rumah yang di dalamnya ada kenangan Virginia.”
Armando menangis tergugu, rumah itu adalah satu-satunya yang tersisa tentang Virginia. tapi sekarang semuanya sudah habis. dia benar-benar tak lagi memiliki kenangan tentang Virginia secuil pun.
.
Alessandro menunduk, memperhatikan layar ponselnya, foto seorang wanita sebagai wallpaper, Virginia di masa tiga tahun lalu. Seketika ingatannya terlempar ke masa lalu, dirinya mengalami kecelakaan, terjebak dalam mobil yang mungkin akan meledak. Tak bisa bergerak, menangis, putus asa.
namun di tengah keputus asaan, seorang wanita datang memecahkan kaca mobilnya, menyerap tubuhnya dengan susah payah agar bisa keluar, lalu membawanya menjauh dari mobil yang meledak beberapa saat kemudian.